LUDUS & PRAGMA

13. Malam Dingin Pragma dan Ludus.



13. Malam Dingin Pragma dan Ludus.

0  Semburat awan hitam tegas menyelimuti langit indah di atas luasnya cakrawala, menandakan agungnya surya dan indahnya senja telah usai, menyisakan malam sepi sedikit dingin sebab bayu yang membelai lembut di atas permukaan kulit gadis yang kini berjalan sembari ringan menyenandungkan lirik lagu yang entah datangnya dari penyanyi asal mana itu. Ia bersenandung asal guna mengusir sepi dan sedikit rasa takut yang ada dalam dirinya sebab jalanan yang lagi-lagi sepi tak berpenghuni.     
0

  Mamanya lembur hingga tengah malam barulah wanita yang berperan ganda dalam kehidupan Davira itu kembali ke rumah untuk bersua bersama putri semata wayangnya. Tak ada makanan yang bisa Davira makan malam ini, untuk itu ... minimarket adalah jawaban atas rasa laparnya.     

  Empat mie instan dan tiga botol teh manis instan serta beberapa cemilan ia borong dari dalam minimarket sebab jika ia hanya membeli sedikit, percaya deh kalau nanti bakalan kurang.     

  Ia berjalan sembari terus menempatkan fokusnya lurus ke jalanan. Mengabaikan suara kerikan jangkrik yang jelas menari-nari di dalam lubang telinganya juga mengabaikan suara bising kucing jalanan yang sesekali membuat jatungnya berdebar sebab terkejut dengan suara dentuman yang ditimbulkan dari hewan berkaki empat itu.     

  Hanya cukup melewati dua perempatan dan satu pertigaan yang ada di depannya lalu belok kanan, maka bisa dinyatakan bahwa Davira telah sampai di gang rumahnya. Lalu, hanya butuh waktu yang kiranya tak lama dan mengambil beberapa langkah yang kiranya juga tak banyak, Davira akan sampai ke rumahnya.     

  Akan tetapi langkahnya terhenti tepat di perempatan pertama kala tak sengaja kepalanya menoleh ke salah satu sisi gang. Gadis itu melihatnya, seorang remaja berpostur tubuh jangkung dengan moge hitam yang diparkirkan rapi di sisinya dan seorang wanita yang kiranya berusaia 20 tahunan hampir menginjak angka 30 tahunan itu terlihat sedang berdebat ringan. Sesekali wanita dengan pakaian minim dan polesan make up tebal itu menunjuk tepat ke arah si remaja dengan menggunakan ujung jari jemari lentik nan panjang miliknya.     

  Samar suara sang wanita terdengar masuk ke dalam lubang telinga Davira. Membuat gadis itu seakan ditarik untuk datang mendekat. Mencampuri urusan mereka? Tidak. Davira hanya memeriksa, jikalau si remaja yang berdiri bawah lampu bercahaya remang itu bukanlah Arka Aditya. Meningat bahwa yang ia tahu di komplek gang rumah Arka ini, hanya Arka lah menjadi remaja tampan seusia dengannya. Satu-satunya, sebab penghuni lain tak memiliki putra seusia dengannya di sini.     

  "Udah saya bilang jangan campuri urusan saya!" katanya berteriak. Davira mengernyitkan dahinya kala langkah yang ia ambil semakin jelas mendekat dan ia mulai tersadar bahwa yang berdiri mematung dan tak goyah ketika dimaki habis-habisan itu memiliki postur tubuh yang tak asing untuknya.     

  --dan dia adalah ....     

  "ADAM LIANDRA KIN, DENGAR TIDAK?!"     

  Davira menghentikan langkahnya kala nama itu tegas disebut oleh si wanita. Baiklah Davira paham akan satu hal, ia tak boleh berada di sini. Apapun alasannya. Tubuh gadis itu berputar. Kembali mengambil langkah menjauh untuk tidak masuk ke dalam adegan menengangkan yang sumpah demi apapun jika dimasukkan ke dalam sebuah drama maka, drama bertema 'sad story' lah yang patut disematkan setelah judul drama di sebut.     

  PLAK!! Baiklah, sekarang itu keterlaluan!     

  Davira kembali memutar tubuhnya. Kali ini langkahnya jelas mendekat setelah suara tampan keras terdengar olehnya. Ia memasukkan satu sisi tangannya ke dalam saku jaket yang gadis itu kenakan. Terhenti sembari menghela napasnya kasar. Sumpah demi apapun, ia tak suka melihat seseorang ditampar di depan umum. Bahkan untuk pria brengsek seperti Adam sekalipun.     

  "Oi, bibi?!" teriak Davira sembari bedecak ringan di bagian akhir kalimatnya.     

  Wanita itu menoleh. Sejenak melirik Adam yang masih kokoh tak mau memutar tubuh jangkungnya untuk menatap siapa yang baru saja masuk ke dalam urusan pribadinya dengan wanita berpakaian minim ini kemudian memusatkan tatapannya pada Davira.     

