LUDUS & PRAGMA

99. Kecupan Malam



99. Kecupan Malam

0Senja menutup hari dengan penuh kenyaman malam bersama kerikan jangkrik yang nyaring memecah keheningan. Menemani seorang remaja jangkung yang masih kokoh dalam tunggu untuk menanti kehadiran seorang gadis yang dikiriminya pesan beberapa waktu lalu. Menyuruhnya dengan lembut nan sopan untuk menemui Adam di taman dekat halte bus tempat biasa sang gadis menunggu bus untuk datang menjemputnya.     
0

Setengah jam berlalu. Tak ada balasan dari sang gadis juga tak ada tanda-tanda kehadirannya untuk memenuhi panggilan dan permintaan dari Adam Liandra Kin. Haruskah remaja jangkung itu pergi dan menyudahi tunggunya malam ini? Akan tetapi, bagaimana kalau saat ia pergi dari tempatnya menunggu, sang gadis datang untuk bertemu dengannya? Tidak! Adam tak akan menyerah dalam tunggunya kali ini. Ia akan menunggu sedikit lebih lama hingga larut datang menyapa. Menaruh harapan penuh pada sang semesta untuk sedikit memberi rasa iba padanya dengan mendatangkan Davira Faranisa di hadapannya sekarang.     

Adam kembali membuka ponselnya. Menatap layar yang hanya berisi menu tak ada notifikasi pesan atau panggilan yang masuk untuk melegakan perasaannya saat ini. Davira hanya membaca pesannya tak mau membalas atau mengubrisnya kali ini.     

"Aku terlambat sepertinya," sahut seseorang dari balik punggung lebar milik Adam. Remaja itu kini menoleh sedikit menengadahkan kepalanya untuk menatap paras gadis dengan wajah polos tak ada make up yang menyelimuti wajahnya. Meskipun begitu, bibir pucat dan mata bulat dengan alis tipis tak secokelat biasanya itu sudah sangat pas dan sempurna membentuk kecantikan gadis itu.     

Adam menggeleng cepat. Sedikit menggeser tubuhnya dan menepuk sisi bangku untuk memberi isyarat pada gadis yang baru saja datang agar duduk rapi di sisinya.     

"Aku denger kamu kalah tadi," tutur sang gadis lembut. Tangannya kini merogoh masuk ke dalam kantong plastik putih dengan corak merah menyala di bagian tengahnya untuk mengambil sesuatu dan memberikannya pada Adam yang sedari tadi menatapnya teduh.     

"Kalau hatiku sedang sedih, aku bisa minum soda dan makan camilan yang banyak. Jadi aku—" Davira menghentikan kalimatnya kala tak sengaja tatapan mereka bertemu dalam satu titik. Membuat gadis yang baru saja ingin memanjangkan kalimatnya itu kini terdiam.     

"Kamu gak suka minum soda? Ah, sorry!" katanya melanjutkan dengan gelagapan. Tatapan yang diberikan Adam untuknya malam ini sedikit lain. Tatapan teduh penuh pengharapan yang sukses membuat segala isi pikiran gadis itu hilang begitu saja.     

"Aku suka," jawab Adam singkat. Tersenyum di bagian akhir kalimatnya kemudian menengadahkan tangannya untuk menerima pemberian dari Davira Faranisa.     

"Aku beli ini tadi, jalannya agak jauh. Jadi, aku sedikit terlambat." Davira mengimbuhkan dengan nada melirih. Menundukkan kepalanya sebab suasana canggung yang kini mulai membentang di antara keduanya.     

"Karena ini kamu gak balas pesan aku?" tanya Adam ikut memiringkan kepalanya.     

Davira mengangguk. "Kalau aku balas, kamu pasti akan ikut beli," tukasnya mempersingkat. Sukses membuat remaja yang baru saja ingin membuka kaleng soda di dalam genggamannya itu kini tertawa ringan.     

"Kamu langsung pergi tanpa ber-make up dan berdandan?" kekeh Adam mengulurkan tangannya kemudian menunjuk jepit besar yang menahan rambut panjang ikal milik Davira untuk tak turun ke bawah.     

