LUDUS & PRAGMA

100. Sahabat Terbaik Sepanjang Masa



100. Sahabat Terbaik Sepanjang Masa

0Menerima. Bukan menerima perasaan remaja yang kini tegas berjalan mengiringi langkahnya, namun menerima tawaran si jangkung yang kadang brengsek kadang baik dengan sikap hangatnya pada Davira itu untuk menemaninya datang ke konser di akhir pekan ini. Ya, Davira dengan tegas menganggukkan kepalanya untuk menyetujui tawaran dari Adam untuk pergi bersamanya menghabiskan malam akhir pekan dengan lagu-lagu indah dari band andalannya. Menyertai teriakan fans gila kala sang idola tersenyum dan menyapa dengan ramah adalah rencana akhir pekan setelah dari mengiyakan ajakan dari Adam Liandra Kin.     
0

Lalu, bagaimana dengan ketidak sukaannya pada suasana ramai dan tempat asing yang berdesakan sebab pengunjung banyak namun tempat tak mencukupi? Davira akan memikirkannya itu nanti.     

"Makasih udah mau nganter," ucap Davira pada remaja yang kini ikut terhenti kala dirinya memutuskan menghentikan langkah dan memutar tubuhnya serong agar bisa menatap Adam dengan benar.     

Remaja jangkung berhoodie itu mengangguk ringan. Tersenyum pada gadis yang kini perlahan mengangkat tangannya kemudian melambai samar dan terkesan begitu aneh juga canggung.     

"Hati-hati di jalan."     

"Aku harus ambil motor aku dulu. Aku meninggalkannya di taman." Adam menjelaskan singkat pada gadis yang hanya mengangguk sembari mengerang ringan untuk memberi respon. Tersenyum kaku sedikit kikuk kala Adam ikut melambai mengimbangi aktivitasnya saat ini.     

Jika seseorang melihat keduanya saat ini, mereka pasti akan mengira bahwa dua remaja yang sedang saling pandang di depan gerbang rumah besar milik Davira Faranisa adalah dua remaja kikuk yang sedikit bodoh dengan tingkah aneh nan kaku bak robot yang sedang diuji coba.     

Adam memutar tubuhnya. Mulai melangkah untuk menjauh dari gadis yang baru saja ia pastikan keadaannya. Berjalan ringan sedikit ragu kala ada satu hal yang mengganjal dalam hatinya saat ini.     

Remaja berparas tampan itu menghentikan langkahnya. Memutar tubuh jangkung nan atletis bak seorang model papan atas itu kemudian tegas mengambil langkah untuk mendekat pada Davira, gadis yang kini terdiam sembari sejenak membulatkan matanya sebab ia tak menyangka Adam akan berbalik dan berjalan kembali padanya. Davira rasa percakapan dan pertemuan mereka berdua malam ini sudah cukup. Singkat memang, namun cukup untuk membuat malam penutup hari yang melelahkan baginya menjadi sedikit berkesan.     

"Davira ...." Adam memanggil dengan nada lirih. Memicu reaksi dari gadis yang semakin tegas membulatkan sepasang mata indah miliknya.     

"Ada yang pengen kamu omongin?" tanya gadis itu sedikit ragu. Merasakan jantungnya yang kini mulai kembali berdetak dengan kencang.     

"Maaf," lirihnya berucap kemudian cepat mendekatkan bibirnya pada pipi kiri gadis yang semakin kaku mematung di tempatnya. Mengecup perlahan nan lembut pipi sedikit cubby milik Davira Faranisa dan melepasnya kala gadis itu memberikan sebuah respon dengan mengambil satu langkah ke belakang.     

Bukan ingin menghindar dan menjauh, namun sebab tubuhnya belum siap untuk menerima situasi yang mendadak seperti ini. Jadi, tubuh mungil sedikit semampai yang hanya setinggi pundak milik remaja yang baru saja memberikan satu kecupan untuknya itu hampir saja ambruk ke belakang kalau-kalau Adam tak segera menerima reaksi Davira dengan melingkarkan tangan panjang berotot miliknya untuk merengkuh tubuh gadis itu.     

"Kamu gak papa?" tanya Adam memastikan.     