  Gadis itu mendekat dan terhenti tepat di belakang Adam. "Jangan membuat keributan di sini, bibi bisa kena masalah nanti," tukas Davira singkat.     

  Gadis itu mendengus. Percayalah, sekarang Davira membenci dirinya sendiri sebab ikut masuk ke dalam urusan remaja brengsek tak tahu malu ini.     

  "Aku tak mengira kamu sebrengsek ini dengan juga 'bermain' bareng tante-tante gini," tutur Davira sedikit mendongak untuk menatap puncak kepala remaja yang kini membulatkan matanya kala ia sadar, suara yang baru saja dirinya dengan itu tak asing untuknya. Suara itu ... milik gadis yang belakangan ini mencuri perhatiannya.     

  Tubuh jangkung Adam berputar. Menghadap gadis yang kini kokoh memusatkan tatapan tajamnya pada Adam. Remaja itu sedikit menunduk, membalas tatatapn Davira kemudian tersenyum miring padanya. Ah, dia ingat beberapa hari lalu Candra mengatakan bahwa Davira Faranisa bukan hanya sahabat masa kecil dari Arka Aditya, melainkan juga tetangga beda gang komplek.     

  --dan sekarang ... Adam mempercayai itu.     

  "Dia bukan siapa-siapa—"     

  "Oi bibi, bisa aku membawanya? Dia pacarku," desis Davira tak mengubah tatapannya pada Adam.     

  Pria itu menyeringai. "Benarkah?" lirihnya pada Davira.     

  Davira ikut menyungingkan bibirnya. Tak menjawab namun membiarkan batinnya tegas berkecamuk. Bukan hanya brengsek. remaja ini juga tak tahu malu dan tak tahu situasi dan kondisi yang sedang terjadi.     

  "Kamu ... mengakui perasaanmu?" lanjutnya saat Davira hanya diam membisu.     

  Gadis itu terkekeh kecil. Selain yang disebutkan di atas mengenai Adam, ada satu lagi fakta tentangnya. Adam itu 'baperan'.     

  "Saya masih ada urusan dengannya." Wanita berpakaian minim itu menyahut. Membuat fokus Davira kini dialihkan untuknya.     

  "Bibi sedang meminta pertanggung jawaban darinya?" Davira kembali menyungingkan sisi bibir yang sedikit pucat sebab ia tak memoleskan make up apapaun di atas paras ayu miliknya itu.     

  Semua saling diam. Baik wanita itu juga Adam yang terus saja mematung sembari memberi tatapan aneh pada Davira. Remaja itu sesekali merubah ekspresi wajah tampannya. Mencoba untuk membaca apa yang ada dalam pikiran gadis sebaya dengannya itu.     

  "Bibi hamil?" tanya Davira tiba-tiba.     

  Wanita itu menyentak. Membulatkan kedua mata sipitnya sembari menaikkan sepasang alis cokelat tuanyanya. Gadis ini sangat bar-bar dan tak punya sopan santun.     

  "Kamu mengira saya tante-tante murahan yang tidur bersama seorang remaja labil?" tanyannya meninggikan nada bicara.     

  Davira tertawa ringan. Mengangguk tegas sembari melipat bibirnya.     

  "Dia adalah calon anak tiri saya! Jika saja dia tak menganggu hari ini, mungkin aku sudah menjadi ibu tirinya!" pekiknya memberi penjelasan.     

  Gadis di depannnya diam. Sejenak ekspresi berubah sayu kala mengetahui dan menyadari apa yang sedang terjadi. Adam ... sedang memperjuangkan keutuhan keluarganya malam ini.     

  "Kau mengerti sekarang?" lirih remaja itu menyela tatapan sayu milik Davira.     

  Lagi-lagi gadis itu bungkam. Sejenak menatap Adam kemudian mengalihkan fokusnya menatap wanita brengsek itu.     

  "Kenapa tak kalian berdua saja yang menikah?" tanya Davira terkekeh kecil di bagian akhir kalimat. Gadis itu berjalan maju. Melewati Adam yang kini ikut memutar tubuhnya seiring dengan langkah kecil yang diambil Davira untuk mendekat menghampiri si wanita.     

  "Karena kalian sama-sama brengsek," lanjutnya.     

  PLAK! --dan tamparan keras mendarat tepat di sisi pipi sedikit cubby milik Davira. Adam terkejut bukan main. Sigap tangannya menarik tubuh Davira untuk mundur ke belakang tubuh jangkungnya. Namun, Davira menolak. Menyibakkan kasar tangan berotot itu agar tidak menyentuh tubuhnya lagi.     

  Davira bungkam. Sembari mengelus pipinya yang terasa panas dan mulai memerah, gadis itu tersenyum evil. Tatapannya ... penuh amarah.     

  "Bibi tau apa yang dikatakan teman-teman dekatku padaku?" Davira berkelit. Mengelurkan tangannya dari dalam saku jaket tebal yang ia kenakan.     

