LUDUS & PRAGMA

102. Duka Yang Kita Punyai.



102. Duka Yang Kita Punyai.

0Tatapannya tegas mengarah pada wajah cantik bertipe oriental dengan sepasang mata kucing duduk di bawah indahnya lengkungan alis cokelat muda. Sesekali mendengus untuk mengekspresikan betapa kesalnya ia saat ini. Kayla Jovanka. Si gadis sialan yang kini menjadi objeknya dalam menatap. Menghentikan langkah laki gadis itu selepas mengikutinya hingga ke area belakang sekolah. Bukan tanpa sebab Kayla datang kemari. Menepi dan menyisih dari keramaian yang ada hanya untuk mengikuti permainan dari remaja jangkung yang berdiri memblokir jalannya untuk kembali ke dalam keramaian yang ada.     
0

Kayla mengetahui bahwa Arka mengikutinya. Tak ingin banyak bertanya di area keramaian, gadis itu 'membawa' langkah sang remaja untuk sejenak menyisih di belakang sekolah. Menyambut indahnya langit senja yang menjadi payung peneduh untuk mereka sebab tiada pohon atau pun tanaman rindang guna mempersejuk udara yang ada. Hanya ada beberapa barang tak terpakai. Kursi rusak dengan meja yang sudah keropos dimakan rayap dan jamur.     

Pijakan mereka saat ini memang bukan aspal jalanan, bukan juga lantai berubin bersih yang memantulkan samar bayangan mereka saat ini. Yang menjadi pijakan keduanya adalah sebuah semen keras yang menyelimuti tanah di bawahnya. Sedikit kotor, sebab tidak ada yang mau merawat dan membesihkan bagian sekolah yang tak ada penting-pentingnya sama sekali.     

"Kenapa lo nglakuin itu?" tanya Arka tak ingin banyak berbasa-basi pada gadis setara usia dengan tinggi yang hampir sama dengannya.     

"Soal apa?" sahutnya berbasa-basi. Tersenyum picik kala remaja yang ada di depannya mempertegas raut wajah muram miliknya.     

Arka marah? Tentu saja. Gadis bermata kucing di depannya itu terlalu banyak berbasi-basi sekarang ini selepas menyebabkan satu kekacauan besar kemarin sore. Bukan pasal amukan Davira yang tak lagi bisa dikatakan asing oleh Arka. Namun pasal masalah yang ditimbulkannya selepas memprovokasi Davina untuk memulai kebenciannya pada si teman dekat, Davira Faranisa.     

"Seharusnya lo yang tanya sama sahabat lo, kenapa dia nglakuin itu." Kayla meneruskan kalimatnya dengan nada lirih. Lagi-lagi menyeringai samar untuk menutup kalimat yang sukses membuat Arka menghela napasnya kasar. Berkacak pinggang di depan gadis yang kini mengubah ekspresinya menjadi datar.     

Psikopat gila! Sebab cinta ia bisa menjadi wanita ular penuh tipu daya seperti ini.     

"Davira bukan gadis bodoh yang akan menampar orang seenak jidatnya sendiri. Lo pasti bikin dia marah!"     

"Karena gue membandingkan Adam dengan papanya. Mungkin karena itu," papar sang gadis sedikit memiringkan kepalanya. Menelisik ekspresi wajah Arka Aditya yang kini tegas berubah menjadi sayu.     

Apa yang dikatakan Kayla barusan berbeda dengan apa yang didengarnya kemarin kala ia menanyai sang sahabat. Davira hanya mengatakan bahwa Kayla menyebut papanya di sela obrolan mereka. Menghina dan membuat hati Davira jengkel tak bisa ditahan lagi. Itulah sebabnya ia marah dan melayangkan satu tamparan tepat mengenai sisi wajah cantik gadis bermata kucing dengan tatapan tajam itu.     

"Gue jadi penasaran, apa yang membuat Davira semarah itu. Karena menyebut Adam dan papanya sama, atau karena menyebut papanya breng—"     

Srek! Belum sempat Kayla menyelesaikan kalimatnya, Arka menarik kerah baju gadis di depannya itu. Membawa tubuh ramping nan tinggi milik Kayla Jovanka sedikit mundur ke belakang. Membuat sang gadis sedikit terkejut juga kalang kabut kala merasa bahwa ia tak bisa bergerak dengan bebas lagi.     