Davira sigap mendorong tubuh atletis di depannaya itu. Sejenak membulatkan matanya sebab ia masih tak bisa mempercayai dan menerima sepenuhnya keadaan yang sedang terjadi padanya sebab tingkah kurang ajar milik Adam barusan.     

"Aku mm—masuk dulu," tukas gadis itu cepat memutar tubuhnya kemudian mendorong pintu gerbang di depannya dan masuk ke dalam rumah tanpa mau menunggu respon dari Adam yang masih mematung di tempatnya. Menatap kepergian gadis yang baru saja menghilang setelah suara pintu gerbang di tutup sembari tersenyum geli. Ia melihatnya! Semua perubahan raut wajah gadis kesayangannya itu.     

--dan semua itu sangat menggemaskan!     

***LnP***     

Tatapannya tegas menatap paras seorang remaja sebaya yang baru saja menghalau niatnya untuk pergi dari tempat yang kini mulai menyepi sebab larut malam hampir tiba jikalau jarum jam terus memajukan detakkannya. Mengambil kunci motor milik Adam dan menyimpannya ke dalam saku jaket yang dikenakannya saat ini membuatnya terkesan ingin benar-benar berbicara dengan Adam malam ini. Entah bagaimana remaja jangkung sebaya dengannya itu bisa mengetahui dan menemukan keberadaan Adam di sini, namun yang jelas Arka benar-benar ingin membicarakan sesuatu dengannya saat ini.     

"Lo kangen sama gue?" ucap Adam melirik saku jaket milik Arka tempat si remaja sialan itu menyembunyikan kunci motornya.     

"Hm," erang remaja setara tinggi dengan Adam itu lirih. Menganggukkan kepalanya samar kemudian mengembangkan senyum aneh di atas paras tampan miliknya.     

"Lo mau pacaran sama gue?" balas Adam mengikuti permainan yang sedang dilakukan oleh Arka sekarang ini.     

"Gue minta maaf." Remaja berponi naik itu kini menimpali. Menghela napasnya kasar kemudian sejenak menurunkan padangannya untuk menatap ujung sepatu milik lawan bicaranya yang ikut terdiam untuk mencoba menerka maksud dan tujuan Arka memaksanya untuk tetap tinggal dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan olehnya sekarang ini.     

"Maaf karena gak mau jadi pacar gue?" tukas Adam sedikit melucu. Mencoba tetap santai meskipun sekarang ia paham, Arka sedang membicarakan pasal yang terjadi padanya juga sang sahabat baik yang berdampak pada kekalahan tim di kandang sendiri.     

Adam kini menepuk kasar pundak milik Arka. Memicu remaja yang masih diam setelah lirih berdecak sembari menyeringai tajam itu kini mendongak untuk menatap kepergiaan Adam yang melangkah menjauh darinya. Bukan untuk pergi meninggalkan Arka dan pulang ke rumah guna melepas lelah yang ada. Namun, Adam sedang memilih tempat untuk mereka bisa berbincang dengan nyaman tanpa harus berlelah dalam posisi berdiri bak sedang mengikuti upacara bendera setiap hari awal pembuka minggu baru dilaksakan.     

Adam memilih satu tempat duduk panjang di luar area taman. Tak jauh dari tempatnya memarkirkan motor gedhe miliknya juga bukan tempatnya datang dan bersua dengan Davira Faranisa sebelum ini.     

Remaja yang tadinya hanya diam mematung kini ikut mengekori. Berjalan dengan langkah ringan untuk datang dan duduk di sisi Adam dengan jarak yang pas tak terlalu jauh juga tak terlalu dekat.     

"Lo tau gue di sini dari siapa?" tanya Adam membuka kalimat.     

"Gue tadi ke rumah lo. Adik lo bilang kalau kakaknya lagi pergi ke rumah temen dengan buru-buru. Jadi gue tebak lo pasti ke rumah Davira." Arka mempersingkat. Tak mau banyak berbasa-basi sebab tujuannya datang menemui Adam adalah sebab ingin menyampaikan rasa bersalahnya juga menerima risiko yang timbul sebab kelakukan bodohnya tadi. Seperti dikeluarkan dari tim inti misalnya.     

"Lo udah mulai hapal sama kebiasaan gue rupanya." Adam terkekeh ringan. Melirik sejenak si teman sebaya yang lagi-lagi mengembangkan senyum miring khas orang sedang menaruh rasa tak suka pada musuhnya.     

