Masuk Dalam Dunia Novel

Chapter 120 ( Degup Jantung )



Chapter 120 ( Degup Jantung )

0Menatap ke bawah dan bingung dengan tindakan Belhart yang sangat tiba-tiba. Belhart bahkan mengangkat kedua kakinya untuk bersandar di kursi.     
0

Tidur dengan posisi terlentang. Sehingga wajah terpejam Belhart terlihat sangat jelas.     

"Biarkan aku seperti ini sejenak. Hanya sebentar sampai aku merasa jauh lebih nyaman,"     

"..."     

Monna hanya diam.     

"Dan bernapaslah,"     

Monna perlahan menghembuskan napasnya. Merasa terlalu terkejut hingga tanpa sadar menahan napas.     

Monna masih saja duduk dengan kaku.     

Tidak bergerak. Dan mungkin lebih tepatnya tidak berani bergerak dan berpikir.     

Namun masih sanggup bertanya-tanya dalam hati.     

Ada apa dengan Belhart?     

Terlalu lelah dan ingin mencari sandaran? Namun kenapa Belhart bersandar padanya? Apa dia tidak punya tempat sandaran lain.     

@w.e.b.n.o.v.e.l     

Suara pelan Belhart lalu terdengar kembali.     

"Apa ada sesuatu yang kau inginkan?" tanya Belhart begitu mendadak setelah tindakannya yang tidak terduga.     

Monna sontak menatapnya bodoh.     

"Menginginkan sesuatu?" ulangnya.     

Mengangguk dengan pelan dan menjawab.     

"Ya,"     

Belhart masih saja memejamkan matanya. Belum membuka matanya dan terus menikmati kenyamanan yang baru tercipta dengan tangannya yang masih terlipat rapih di depan dadanya. Ketika Belhart masih tidur terlentang dengan posisi yang berada di atas paha Monna.     

"Sesuatu atau benda apapun yang kau inginkan. Karena aku bersedia membelikannya dan menghadiahkannya untukmu,"     

Mata Belhart dan Monna lalu bertemu.     

Membuat aliran darah Monna mendadak menjadi kurang lancar dan bergidik.     

"Saya belum menginginkan apapun, Yang Mulia." ucap Monna jujur. Lalu menambahkan.     

"Segala yang saya butuhkan sudah disediakan di istana ini. Dan saya tidak kekurangan apapun selama ini,"     

Belhart lalu mengoreksi.     

"Sesuatu yang sangat kau inginkan. Tapi tidak berada di dalam istana ini dan belum pernah kau dapatkan. Namun kau sempat memikirkannya,"     

Monna masih pada asumsinya yang pertama.     

"Masih belum ada, Yang Mulia. Dan saya memang jarang memiliki keinginan khusus,"     

Namun kau pernah berkeinginan untuk cerai dariku dan keluar dari istana ini, batin Belhart mendadak kecewa.     

Tapi langsung dia singkirkan.     

"Baik. Aku mengerti. Tapi sampaikan apapun keinginanmu dan aku akan mempertimbangkannya. Akan menyanggupinya bila aku sanggup dan mengusahakannya jika aku kurang mampu,"     

Monna menatap dalam mata ungu gelap yang menatapnya lurus.     

Bukan tatapan mengintimidasi. Namun tatapan yang sangat tulus dan juga bersungguh-sungguh.     

"Ya.. jika itu yang Anda inginkan,"     

Sembari bertanya-tanya, apakah ada sesuatu hal yang kurang mampu Belhart berikan pada? Ketika Belhart bahkan adalah calon Raja di negeri ini!     

Belhart masih terus menatap Monna. Menelusuri secara perlahan satu per satu lekuk wajah Cattarina yang jarang dia lihat dari dekat karena Monna terus menghindar.     

Belhart tiba-tiba saja mengalihkan pertanyaan.     

"Hari ini Neil tidak datang bersama denganmu?"     

Pertanyaan yang sangat mendadak dan begitu tidak terduga.     

Belhart mendadak bertanya soal Neil?     

Nampak bingung dengan tujuan Belhart bertanya. Monna masih tetap memberikan jawaban.     

"Dia sedang latihan. Sengaja menyisikan waktunya beberapa jam untuk berlatih dalam satu minggu,"     

Belhart akhirnya paham.     

Memejamkan matanya kembali dengan perasaan tenang ketika kantuk mulai menyerangnya. Dan terlelap tanpa dia rencanakan.     

Belhart bahkan tidak merespon ketika Monna beberapa kali memanggilnya.     

Sudah menemukan dunia nyamannya sendiri dan berkelana dalam alam bawah sadarnya.     

