LUDUS & PRAGMA

103. Tanya di Penghujung Senja



103. Tanya di Penghujung Senja

0Perlahan namun pasti, gerakan tangan milik gadis yang terus saja menghela napasnya kasar sembari sesekali berdecak kasar sebab apa yang dilihatnya senja ini bukanlah indan nan agungnya sinar jingga sang surya, namun paras tampan dengan lukis lebam membiru dan satu goresan yang masih mengeluarkan darah segar tanda luka yang dibersihkannya dengan kapas itu baru saja didapat oleh sang remaja.     
0

Davira melirik sejenak sepasang lensa yang sedari tadi menatap parasnya sayu. Mata Davira terlihat masih sedikit memerah sebab air mata baru saja turun membasahi pipinya. Menangis adalah aktivitas yang dilakukan oleh sahabatnya itu kala berhasil menghentikan dan menenangkan kalutnya si Arka Aditya. Menyeret tubuh remaja jangkung nan bodoh itu menjauh dari Adam juga Kayla Jovanka yang masih mematung di tempatnya.     

Tak menolong Adam? Davira ingin sekali melakukannya. Melihat luka yang ada di atas paras remaja itu jauh lebih parah dari luka yang didapat oleh sahabatnya. Namun, Arka tetaplah Arka! Sahabat kecil yang tak akan pernah tergantikan posisinya oleh siapapun. Remaja jangkung itu sedang terluka saat ini, jadi ia harus mengobatinya. Toh juga, ada Kayla. Gadis bermata kucing yang menjadi penyebab utama murkanya Arka Aditya itu pasti sudah mengobati segala luka yang didapat oleh remaja jangkung yang dicintainya itu.     

"Lutut lo—"     

"Aish! Bisa diem gak lo?!" tukas Davira menyahut dengan nada dingin. Memotong kalimat remaja yang kini kembali dipaksa untuk bungkam sebab gadis yang sedang membersihkan dan mengobati lukanya itu sangat kesal kali ini.     

"Gimana lo bisa lepas kendali kayak tadi cuma karena Adam nonjok muka lo?" Davira memprotes. Menatap sahabat kala sukses mengoleskan salep luka di sisi bibir milik Arka Aditya.     

Arka menunduk. Memalingkan wajahnya sembari mencoba menyembunyikan perubahan ekspresi wajah selepas sang sahabat menyinggung pasal lepas kendali yang terjadi pada Arka Aditya.     

Tentang Arka Aditya. Seorang pengidap ganggguan mental emosional yang tak banyak diketahui oleh orang banyak. Dalam dunia psikologis, Arka adalah pasien dengan gejala Intermittent Explosive Disorder atau orang awam menyingkatnya menjadi IED. Membunuh kala marah? Tidak! Arka tak separah itu. Hanya saja, ketika seseorang memancing amarahnya dengan sangat dan bertubi-tubi tiada henti, Arka akan menjadi seorang monster gila yang hanya tau cara memukul dan memukul. Menghabisi lawannya hingga amarah hilang adalah caranya untuk melawan rasa sakit yang ada di dalam dirinya.     

Hanya Davira yang tahu. Tanpa orang tua remaja itu mengetahui dan paham apa yang sedang terjadi pada anak semata wayangnya. Jika Davira adalah si gadis dingin yang pandai memendam amarah dan melupakannya dengan cara menangis dan menyingkir dari keramaian, Arka adalah sebaliknya. Seorang remaja yang kalap kala emosi memenuhi dalam dirinya. Memukul dan menghancurkan musuhnya dengan hantaman bertubi-tubi tiada henti hingga amarah yang ada di dalam dirinya surut adalah gangguan psikologis yang dimilikkinya saat ini.     

Itulah mengapa Davira memeluknya tadi. Bukan sebab ia tak peduli pada Adam. Namun, Davira jauh lebih mementing keselamat Adam ketimbang rasa dan salah paham yang mungkin akan terjadi padanya dan remaja jangkung itu.     

"Udah lah. Bukan salah lo." Davira kembali berucap. Menyenggol bahu sang sahabat yang kini kembali mendongak untuk menatap dirinya.     

"Haruskah gue minta maaf sama Adam?" tanyanya melirih.     

Davira tersenyum. "Itu bukan lo," kekehnya mengakhiri kalimat.     

