My Coldest CEO

Empat puluh lima



Empat puluh lima

0"Main ludo yuk, aku bosan."     
0

Xena menatap Sean yang kini sedang sibuk bermain ponselnya sambil tiduran di atas sofa. Sedangkan dirinya? Masih setia duduk di lantai sambil menatap bingung karena tidak tau harus berbuat apa. Menurutnya, laki-laki itu terlalu santai. Kenapa tidak langsung menghabisi dirinya saja?     

Sean menoleh ke arah Xena. "Ingin langsung aku bunuh? Baiklah." Ucapnya sambil beranjak dari tidurnya dan memasukkan ponsel ke saku celana.     

"Eh, siapa yang bilang jika aku ingin segera di bunuh? Aku hanya ingin mengajak kamu bermain ludo, itu saja." Ucap Xena sambil menatap Sean dengan sebal.     

"Aku tidak tertarik dengan permainan anak kecil."     

"Siapa yang bilang itu permainan anak kecil? Bahkan banyak orang dewasa sampai paruh baya yang bermain ini."     

"Tau darimana?"     

Xena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya ia hanya mengarang pembicaraannya saja. Baiklah, ia memang pandai menghancurkan suasana. Dalam situasi seperti ini, seharusnya atmosfer yang berada di sekitar berubah menjadi tegang dan menyeramkan. Tapi berkat tingkah dirinya, jadi terlihat santai.     

"Ya sudah kalau begitu, kita bermain tebak gerakan saja, bagaimana?" Ucap Xena yang masih berusaha mencairkan suasana.     

Sean menatap gadis yang kini sedang menatapnya dengan mata berbinar seolah-olah dirinya akan menerima setiap ajakan bermain gadis itu. "Tidak minat." Ucapnya dengan dingin. Ia mendekati Xena, lalu berjongkok di hadapan gadis itu.     

Xena menahan napasnya sesaat karena terkejut dengan pendekatan laki-laki itu yang tergolong mendadak. "Kamu mau ngapain? Jangan sentuh-sentuh ya!" Ucapnya, mulai panik dengan pergerakan Sean saat ini.     

"Aku hanya ingin sedikit bermain, seperti apa yang kamu minta." Gumam Sean yang tiba-tiba mengeluarkan borgol dari balik punggungnya. Ia mengurung tubuh Xena dengan kedua kakinya, lalu kedua tangannya berusaha memborgol tangan gadis itu yang kini sudah meronta-ronta.     

"LEPASIN AKU, SAKIT TAU!!" Pekik Xena sambil menatap Sean dengan tatapan yang berkabut. Niatnya ingin bermain game dengan Sean terkubur sudah bersama dengan perasaan takut yang menjalar.     

Sean tersenyum miring setelah berhasil memborgol tangan Xena. Ia menurunkan kakinya, lalu menyentuh bibir gadis itu dengan jari telunjuknya. "Jangan banyak bergerak ya, sayang." Ucapnya sambil mengeluarkan pisau kecil yang tadi awal ia genggam.     

Xena menggeleng sambil menatap Sean dengan takut. "Aku hanya ingin bermain dengan kamu, aku bosan. Maaf jika aku terlalu banyak bicara!" Pekiknya dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya. Rasanya ia ingin menampar Sean saat ini juga.     

Sean menatap Xena dengan tatapan datarnya. "Jika kamu ingin bermain, seperti inilah permainan ku." Ucapnya sambil menyayat sedikit permukaan wajah gadis di hadapannya ini dengan pisau kecil yang setia berada di genggamannya.     

"ARGHH!" Teriak Xena ketika merasakan pisau dingin yang tajam itu mulai merobek pipi kanannya. Ia menangis histeris sambil menggelengkan kepalanya kala Sean ingin meraih dagunya. "Aku bisa memberikan kamu uang yang jauh lebih besar daripada yang Paula berikan, tapi tolong lepaskan aku. Aku ingin menikah dengan Vrans. Kamu tidak mengerti apa itu cinta..."     

Tubuh Sean menegang, ia berdecih. "Cinta? Untuk merasakannya saja aku tidak berminat." Ucapnya sambil bangkit dan berjalan menjauhi Xena lagi. Ia duduk di sofa, lalu menatap langit-langit gedung ini yang di penuhi sarang laba-laba di bagian atasnya.     

