Istri Kecil Tuan Ju

Dia Bukan Anak Yang Mudah!



Dia Bukan Anak Yang Mudah!

0Julian menghabiskan minumannya. Setelah itu ia menoleh kearah Qiara dengan ekspresi yang rumit.     
0

"Sayang ..  Zio bukanlah anak yang mudah kita tangani. Dia terlalu cerdas dan lebih dewasa dari usianya. Akan lebih baik jika dia marah atau berteriak, tapi dia tidak akan pernah melakukan itu ketika hatinya terluka. Dia lebih memilih diam dan menyakiti dirinya jika kita tidak hati-hati dalam bicara!" Kata Julian dengan sedih karena dia sudah sering melihat Zio seperti itu.      

Ekspresi Qiara mulai berubah. Ia tahu kalau Julian lah yang paling mengenal anaknya. Oleh karena itu ia percaya semua yang Julian katakan.     

"Kalau begitu, apakah aku bisa mengatasinya?" Tanya Qiara.      

Julian tersenyum. "Sebenarnya, Zio lebih mirip dengan kamu. Dia bayi yang aktif dan kadang keras kepala. Tapi, dia berubah menjadi seperti ini karena suatu keadaan. Jadi, jika kamu berusaha lebih keras, Zio mungkin bisa kembali seperti dulu."     

"Aku akan berusaha!" Qiara merasa tertantang sehingga ia bersemangat untuk membawa Zio kembali ke jati dirinya yang sebenarnya.      

Zio seperti ini karena dirinya, oleh karena itu Qiara bertekad untuk mengembalikan anaknya seperti dulu.     

"Aku sudah selesai sarapan, bisakah kita pergi sekarang? Aku sudah tidak sabar untuk melihat anakku! " Kata Qiara setelah menyeka mulutnya.     

"Oke." Julian tersenyum lebar ketika melihat Qiara kembali bersemangat. Ia merasa kalau beban berat dalam hidupnya sudah menghilang.      

Tidak lama setelah itu, mereka pergi dari meninggalkan rumah bersama-sama.     

Di tengah perjalanan, Qiara tiba-tiba teringat akan rencananya dengan Julian.     

"Julian ... Aku hampir lupa dengan rencana kita." Kata Qiara setelah ia menoleh kearah Julian yang sedang fokus menyetir.     

"Apa itu?" Tanya Julian tanpa melirik kearah Qiara.     

"Ini tentang Reina. Bukankah kita berencana untuk menikahkan Reina dan Demian? " Jawab Qiara dengan tatapan yang membulat sempurna.     

Julian pun akhirnya melirik Qiara sebentar sambil mengerutkan keningnya. "Menikahkan Reina dan Demian? Maksudmu kita menyatukan mereka untuk menghancurkan Virsen? "     

"Iya. Bukankah kamu mengatakan kalau kunci kelemahan Virsen adalah Reina? Jika Reina dimiliki orang lain, maka Virsen pasti akan frustasi. Bukan begitu?" Qiara tersenyum licik karena ia merasa senang jika apa yang dia dan Julian duga itu bisa menjadi kenyataan.     

"Tapi, bukankah kamu bilang kalau Demian tidak menyukai Reina? Aku tidak mau gadis yang malang itu terluka!" Kata Julian.     

Qiara sedikit cemburu saat mendengar ucapan Julian yang tidak mau melihat Reina terluka.     

"Kenapa ... "      

"Reina adalah adikku tapi lain ibu." Julian sudah bisa menebak apa yang Qiara pikirkan sehingga ia segera mengklarifikasi kenapa dia bicara seperti itu.      

Qiara terkejut. Untuk kesekian kalinya Julian membuatnya terkejut.      

"Bagaimana ceritanya Reina bisa menjadi adikmu?" Tanya Qiara setelah ia tersadar dari keterkejutannya.     

"Ceritanya panjang. Aku janji akan menceritakan nya padamu nanti setelah urusan kita sama Zio selesai." Jawab Julian tanpa emosi.     

Sebenarnya Julian merasa malu mengungkit kesalahan ayahnya yang lain. Tapi, dia tidak ingin merahasiakan apapun dari Qiara.      

"Baiklah, aku akan menunggu! Sekarang aku akan memikirkan ulang  rencana kita lagi sampai aku mengetahui kalau Demian menyukai Reina. Tapi, jika Demian tidak juga menyukai nya, maka aku akan merubah rencana."  Kata Qiara dengan suara yang lembut.      

"Terimakasih!"     

Qiara mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu, tidak ada pembicaraan lagi diantara mereka karena Qiara sibuk memikirkan apa yang akan dia katakan pada Zio. Sedangkan Julian kembali fokus menyetir.     