"Dan kalau Adam minta maaf sama lo nanti, itu juga bukan Adam." Davira mengimbuhkan. Menepuk pundak sang sahabat yang kini tersenyum miris untuknya. Melirik siku dan lutut kiri gadis yang masih mengeluarkan darah segar di atas luka lecet miliknya.     

"Lutut lo, biar gue obatin."     

Davira menggeleng. "Gue bisa sendiri."     

***LnP***     

Senja purna. Menyisakan hawa malam bersama bentangan langit yang kini mulai menggelap. Selepas memastikan Arka sampai ke rumahnya di gang komplek sebelah, Davira memutuskan untuk pulang ke rumah guna melepas lelah setelah seharian beraktivitas menimba ilmu sebagai seorang siswi baik yang berbudi luhur.     

Langkahnya sedang sedikit pincang sebab lututnya kini terasa sedikit nyeri. Lukanya belum benar kering. Hanya sempat menempelkan plaster luka untuk menutup lukanya tanpa bisa mengobati dengan benar.     

"A--dam?" panggilnya dengan nada gagap kala sepasang lensa miliknya samar menatap perawakan tinggi berbadan altetis yang sudah berdiri di depan rumahnya. Memarkirkan moge miliknya di sisi tembok besar bangunan pagar rumahnya sembari menatap ujung sepatu yang kini beradu dengan kasarnya aspal jalanan.     

"Adam?" panggil Davira dengan nada tegas kala yang dilihat memang benar Adam Liandra Kin.     

Remaja itu mendongak. Menatap paras gadis yang menatapnya dengan tatapan teduh. Luka di atas paras Adam masih sama. Dengan darah yang sedikit mengering sebab terkena terpaan udara dingin malam yang akan datang menyapa.     

"Aku belum ngobatin lukaku," katanya melirih. Sontak membuat sepasang mata milik Davira membulat perlahan. Tanpa berbasa-basi Adam mengatakannya.     

"Aku gak bisa—"     

"Ikut aku," sahut Davira kembali melangkah. Mendorong gerbang yang masih tertutup rapat kemudian tegas. Menoleh sejenak kala remaja yang diberi perintah tak kunjung mengindahkannya.     

"Gak mau? Katanya mau diobatin luka—"     

Belum sempat Davira menyelesaikan kalimatnya, Adam sigap memutar tubuh jangkung miliknya. Cepat melangkah mengarah pada gadis yang kini menatap segala langkah tegas dengan senyum manis di atas paras milik Adam Liandra Kin. Benarkah remaja itu sedang terluka malam ini?     

Davira ikut melangkah. Menjadi navigasi bagi sepasang kaki jenjang milik Adam Laindra Kin yang mengekorinya masuk ke dalam rumah setelah kuat memutar kunci pintu rumah dan mendorong pintu kayu untuk masuk ke dalam.     

"Mama lembur malam ini. Aku di rumah sendiri." Davira mengimbuhkan. Meletakkan tas ransel yang menggantung di atas pundaknya kemudian kemudian melepas jaket rajut yang selalu dikenakannya kala berangkat dan pulang dari sekolah.     

"Jadi?" tanya Adam menatap gadis yang kini menghentikan aktivitasnya. Menatap Adam yang baru saja menyentralkan lensa teduh untuk Davira Faranisa.     

"Haruskah kita melakukannya?" kekeh Adam menggoda.     

Sinting! Remaja satu ini memang benar-benar tak sudah tak waras lagi.     

"Ck! Duduklah. Aku akan mengambil obatnya."     

Adam tersenyum. Menatap kepergian gadis yang kini menghilang kala masuk ke dalam ruang dapur. Remaja jangkung itu kini meletakkan tas punggung miliknya. Duduk di atas sofa besar yang ada di belakangnya kemudian tatapannya tegas menelisik setiap bagian rumah yang sedikit tak asing lagi untuknya sebab ini bukan kali pertamanya ia datang sebagai seorang tamu di sini.     

Davira keluar dari dalam dapur. Membawakan air putih bersama dengan kotak P3K yang saling berjajar apik di atas nampan yang ada di dalam genggamannya. Adam menyambut dengan senyum ringan. Di tatapannya setiap langkah sang gadis yang tegas mengarah padanya kemudian melirik sejenak lutut Davira yang sudah terbungkus rapi oleh plaster luka di atasnya.     

"Aku bersihin dulu lukanya." Davira duduk di sisi Adam. Mengambil satu handuk basah yang sengaja disiapkan untuk membersihkan luka di atas paras tampan milik Adam.     