  "Katanya ... percuma saja aku cantik tapi hatiku sepertiku iblis!" ucapnya sigap menarik rambut panjang yang tergerai di atas pundak wanita itu.     

  Wanita itu mengerang lirih. Semakin kuat Davira menarik rambut ikal berwarna mersh menyala itu. Ia tersenyum miring. "Aku bisa saja melepas kepalamu karena sudah menamparku," kekehnya kecil.     

  Adam hanya diam. Menatap segala aksi mengejutkan yang dilakukan oleh Davira. Sekarang, ia melihat semuanya. Ada satu lagi kepribadian seorang Davira yang membuatnya semakin tertarik dengan gadis itu, kepribadian seorang iblis.     

  "Aku akan memaafkan tingkahmu hari, Bibi. Tapi ... aku tidak memaafkan orang yang sama untuk kedua kalinya." Gadis itu melepas cengkraman kuatnya. Sedikit mendorong tubuh wanita yang kini merintih kesakitan itu.     

  Davira mengembangkan senyum manisnya. Seakan semua jiwa iblisnya telah hilang menguap begitu saja di udara.     

  Adam menyeringai. Benar-benar unik gadis satu ini.     

  "Davira mending kita per—"     

  "Kamu bisa pergi dengannya. Toh juga, dia sama denganmu 'kan? Jadi kalian bisa mengerti satu sama lain." Gadis itu memotong kalimat Adam. Memutar langkahnya untuk beranjak pergi meninggalkan Adam juga wanita yang sama brengsek dengan remaja jangkung itu.     

  "Kamu bilang kamu mau membawaku 'kan?" Adam menyela. Menarik pergelangan tangan Davira dan memaksa gadis itu untuk kembali memutar tubuh semampainya. Sepasang lensa pekat milik Adam melirik sisi pipi Davira yang memerah. Sejenak ia ia mengulurkan tangannya untuk mengelus wajah yang berani taruhan bahwa si pemilik sedang menahan rasa perih nan panas sebab tamparan keras yang baru saja ia terima. Akan tetapi, lagi-lagi Davira menampisnya. Menatap Adam sinis dengan tatapan mata elangnya.     

  "Urusi saja urusanmu," katanya berdeham.     

  Adam tersenyum ringan. "Kamu baru saja mencampuri urusanku bukan?"     

  Gadis itu diam. Persetan pria brengsek ini!     

  "Dan aku sangat menyesalinya," sahut Davira ketus.     

  Benar. Ia sangat menyesali semua yang ia lakukan malam ini. Jadi, agar tak ada penyesalan lain lagi, ia ingin pergi dari sini sebelum mamanya kembali dan menyadari bahwa ada yang tak beres pada wajah putri cantik semata wayangnya itu.     

  "Ah! Dan juga, lupakan malam ini. Kita tidak pernah bertemu, oke?" lanjutnya sembari kembali memutar tubuhnya. Memasukkan tangan di saku jaket tebal dan berjalan menjauh dari Adam. Tak ads suara langkah yang mengejarnya. Untuk itu Davira bisa menyimpulkan bahwa Adam tak datang untuk mengejarnya dan lagi-lagi menghentikan langkah gadis itu.     

  Jadi, Davira bisa bernapas lega sebab semua adegan murahan yang baru saja terjadi padanya sudah selesai.     

  Davira terus mempercepat langkahnya. Berbelok di ujun perempatan untuk meneruskan tujuannya agar cepat sampai ke rumah.     

  Akan tetapi, ia salah duga. Suara motor kini terdengar nyaring masuk ke dalam telinganya. Membuat gadis itu mau tak mau harus berjalan menepi membiarkan motor itu lewat mendahuluinya. Tidak, motor itu tak mendahuluinya melainkan berhenti tepat di belakangnya.     

  Davira menoleh. Suara motor besar itu mencuri perhatiannya. Gadis itu hanya ingin sejenak memastikan siapa yang menghentikan motor di belakang tubuhnya.     

  --dan itu, Adam. Sial! Davira kali ini salah dalam menyimpulkan.     

  "Kamu ngapain ngikutin aku? Gak ngerti juga—"     

  "Makasih," katanya menyahut. Davira diam.     

  "Makasih udah nolongin aku," lanjutnya sembari turun dari moge-nya.     

  Baiklah, sekarang Adam terkesan menyedihkan.     

  "Hm," erang Davira kembali melanjutkan langkahnya.     

  Adam mengejar. Menarik tangan gadis itu dan membuatnya terhenti. "Tak bisakah kita berteman?" tanyannya pada Davira.     

  Gadis itu bungkam sejenak. Menatap Adam lalu tersenyum kecut. "Gak!"     

  "Kenapa?"     

  "Karena gue gak temanan sama brengsek," jawabnya melirih. Lagi-lagi menyibakkan tangan Adam dan pergi meninggalkannya di sana.     

  Adam tersenyum. "Cih, dasar cewek. Liat aja nanti. Gue bakalan bikin lo jatuh hati ke gue."     

  ...To be Continued... 


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.