"Bagaimana aku bisa merasakan cinta jika cinta itu sendiri menolak kehadiran aku? Bagaimana bisa, jika dari kecil aku hanya hidup di balik bayang-bayang Hana? Aku hanya anak tidak berguna, sedangkan Hana? Dia adalah anak emas."     

Entah kenapa, topik pembicaraan yang Xena undang ini adalah topik yang sangat sensitif bagi dirinya. Ia marah, sedih, kesal, dan kecewa terhadap orang-orang yang berada di hidupnya.     

Xena berusaha menghentikan tangisnya walau masih terdengar suara sesegukkan yang keluar dari mulutnya. Ia tidak berkomentar apapun mengenai hal ini, karena jujur saja kali ini aura Sean menjadi berubah. Terlihat seperti seseorang yang menahan rasa sakit sejak lama.     

Apa seorang pembunuh juga merasa sedih seperti orang biasa pada umumnya?     

Sean menatap Xena dengan tatapan sinisnya. "Kamu seharusnya beruntung karena masih di kasihani oleh client kami, Paula. Karena biasanya, seseorang yang menyewa kami itu tidak akan pernah membatalkan keinginan mereka. Hanya kamu, dan baru kamu saja yang membuat aku merasa menjadi pembunuh paling lemah."     

"Berarti aku keren, kan? Iyalah, siapa dulu dong pacarnya, Vrans Moreo Luis si bosayang yang paling sayang sama aku." Ucap Xena keluar dari topik pembicaraan. Sudah biasa gadis ini membicarakan hal yang melenceng dari topik.     

Sean menggelengkan kepalanya. Sepertinya Vrans salah memilih kekasih, lihat saja, diukur dari segi manapun kepolosan Xena adalah hal yang paling tidak sinkron dengan sifat Vrans yang bisa di bilang berwibawa dan cuek dengan sekitar.     

"Sepertinya kamu kurang waras." Ucap Sean sambil menaruh pisau kecilnya di saku celana. Ia mengambil sebatang rokok beserta pematiknya, lalu menghisap dan mengepulkan asapnya secara perlahan.     

Xena menekuk lutut dan sedikit meringis kala pipinya merasakan perih yang luar biasa, lalu ia menaruh kepalanya disana. "Bagaimana pun juga, aku memiliki orang-orang yang aku cintai, begitu juga sebaliknya. Aku tidak ingin kehilangan atau pergi meninggalkan mereka. Jadi, aku boleh pulang ya, Sean?"     

Menurut Xena, semua orang sama saja. Mau mereka memiliki catatan kriminal yang tinggi maupun tidak, toh mereka sama-sama manusia. Jadi menurutnya, tidak ada hal yang perlu di khawatirkan.     

"Enak saja."     

Xena membuang napasnya dengan kasar. "Aku ingin bertemu dengan Vrans. Aku tidak ingin pergi dari dunia ini, karena masih ingin bermain dengan sahabat ku dan juga Vrans. Pokoknya aku--"     

Sean berdecih lalu melempar pisau kecil yang tadi di taruhnya ke arah Xena. "Berisik!"     

Dada Xena bergemuruh kala melihat pisau yang kini sudah tertancap di dinding, tepat di samping lengannya. Ia melihat ke arah lengannya yang ikut tersayat, tidak terlalu dalam. "Sakit, Sean."     

"Memang itu tujuan ku. Bermain dan menyiksa, khusus untuk kamu."     

Xena kembali terisak dalam diam, ia memang gadis yang periang dan tidak pernah pantang menyerah dengan mengeluarkan semangat yang konyol untuk dirinya sendiri. Namun kali ini, cara tersebut tidak berhasil. Justru ia merasakan ketakutan yang semakin mendalam bersama rasa sakit yang Sean berikan. Laki-laki itu benar-benar ingin membuat dirinya terluka. Ah bodoh, memang itu sudah menjadi tugasnya!     

"Aku butuh kamu, Vrans..." Gumam Xena sambil terisak kecil. Ia memang gadis yang kuat, tapi untuk situasi saat ini, semua sifat konyolnya hancur lebur.     

Sean tertawa jahat. "Baru seperti itu saja sudah menangis, lemah." Ucapnya sambil melihat ke arah lengan Xena yang sudah berlumuran darah. Ia sama sekali tidak memiliki rasa kasihan untuk gadis itu.     

"Someone can't judge my life, including you, Xena."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.