"L--lo ... a--apa yang lo—"     

"Jangan memprovokasi gue. Gue bisa lebih dari ini. Lo pikir karena lo adalah perempuan jadi gue gak bisa berbuat banyak?!" pekik Arka memotong kalimat Kayla. Gadis yang dilontari kalimat kini hanya terdiam. Menatap sepasang lensa yang tegas menyorotkan kekesalan dan amarah di dalam dirinya teruntuk Kayla Jovanka kali ini.     

"Davira adalah sahabat gue. Apapun yang lo lakuin ke dia, semua akan berakhir seperti ini." Arka mengimbuhkan. Melepas kasar cengkraman tangan yang menarik kerah baju milik lawan bicaranya saat ini.     

"Camkan itu!"     

"Bagaimana dengan Davira? Masihkan dia menganggap lo adalah orang penting untuknya?"     

Kalimat dari gadis sialan itu lagi-lagi sukses membuat Arka menghentikan langkah. Berbalik dan kembali menatap paras ayu dengan senyuman licik nan menyebalkan.     

Remaja jangkung itu kini kembali berjalan mendekat. Mendorong tubuh gadis yang kini hanya bisa mengikuti setiap gerakan kasar yang diberikan padanya. Membuatnya terpojok di sisi dinding bangunan sekolah. Arka kembali mencengkram kuat kerah baju Kayla. Memberi tatapan tajam dengan napas yang mengebu-gebu. Tangan kirinya perlahan mengepal kuat seakan ingin melayangkan sebuah tinju tepat mengenai wajah gadis yang terlalu banyak berbicara sore ini.     

***LnP***     

Langkahnya tegas menyusuri lorong sekolah kala satu kalimat tegas masuk ke dalam telinganya. Tentang Arka dan Kayla yang sedag berselisih paham di belakang sekolah tempat tak ada siapapun yang bisa menjangkau mereka saat ini. Tak ada orang yang berlalu lalang di sana. Tak ada kamera pengawas yang terhubung ke ruang guru atau ruang bimbingan konseling untuk memantau apa-apa saja yang dilakukan oleh siswa dan siswi di sekolah. Jadi, bisa dikatakan bahwa tempat yang dipilih oleh keduanya sangat strategis jikalau tujuan mereka adalah berselisih paham dan beradu kekuatan fisik.     

"Davira kamu mau—" Gadis itu mengabaikan kalimat selaan yang ditujukan olehnya. Meninggalkan remaja yang baru saja ingin meraih pergelangan tangan miliknya untuk bisa menghentikan langkah kaki gadis pujaannya itu. Adam Liandra Kin.     

Remaja jangkung yang kini sejenak terhenti untuk menatap kepergian gadis menuju lorong yang akan menghantar tubuhnya masuk ke kawasan belakang sekolah. Langkah kaki yang terkesan terburu-buru bak seseorang sedang mengejarnya sekarang ini. Juga, tempat yang menjadi tujuan gadis itu sekarang ini sangat mencurigakan. Jadi, Adam memutuskan untuk mengikutinya.     

Langkah Davira kini semakin tegas. Hingga berlari kecillah yang menjadi aktivitasnya kali ini. Berbelok di ujung lorong untuk menuntaskan langkah dan tujuannya sore selepas bel sekolah berbunyi dengan nyaringnya.     

Davira menghentikan langkah sepasang kaki pendek nan ramping miliknya. Sejenak menghela napasnya untuk mengatur irama detak jatung yang tak karuan sebab lari adalah aktivitasnya sebelum sampai di sini.     

"Arka!" ucap gadis itu tak mampu meninggikan suaranya sebab terengah-engah bak orang kehabisan oksigen adalah kondisi Davira Faranisa saat ini.     

Gadis itu berjalan gontai mendekat pada sang sahabat yang kini masih memblokir segala posisi, gerak, dan sorot mata milik Kayla Jovanka.     

"Kita bisa bicarain sendirian tanpa melibatkan gadis brengsek itu," papar Davira melangkah untuk mendekat pada sang sahabat.     

Kayla menoleh. Tersenyum picik untuk menyambut kedatangan Davira kali ini. "Dia datang. Haruskah kita membicarakannya sekarang?" kekehnya tertawa kecil. Membuat emosi yang ada di dalam diri Arka Aditya memuncak kali ini.     