"Kalau terlalu sakit, bilang," imbuh gadis itu menatap sepasang lensa teduh milik remaja yang hanya mengerang ringan tak mampu berbicara banyak lagi. Meskipun dalam keadaan lelah dan letih seperti ini, paras Davira masih saja terlihat begitu cantik nan mempesona.     

Perlahan tangan Davira terulur. Ragu sedikit memang ada di dalam dirinya. Sebab ini adalah kali pertamanya ia menyentuh permukaan wajah milik Adam Liandra Kin.     

Davira menghentikan aktivitasnya. Menatap remaja yang kini ikut terdiam kala Davira mengurungkan niatnya untuk mulai membersihkan luka yang ada di atas paras tampan milik Adam Liandra Kin.     

"Lakukan," tegas Adam berucap. Menarik tangan Davira kemudian menempelkannya tepat di ujung mata kirinya. Membuat sang gadis sontak bereaksi dengan membulatkan matanya sempurna.     

"Aku gak akan merasakan sakit apapun." Adam mengimbuhkan. Membuat gadis di depannya perlahan melunak dan mulai perlahan membersihkan darah yang mulai mengering di atas permukaan kulit wajah Adam Liandra Kin.     

"Untuk Arka ... aku minta—"     

"Dia gak punya mulut buat ngomong sendiri?" tukas Adam dengan nada dingin.     

Gadis di depannya terdiam sejenak. "Aku juga mengatakan itu padanya. Meminta maaf atas namamu," tutur Davira melunak. Sebelum ia berpisah dengan Arka di depan gerbang rumah sang sahabat, ada satu kalimat yang tegas diucapnya sebagai pengganti salam perpisahan dengan Arka. Bahwa Davira meminta maaf. Adam memulai perkelahian pasti sebab dirinya yang tersungkur jatuh di atas tanah. Emosi remaja itu memuncuk sebab Davira Faranisa, jadi atas nama Adam gadis itu mengucapkan kalimat maaf pada Arka.     

Reaksi Arka? Hampir sama dengan apa yang dikatakan oleh Adam barusan, hanya saja sedikit lebih lembut.     

"Kenapa kalian selalu begini di depanku?" tanya Davira sembari menghela napasnya kasar. Menyudahi aktivitasnya membersihkan luka milik Adam kemudian meletakkan handuk kecil yang ada di dalam genggamannya. Mengambil salep luka dan membuka tutupnya. Lagi-lagi menghela napasnya kasar sebab gundah ada di dalam hatinya saat ini.     

"Tak bisa kah kalian damai dan berlaku sebagaimana mestinya?"     

"Kenapa memeluk Arka bukan memelukku? Padahal lukaku yang lebih parah," tanya Adam mengalihkan pertanyaan yang diberikan Davira untuknya.     

Davira terdiam sejenak. Kemudian mulai mengoleskan perlahan salep luka di sisi bibir tipis milik Adam. Sedikit demi sedikit mulai mendekatkan wajahnya untuk bisa menatap dengan jelas luka yang ada di atas permukaan kulit wajah remaja di depannya itu.     

"Gimana kamu mau pulang dengan keadaan begini? Mama kamu—"     

"Kenapa memeluk Arka bukan memelukku?" tanya Adam mengulangi kalimatnya.     

Davira menghela napasnya. "Segitunya pengen tahu alasan kenapa aku lebih memilih meluk Arka?"     

Adam menganggukkan kepalanya. "Itu menggangguku."     

Davira terdiam. Menatap sepasang lensa yang teduh mengarah padanya. "Ada satu alasan. Aku gak bisa—"     

"Mana yang lebih mendominasi dalam hati kamu. Arka Aditya atau Adam Liandra Kin?"     

Sial! Bagaimana bisa ia menanyakan hal semacam itu dalam situasi begini? Mau menjawab dengan kalimat apa Davira sekarang ini? Memilih Adam? Tidak! Bahkan dirinya sendiri pun tak tahu, rasa apa yang sedang ada di dalam hatinya teruntuk Adam saat ini. Ia belum berani mengatakan bahwa ia mulai menyukai Adam. Ia takut, kalimat itu terlalu cepat diucapkannya sekarang ini.     

Memilih Arka? Tentu. Namun, ia tak ingin Adam salah paham kali ini.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.