"Gue minta maaf." Arka mengubah topik pembicaraan mereka sebab sekali lagi ia tegaskan bahwa datangnya ke sini bukan sebab Davira, namun sebab kelakuan bodohnya yang menimbulkan dampak besar sekarang.     

"Lo bisa keluarin gue dari tim. Juga, biar gue ketemu sama pembimbing besok. Gue yakin dia pasti marah besar sebab satu tim inti pergi begitu aja."     

Adam menggeleng. Menoleh pada remaja yang kini merogoh masuk ke dalam saku jaket yang dikenakannya untuk mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Kunci motor Adam.     

"Gue cuma mau bilang itu," tukasnya tegas. Menyodorkan kunci yang ada di dalam genggamannya pada remaja yang hanya bisa tersenyum sembari menerima pemberian darinya.     

"Gue gak akan keluarin lo dari tim," ucap remaja berponi belah tengah itu dengan nada melunak.     

"Gue yang akan pergi nemuin pembimbing besok pagi. Karena gue adalah ketua timnya." Adam mengimbuhkan. Menatap lawan bicaranya yang masih memilih bungkam mengunci rapat bibirnya.     

"Kalau bukan lo yang nyusul dia tadi, mungkin gue yang akan melakukannya," tukasnya pada Arka.     

"Lo beneran suka sama sahabat gue?" tanya Arka kini mau membuka suaranya meskipun dengan nada lirih yang samar terdengar masuk ke dalam lubang telinganya.     

Adam mengangguk. "Apa gue terlihat lagi bercanda sekarang ini?"     

"Kalau gue nyuruh lo ninggalin semua—"     

"Kayla? Kak Lita? Semuanya udah gue tinggalin. Haruskah gue ninggalin keluarga gue juga?" kekeh Adam menyela kalimat milik Arka Aditya. Membuat remaja yang ada di sisinya sejenak merespon dengan tawa kecil nan singkat.     

"Lo bisa suka sama dia sebanyak yang lo bisa dan lo mampu. Lalu biarkan Davira memilih, siapa yang pantas diberikan kepercayaan untuk menjaga perasaan dan hatinya sekarang." Adam berucap. Sejenak menghela napasnya berat sebab apa yang baru saja dikatakannya itu sungguh berat nan membebani dirinya. Jujur saja, sampai sekarang pemilik nama lengkap Adam Liandra Kin tak terlalu banyak mempunyai keberanian dalam bersaing dengan Arka Aditya. Bukan hanya pasal si remaja setara usia dan tinggi dengannya itu adalah sahabat dekat dari Davira Faranisa, namun juga pasal tamparan fakta yang menegaskan bahwa separuh hidup seorang gadis cantik bernama Davira Faranisa sudah dihabiskan bersama Arka Aditya. Jadi seluruh rahasia baik dan buruk yang dipunyai gadis berwajah cantik itu baik yang terlihat maupun yang disimpan apik di dalam dirinya, Arka Aditya mengetahui semuanya.     

Sedangkan Adam? Ia hanya mengerti apa-apa pasal Davira hanya sebatas apa yang dilihatnya saja. Selebihnya? Adam hanya ingin terus berusaha menjadi orang pertama yang bisa diandalkan oleh Davira Faranisa saat ini.     

"Dia pasti millih lo," jawab Arka mengalihkan tatapannya. Menatap jauh ke depan untuk menghindari kontak mata dengan Adam Liandra Kin. Memalukan! Keadaannya saat ini terkesan benar-benar memalukan sebab ia mengaku kalah sebelum maju dalam medan pertempuran.     

"Lo seyakin itu?"     

Arka mengangguk sembari mengerang ringan. "Hm. Karena dia adalah Davira Faranisa."     

"Gimana kalau tebakan lo salah?" tanya Adam memastikan. Remaja yang tadinya berbicara dengan ekspresi wajah datar itu kini tegas mengembangkan senyum simpul di atas paras tampannya. Menoleh untuk menatap Adam yang masih terdiam sebab menunggu balas jawaban dari lawan bicaranya itu.     

"Gue gak akan pernah salah jika itu tentang Davira Faranisa."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.