Gadis itu kini mendongak. Membulatkan matanya kala tersadar yang sedang ia pakai saat ini adalah celana kain panjang dengan baju berwarna merah muda polos dengan sepasang sandal tidur yang imut dan menggemaskan. Ditambah dengan wajah polos tanpa make up dan ikatan rambut alakadarnya yang menghilangkan sudah kesan putri dalam dirinya berubah menjadi kesan pembantu yang baru saja menyelesaikan tugas mulianya.     

"Ah, benar!" ucap gadis itu sigap bangkit. Menatap Adam yang begitu terlihat tampan dengan hoodie hitam dan celana panjang berwarna senada dengan tatanan poni belah tengah yang rapi juga wajah tampan yang tak akan pernah purna apapun keadaan dan situasinya.     

"K—kenapa?" tanya Adam sedikit gagap sebab terkejut dengan aksi Davira yang tiba-tiba saja menyentak sembari bangkit dari tempat duduknya dengan kasar.     

"Aku pulang dulu," balasnya pada Adam.     

Belum sempat ia melangkahkan kakinnya, Adam sudah sigap menarik pergelangan tangannya untuk menghentikan gadis itu agar tak pergi dari tempatnya berdiri saat ini. "Kenapa pulang? Aku melakukan kesalahan?"     

Davira menggeleng. "Aku mau ganti baju dan pakai make up," katanya melepas genggaman Adam.     

"Kamu udah cantik dengan penampilan seperti itu." Adam menyela. Semakin kuat mencengkram pergelangan tangan gadis yang kini mulai melunak dan kembali ke tempaat duduknya.     

"Gimana perasaan kamu?" tanya Davira selepas sukses membenarkan posisi duduknya.     

Adam menoleh. Menatap paras gadis pujaan hatinya dengan tatapan teduh. "Kamu yang sedang tidak baik-baik saja, kenapa malah tanya itu ke aku?"     

"Pertandingannya kalah karena Arka pergi kejar aku. Kalian kehilangan satu anggota tim terbaik karena aku. Sampaikan maaf aku ke tim kamu," tutur Davira dengan nada lirih. Membuat remaja yang baru saja tersenyum ringan itu kini mengulurkan tangannya dan melepas jepit besar yang menahan rambut pekat milik Davira hingga membuat rambut gadis itu kini terurai panjang menutupi leher miliknya.     

"Leher kamu terlihat kedingingan, jadi aku melepasnya."     

"Dan aku simpan jepet rambutnya," kata Adam mengimbuhkan.     

"Kenapa kamu simpan?" tanya Davira mengerutkan samar dahinya. Tak mengerti dengan tingkah aneh yang Adam lakukan malam ini.     

"Kamu simpan jaket aku dan aku simpan jepet rambut kamu," ucapnya tersenyum ringan. Mengusap lembut puncak kepala gadis yang kini terdiam tak mengubah ekspresi maupun membuka mulutnya untuk berbicara banyak lagi.     

"Maafin Kayla. Aku gak tau kenapa kamu bisa semarah itu tadi dan—"     

"Dia menyinggung soal papa ak—pokonya, itu menyebalkan." Davira menyela. Menarik fokus Adam untuk menatap paras cantik natural tanpa polesan make up sedikit pun yang menghias di atas paras cantiknya.     

"Aku juga gak tau kenapa aku bisa melakukan hal sebodoh itu di depan umum. Tadi sangat memalukan 'kan?"     

Adam menggeleng. Lagi-lagi tersenyum ringan untuk memberi respon pada gadis yang kini kembali menurunkan pandangannya untuk menatap ujung kuku kaki miliknya yang saling beradu satu sama lain sebab gelisah ada dan menyelimuti dalam diri gadis itu saat ini.     

"Aku memutuskan hubungan pertemanan dengan Kayla dan dia menyetujuinya. Katanya kita gak perlu bertemu seperti—"     

"Kamu gila?" tukas gadis bermata kacang almond itu dengan tegas. Menyela kalimat milik Adam kemudian sigap memberi tatapan aneh padanya.     

"Aku? Aku melakukannya karena dia jahat sama kamu," ucap Adam dengan nada ringan nan santai. Tak terlihat beban juga rasa bersalah ada di dalam dirinya sebab sudah memutuskan hubungannya dengan Kayla sebagai seorang teman baik. Jikalau diingat dengan benar Kayla Jovanka memang brengsek dan sialan untuk Davira, namun ia tetaplah gadis yang berharga untuk Adam Liandra Kin sebelum Davira datang dan mengacau segala perasaan milik Adam Liandra Kin teruntuk Kayla Jovanka.     