"Tentang papa Davira yang brengsek atau Adam—" Kayla menghentikan kalimatnya kala satu tangan mengayun tinggi untuk melayangkan tamparan padanya. Melihat sang sahabat yang baru saja ingin lepas kendali, Davira berlari. Mendekat pada Arka untuk menarik tangan remaja yang sudah lama menjabat sebagai sahabat tuanya itu.     

"Arka stop— argh!" Davira mengerang kala tak sengaja tangan Arka menampik niat baik yang diberikan padanya. Mendorong kasar tubuh Davira hingga membuat gadis bertubuh mungil sedikit semampai itu tersengkur di atas kasar dan kotornya semen keras yang menjadi alas pijakan mereka saat ini.     

"Arka!!!" teriak seseorang berlari ke arahnya. Belum sempat remaja itu berbalik untuk mengulurkan tangannya pada sang sahabat, satu jejakan kuat mengenai dada bidang miliknya. Membuat tubuh jangkung miliknya ambruk ke belakang.     

Davira mendongak. "Adam?"     

"Bisa-bisanya lo dorong dia sampek jatuh begitu, huh! Jalang sialan!" teriak Adam penuh amarah. Menarik kerah baju lawan bicaranya yang masih diam dengan sedikit rintihan samar di sela-sela bibir merah mudanya.     

Arka melirik Davira yang kini mulai berdiri sekuat tenanga. Menatap luka lecet yang ada di siku dan di lutut kiri milik Davira Faranisa. Darah mengalih di atas permukaan kulit putihnya yang tergores. Sontak Arka memberi respon. Menampik kasar tangan Adam yang kini kuat mencengkram kerah baju yang dikenakannya. Berniat datang dan menghampiri gadis yang kini mulai mampu berdiri dengan tegap.     

"Davira ... maafin gue. Gue gak—"     

BUGRH! Tubuhnya kembali ambruk kala Adam lagi-lagi menarik tubuh dan memberi bogem mentah di atas wajah tampan milik Arka Aditya.     

Kali ini remaja itu tak mau diam. Mulai bangkit dan memberi perlawanan untuk kembali menghajar Adam yang sudah menghalanginya untuk datang dan menjemput sang sahabat yang sedang terluka sebab tingkat keteledornya baru saja itu melampaui ambang batas wajar.     

Adam gontai kala satu jejakan sukses mendarat di atas perut datar miliknya. Dengan brutal, Arka berlari dan memberi bogem mentah bertubi-tubi pada Adam Liandra Kin yang tak sempat menghindar atau memberi perlawanan balik. Wajahnya mulai memar membiru. Sisi matanya kini terluka dengan darah yang menetes segar. Bibirnya ikut lebam dengan darah merah kental yang menghiasi.     

Melihat sang sahabat semakin brutal, Davira tak tinggal diam. Berlari sekuat tenaga untuk menjangkau posisi dua remaja bodoh yang sedang saling hantam saat ini. Ia melihatnya! Arka menarik satu balok kayu dengan jajaran paku tajam yang masih menempel di atas permukaannya. Berniat untuk menghatamkan benda itu pada bahu kiri lawan bergulatnya sore ini.     

Sigap, Davira menarik tubuh milik Arka. Memeluknya erat sembari menghela napasnya kala yang ingin dijangkau sudah ada di dalam pelukannya. Sukses! Pelukan hangat milik Davira sukses menghentikan aksi brutal sang sahabat.     

"Tenangkan diri lo," lirihnya berbisik. Semakin erat melingkarkan tangannya pada pinggang remaja jangkung yang kini perlahan menurunkan tangannya. Melunak dengan helanaan napas yang tegas.     

Adam menatap punggung gadis yang masih mendekap erat remaja jangkung di depannya. Luka Arka, tak separah dirinya. Hanya ada satu memar di sisi mata kirinya. Luka robek yang ada di sisi bibirnya pun tak sebesar milik Adam Liandra Kin. Hantaman yang diberikan untuk Arka juga tak banyak. Jikalau boleh dilihat dengan baik, dirinya lah si korban yang sesungguhnya dalam pertarungan dua ayam jantan bodoh yang kalut hanya sebab satu luka kecil di lutut kiri Davira Faranisa. Namun, mengapa Arka yang mendapat pelukan itu bukannya Adam yang sedang menatap dengan tatapan sayu?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.