Ketenangan Belhart mengundang banyak perhatian Monna. Membuatnya mulai menelusuri wajah damai itu perlahan karena penasaran.     

Monna mulai bertanya-tanya dalam hati.     

Apa alis Belhart setebal ini?     

bulu matanya selentik ini,     

bibirnya setipis ini,     

Lalu apa hidungnya semancung ini?     

Menilai satu demi satu kelebihan dan keunggulan wajah Belhart. Monna menyadari kesempurnaan ada padanya.     

Persis sama sesuai dengan deskripsi sang penulis novel.     

Rambut biru gelap sedalam samudera. Seolah bersinar terkena pantulan cahaya. Sedikit mengesampingkan poni Belhart yang menutupi alis dan sebagian matanya.     

Monna merasakan hatinya berdegup.     

Tidak mengenali perasaan asing itu. Monna tanpa terduga cegukan. Menyentuh dada kanan atasnya dengan tangan kiri.     

Monna lagi-lagi bertanya-tanya dalam hati.     

"Ada apa denganku? Dan kenapa aku mendadak menjadi aneh?"     

Mengabaikan seluruh perasaan aneh yang menyelimutinya.     

Hari itu berakhir dengan damai. Sempat membuat Belhart merasa bersalah ketika dia sudah bangun dan menyadari keteledorannya.     

"Aku minta maaf. Terlalu lelah dan menemukan posisi yang terlalu nyaman. Kau tidak apa-apa?" tanya Belhart cemas jika mungkin membuat Monna kelelahan menopang kepala Belhart di kedua kakinya.     

"Aku baik-baik saja, Yang Mulia. Mengerti dengan kelelahan yang Anda rasakan. Saya juga tidak mungkin berani membangunkan Anda. Jika istirahat sebentar mungkin adalah hal yang paling baik harus Anda lakukan saat ini,"     

Belhart lalu menyibakkan rambutnya ke atas. Tidak pernah melakukan tidur siang senyenyak ini. dan jujur, dia tidak menyesalinya. Bahkan masih mengantuk dan ingin tidur lebih lama di atas pangkuan Monna.     

Keinginan itu harus Belhart urungkan karena dia tidak ingin membuat Cattarina tersiksa.     

"Ya. Kau benar,"     

Menyetujui ucapan Monna lalu menyipitkan mata. Belhart melihat ada bekas luka di punggung tangan Monna. Kemudina meraih tangan itu.     

"Kau mendapatkan luka ini karena membuatkan kukis untukku?" tanya Belhart dengan wajah super serius.     

Menatap dengan cemas sekaligus merasa bersalah.     

Monna yang awalnya tidak ingin menunjukkan luka itu, menarik tangannya menjauh.     

Menatap ke sisi lain dan membalas ragu.     

"Hanya karena kurang hati-hati dan tergesa-gesa,"     

Belhart lalu menjadi heboh. Memanggil beberapa orang untuk mengobati luka Monna dan menegurnya.     

Dengan beberapa alasan, Monna menyadari teguran itu bukan semata-mata karena Belhart kesal pada kebodohannya. Namun cemas karena keteledorannya.     

Monna pada akhirnya harus beberapa kali meyakinkan Belhart kalau dia baik-baik saja.     

***     

Malam itu Monna bermimpi lagi. Mimpi yang sangat aneh dan berbeda dengan mimpi-mimpi buruknya selama ini.     

Mimpi itu tertuang dalam beberapa adegan berbeda.     

Membuat kerutan demi kerutan dan kegelisahan demi kegelisahan kembali Monna rasakan.     

Tidak tahu siapa yang sedang marah padanya. Sosok wanita yang sedang membencinya hadir. Menegurnya sebagai penghalang sekaligus pengganggu dan perebut. Monna sama sekali tidak bisa mengenali sosok buram yang berada di hadapannya.     

Bersuara dengan nada bicara yang bergema dan samar. Namun jelas sangat marah padanya.     

Adegan lalu berpindah pada ketulusan seorang pria menyatakan cinta padanya. Mengungkapkan betapa dia sangat peduli padanya dan ingin terus hidup bersama dengannya. Sosok yang awalnya juga buram, lambat laun menjadi jelas.     

Menemukan wajah Belhart dalam sosok itu.     

Monna beberapa kali mengerjap dalam mimpinya. Merasa asing dengan pernyataan cinta itu. Tapi juga tidak merasa asing.     

Benarkah semua itu hanya bunga tidur? Bukan rekaman masa depan yang akan menantinya di kemudian hari?     

Tapi kenapa bukan hanya Belhart yang menyatakan cintanya pada Monna?     

Neil Rudwig, pria yang seharusnya mencintai Alliesia. Ikut menyatakan perasaannya pada Monna?     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.