Istri Kecil Tuan Ju

Merasa Penasaran



Merasa Penasaran

0Qara terdiam sejenak mengabaikan pertanyaan Qiano. Ia melirik ke berbagai arah. Dimana dia merasa ada banyak mata yang memandangnya dengan kesal karena ia terlihat dekat dengan Qiano. Tentu saja itu membuatnya risih.     
0

"Ra, kenapa kamu diam saja?". Tanya Qiano yang mencoba menyadarkan Qiara dari diamnya.     

"Ahhh ... Iya. Kamu mau bicara apa?". Tanya Qiara dengan ketus. Qiano mengerutkan keningnya memperhatikan sikap Qiara yang aneh. Dia berfikir akan berdampak setelah belajar bersama kemarin. Nyatanya tidak sama sekali.     

"Ra, ada apa dengan kamu? Aku fikir kita sudah berdamai. Lalu, kenapa kamu ketus begini?". Tanya Qiano tanpa ekspresi.     

"Tidak ada apa-apa. Aku memang orang yang sudah seperti ini dari dulu. Sekarang, katakan apa yang ingin kamu bicarakan denganku!" Jawab Qiara seraya memalingkan wajahnya dari Qiano. Tanpa menjawab pertanyaan Qiara. Qiano malah menarik lengan Qiara dan membawanya pergi.     

Seketika itu Qiara merasa kesal ditarik-tarik begitu.     

"Qiano ... Lepasin aku! Jamu tidak boleh seenaknya begini! Atau aku akan berteriak sekarang". Kata Qiara seraya mencoba melepaskan diri dari Qiano.     

"Kita bicara di tempat lain. Jadilah baik! Karena aku juga tidak akan berbuat macam-macam kok sama kamu". Sahut Qiano tanpa menoleh ke belakang. Mendengar perkataan Qiano.     

Qiara langsung menurut dan membiarkan Qiano membawanya pergi. Tidak lama setelah itu, mereka sampai di halaman belakang sekolah. Cuaca yang cerah dan cukup panas membuat mereka berdua meneteskan keringat.     

"Qiano, kenapa kamu membawaku kesini? Apa kamu mau membuat gosip baru tentang kita karena disini sangat sepi". Ucap Qiara seraya melempar bola matanya kesemua penjuru halaman belakang itu.     

"Karena disini tempat yang baik untuk bicara". Jawab Qiano tanpa ekspresi.     

"Ya sudah, ayo bicara saja sekarang!". Kata Qiara dengan kesal karena ia tidak bisa tenang ketika menyadari kalau Ibu dan Suaminya menelpon berulang kali, namun tidak bisa dia angkat.     

"Baiklah. Aku hanya ingin bertanya, kenapa kamu menyebut namaku di depan pak Rahmat tadi? Seingatku, soal rumus itu tidak pernah aku sampaikan kepadamu. Lalu, siapa sebenarnya yang sudah mengajari kamu?" Tanya Qiano seraya menatap Qiara penuh arti.     

Mendengar pertanyaan Qiano. Qiara menunduk sambil menggaruk kepalanya. Dia terpaksa melakukannya, karena kalau bukan Qiano, siapa lagi yang akan dia sebut. Tidak mungkin kan kalau dia menyebut nama Julian.     

"Ummm .... Bisakah kita lupakan tentang rumus dan kejadian tadi? Oh iya, Apakah Minggu depan kamu ada kegiatan?". Kata Qiara seraya mencoba mengalihkan pembicaraannya.     

Mendengar pertanyaan Qiara. Qiano menarik nafas berat karena ia tidak mendapat jawaban dari pertanyaan. Namun, ia juga tidak mungkin memaksa Qiara untuk menjawab.     

"Ada. Aku tanding basket minggu depan. Apa kamu mau nonton?". Jawab Qiano setelah mengendalikan rasa penasarannya.     

"Ummm ... Apa kamu mau aku datang?". Tanya Qiara dengan malu-malu sembari berharap Qiano menjawab sesuai dengan harapannya.     

"Aku akan menunggumu!". Jawab Qiano sambil tersenyum.     

Mendengar jawaban Qiano yang sesuai harapannya. Entah mengapa hati Qiara merasa bahagia melihat senyum Qiano jantungnya berdetak lebih kencang.     

"Akan aku usahakan. Kalau begitu, ayo kita pulang!". Ucap Qiara dengan tersenyum seraya mengajak Qiano untuk pulang bersama. Qiano pun langsung mengangguk. Tidak lama setelah itu mereka keluar bersama dengan jalan berdampingan.     