"Kita masih bisa saling berbicara kalau ada keperluan penting. Jangan khawatir," kata Adam mencoba menenangkan.     

Davira kini menghela napasnya berat. Kembali menatap rerumputan yang ada di bawahnya selepas Adam menyelesaikan kalimatnya sebagai pemungkas topik pembicaraan mereka kali ini.     

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu ngajak aku ketemu?" tanya Davira kala tak ada lagi hal yang bisa dibicarakan oleh keduanya.     

Adam menoleh. Sigap merespon dengan merogoh masuk ke dalam kantong jaket yang dikenakannya kemudian mengeluarkan satu handsaplast dan memberikannya pada Davira. Membuat gadis yang sedari tadi hanya diam memperhatikan segala aktivitas remaja jangkung di sisinya itu kini mengernyitkan dahinya samar. Membuat tanda tanya besar di dalam kepalanya untuk apa handsaplast itu disodorkan padanya.     

Remaja tampan berponi belah tengah itu kini tersenyum. Mengambil tangan kanan Davira kemudian menekuknya perlahan. Menurunkan lengan kaos yang menutupi seperempat bagian tangan milik Davira.     

"Aku lihat tangan kamu terbentur pojok kursi tadi saat Kayla mendorong. Jadi aku datang untuk memastikan itu." Adam menjelaskan singkat. Menatap luka memar yang sedikit membiru di sisi siku Davira.     

"Aku kira berdarah ternyata memar," kata Adam sembari menghela napasnya berat. Gadis yang sedari tadi diam sembari menatap segala aktiviyas remaja yang masih sibuk mengamati sisi sikunya yang sedikit membiru kini sigap menarik tangannya dan sedikit membenarkan posisinya sebab Adam terlalu dekat condong ke arahnya.     

"Aku udah obatin kok," ucapnya gelagapan. Sigap berdiri sebab detak jantungnya benar-benar membuat dirinya malu saat ini.     

Adam mengangguk.     

"Kamu bisa bawa makannya pulang. Aku rasa pertemuan kita cukup sampai di sini aja," tutur Davira melanjutkan.     

"Kamu mau pulang?"     

Gadis yang berdiri di sisi Adam itu kini mengangguk tegas. "Udah malam dan pasti mama cariin juga," jelasnya mempersingkat.     

"Aku anter," ucap Adam dengan tegas. Ikut bangkit dan mensejajarkan posisi tubuh jangkungnya dengan Davira.     

"Aku bisa pulang sendiri. Rumah aku gak jauh kok."     

"Pokoknya aku minta maaf sama tim kamu karena aku kalian jadi kalah. Aku akan ganti rugi nanti." Davira mengimbuhkan dengan kalimat acak nan asal sebab dirinya sendiri saja tak tahu, harus mengganti rugi dengan apa nantinya. Haruskah ia ikut berlatih basket dan menghabiskan tenaganya untuk itu? Ah! Bodohnya dirinya itu. Dari sekian banyak kalimat yang bisa diucapnya, mengapa harus kalimat seperti itu yang diucap untuk melegakan rasa bersalahnya saat ini?     

"Ayo nonton konser di akhir pekan, ada konser bagus yang pengen aku tonton," tutur Adam dengan nada tegas.     

"Anggap aja itu ganti rugi karena bikin tim aku kalah dan aku malu besar tadi," lanjuntnya tersenyum ringan.     

Gadis yang berdiri di depan Adam kini terdiam. Memilih bungkam dan mengunci rapat-rapat bibirnya saat ini. Masih enggan bersuara atau sejenak memberi respon untuk menjawab kalima ajakan dari remaja jangkung di depannya.     

"Tak mau?" tanya Adam melanjutkan dengan nada lirih. Sedikit memiringkan dan menundukkan kepalanya sebab Davira baru saja mengubah arah sentral lensa pekat miliknya.     

"Hanya sebentar. Kalau tak suka dengan konsernya, kita bisa pergi sebelum selesai. Please," ucap Adam memohon dengan lembut.     

Tatapan Davira kini tegas mengarah padanya. Menatap sepasang lensa teduh yang jelas menaruh harapan pada Davira kali ini. Haruskah ia menerimanya sekarang? Akan tetapi, sumpah demi apapun Davira membenci konser dan keramaian!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.