Rumah Kevin.      

Di waktu yang sama, Kevin sedang menikmati sarapannya. Hari ini dia tidak bekerja karena Maxwell memintanya untuk melakukan itu.      

Awalnya, Kevin menoleh untuk libur, tapi Maxwell mengatakan kalau dia punya kejutan sehingga Kevin akhirnya patuh walaupun ia masih bingung.     

Tepat saat itu, Kevin menghentikan sarapannya saat ia tiba-tiba mendengar suara langkah  kecil yang berlari dari arah pintu masuk.     

Tidak lama setelah itu, Kevin  kaget melihat sosok kecil yang imut dan menggemaskan itu sudah berdiri di samping tempat duduknya.     

"Papa ... " Ucap anak kecil itu sambil mendongak dan mengedipkan matanya berulang kali.     

Walaupun bingung, Kevin tetap memberikan Gavin tatapan yang  sangat lembut karena dia  benar-benar bahagia bisa  melihatnya.     

Sejujurnya dia sangat merindukan Gavin. Tapi, dia belum bisa pergi ke London untuk mememuinya.     

Setelah itu, Kevin membawa Gavin  kepangkuannya dan dengan rakus mencium anak kecil itu seolah ia sudah lama tidak bertemu dengannya.     

"Gavin ... Kamu kesini sama siapa? Apakah kamu meninggalkan Tante Agatha?" Tanya Kevin dengan heran.     

"Tante Agatha tidak ikut. Tapi, dia mau menyusul nanti katanya. Aku kesini sama Paman Max. Aku kangen Papa!" Jawab Gavin.     

Kevin tersenyum. "Papa juga sangat merindukanmu sayang!"      

Kevin memeluk Gavin dengan erat, karena bagi Kevin, Gavin lebih dari anak kandungnya. Dia sangat mencintai anak kecil itu sejak ia datang pertama kali ke rumahnya.      

Gavin  sangat bahagia.      

"Aku mencintaimu Papa!" Ucap Gavin setelah ia melepaskan diri dari pelukan Kevin.      

Setelah itu,  mata kecilnya yang berkilau menatap Kevin  tanpa berkedip kemudian  mencium pipi Kevin dengan mesra.      

Kevin  tidak bisa menahan senyum bahagianya melihat tingkah lucu Gavin  yang  menciumnya setelah mengungkapkan perasaannya.      

Tanpa sepengetahuan Kevin, Maxwell sedang berdiri tidak jauh dari meja makan.      

Max  menatap Kevin  dan Gavin  penuh arti. Seketika itu Maxwell berpikir akan sulit memisahkan Gavin dan Kevin. Tapi, dia harus menggunakan Gavin untuk membuat Nathan dan Tuan Jhosep bertengkar. Balas dendam pun akan di dia mulai dari Gavin.     

'Maafkam aku Kevin! 'Batin Maxell.     

Setelah itu, Maxwell berjalan mendekati Kevin dan Gavin.     

"Gavin ... Kenapa kamu berlari sangat kencang? Paman mu yang sudah tua ini kesulitan mengejar mu." Kata Maxwell setelah ia duduk di kursi samping tempat duduk Kevin.     

Kevin kaget melihat Maxwell yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.      

"Jadi, kamu yang benar-benar membawanya kesini?" Tanya Kevin dengan sinis.      

"Hahaha ... Jangan memasang wajah mengerikan seperti itu! Aku hanya ingin menyampaikannya rasa rindu Gavin padamu. Karena aku tahu kamu juga kangen padamu, makanya aku meminta anak buah ku untuk membawanya ke kita A." Jawab Maxwell tanpa rasa bersalah.     

"Paman ... Bukankah paman menelepon ku dengan mengatakan kalau Papa memintaku datang?" Kata Gavin sambil menatap Maxwell dengan bingung.     

Maxwell langsung diam. Dia menggaruk kepalanya karena baru saja ketahuan bohong. Tentu saja Kevin langsung memberikannya tatapan yang mengerkan.     

"Apakah kamu punya kebiasaan baru? Yaitu membohongi anak kecil?" Tanya Kevin lagi dengan suara berat dan lebih mengerikan.     

"Hanya sekali! Jadi, jangan marah!  Sekarang, bolehkah aku sarapan disini? Karena aku lupa sarapan di rumah!" Kata Maxwell dengan cemberut.      

"Tidak ada sarapan buatmu! Tapi, kita perlu bicara! Jadi, sebaiknya kamu tunggu aku di ruang kerjaku!" Kata Kevin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.