Seketika itu, semua siswa yang masih berada di sekolah memandang heran ke arah dua musuh bebuyutan itu jalan bersama dalam kedamaian tanpa pertengkaran. Qiara terlihat tenang berjalan di samping Qiano, meskipun dia tau banyak tatapan sinis tertuju padanya.     

"Aku pulang dulu ya!". Ucap Qiara sambil memapah sepedanya.     

"Apa kamu yakin tidak mau aku antar?". Tanya Qiano dengan ekspresi yang tenang.     

"Tidak apa-apa. Aku juga sudah biasa pulang sendir". Jawab Qiara.     

"Oke. Kalau begitu, hati-hati di jalan!". Setelah mengatakan itu, Qiara dan Qiano berpisah menuju jalur yang berlawanan.     

Waktu berjalan begitu cepat. Hari yang semakin siang menunjukkan waktunya pulang sekolah sudah tiba. Tidak terasa sudah satu Minggu berlalu semenjak kejadian langka dimana ia bisa menjawab pertanyaan dengan benar dan sempurna. Karena telponan Ibu yang memintanya untuk cepat pulang. Qiara pun terpaksa tidak bisa mengikuti teman-temannya untuk kumpul. Dia langsung pulang sehabis dari sekolah.     

Tidak lama setelah itu, Qiara sampai di rumah. Namun, ia berhenti di depan gerbang ketika melihat mobil yang cukup akrab parkir di depan rumahnya.     

"Itu mobil siapa? Kenapa parkir di depan rumahku? Sepertinya, pernah aku lihat sebelumnya mobil itu". Batin Qiara. Setelah selesai membatin, Qiara pun masuk dan memarkir sepedanya di samping mobil itu.     

"Assalamualaikum ... Ma ... Oh ... Astaga?". Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Qiara terkejut bukan main sampai dia hampir jatuh dengan ekspresi yang buruk ketika melihat sosok yang sangat dia hindari dan tidak ingin dia lihat. Mendengar suara Qiara, Renata dan sosok itu langsung menoleh kearah pintu masuk.     

"Ahh ... Sayang, kamu sudah pulang? Ayo kesini!". Seru Renata dengan senyum yang merekah.     

"Kenapa dia ada disini?". Tanya Qiara seraya menunjuk kearah sosok itu.     

"Sayang, apa maksudmu bertanya begitu? Dia suamimu, jadi wajar saja dia datang kesini. Lebih baik kamu duduk dan sambut dia! Beri salam sebagai istri yang baik". Kata Renata mencoba membuat Qiara melakoni perannya dengan benar.     

"Kenapa kamu ada disini? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak bertemu sebelum aku lulus SMA?". Tanya Qiara secara langsung kepada Julian yang masih diam memandangnya.     

"Qiara ... Duduk kamu! Tidak sopan sayang kalau kamu bicara sambil berdiri di depan suamimu".     

Renata merasa kesal dengan sikap Qiara yang mulai kekanakan. Renata menatap sinis kearah Qiara, sehingga Qiara cemberut lalu duduk dengan patuh di seberang Julian.     

"Aku ada pekerjaan disini. Ketika Mama tau aku akan kesini, dia menitipkan hadiah buat kamu".     

Jelas Julian tanpa ekspresi. Mendengar penjelasan Julian. Qiara langsung melirik ke arah kado yang berada diatas meja.     

"Waduhhh ... Mertua yang sangat baik dan perhatian. Kamu beruntung sayang, karena memiliki mertua seperti Mama Julian. Bilang Terimaksih!". Kata Renata dengan ramah.     

"Terimaksih!". Ucap Qiara dengan ketus.     

"Baiklah kalau begitu. Saya akan pergi sekarang karena saya harus menghadiri sebuah pertemuan". Kata Julian dengan sangat sopan tanpa perduli dengan ekspresi Qiara.     

"Dari tadi kek ... Perginya. Gerah tau. Ya sudah, saya juga mau ke kamar karena capek". Setelah mengatakan itu, Qiara langsung berdiri lalu bergegas pergi menuju kamarnya.     

"Qiara ... ". Teriak Renata yang merasa malu dengan sikap Qiara yang benar-benar tidak sopan. Meskipun Qiara mendengar teriakan Mama nya, ia tetap mengabaikannya dan mempercepat jalannya menuju kamar.     

"Ahhh ... Gara-gara lelaki tua itu, aku pasti akan kena marah setelah ini. Aku benar-benar tidak suka sama dia yang pintar sekali mencari muka sama Mama". Batin Qiara setelah menutup pintu kamarnya dengan keras.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.