My Coldest CEO

Empat puluh tiga



Empat puluh tiga

0Orlin mengerucutkan bibirnya menatap layar ponsel dengan pahit. Ia kesal dengan Erica yang selalu saja menyepelekan keselamatan dirinya demi menolong sahabatnya yang berada di dalam zona berbahaya. Bahunya merosot, ia duduk di lantai masih di dampingi dengan Raquel yang sedari hanya melamun dengan tatapan benar-benar kosong. Entah apa yang gadis itu pikirkan tapi yang jelas ia tidak ingin mengganggu Raquel yang mungkin masih terkejut dengan kejadian ini. Ya jelas saja, ia tidak tau apapun mengenai Paula dan pembunuh bayarannya yang mengincar Xena. Terlebih lagi mayat Paula yang berlumuran darah berada tepat di dalam rumahnya.     
0

"Erica nyebelin banget sih!" Pekiknya dengan raut wajah yang masam. Ia mencari kontak Xena untuk menghubungi gadis itu.     

Satu detik sampai suara operator menutup sambungan teleponnya, memberitahu dirinya jika nomor Xena tidak aktif. Ia mencoba menghubungi Vrans dengan keberanian yang sudah cukup terkumpul, bagaimana pun juga menelpon Vrans adalah hal pertama yang baru ia lakukan. Laki-laki dingin yang memberitahukan ke seluruh karyawan perusahaan supaya tidak menggangu dirinya dengan terang-terangan. Siapa yang tidak takut? Hanya Xena.     

Nomor ponsel laki-laki itu juga tidak aktif.     

Orlin menghela napasnya, ia menjadi berpikir buruk karena hal ini. Tapi kembali lagi, ia sudah berjanji kepada Erica untuk tetap disini menenangkan Raquel yang masih terdiam. Beruntung gadis itu sudah tidak menangis lagi.     

"Kamu tau tidak, Raquel?"     

Yang di ajak bicara hanya diam saja.     

"Aku merasa benar-benar mengkhawatirkan Xena. Entahlah, hanya karena cinta semua menjadi serumit ini. Bahkan Paula tersesat ke dalam permainannya sendiri." Ucap Orlin sambil menoleh ke arah Raquel. Gadis itu, gadis yang terlihat polos, sama seperti Xena. "Mau berteman? Mungkin kita bisa bermain bersama."     

Raquel menoleh ke arah Orlin dengan senyuman simpulnya. "Benarkah? Sebelumnya tidak ada satu orang pun yang mengajak aku berteman." Ucapnya dengan antusias, perlahan berkat ucapan Orlin padanya, ia merasa lebih baik dari sebelumnya.     

"Kenapa?" Tanya Orlin penasaran.     

Raquel mengangkat bahunya acuh. "Tidak tau. Mereka hanya bilang jika aku terlalu sombong untuk ukuran mahasiswi." Lirihnya dengan sorot mata sendu. Ia mengingat saat dirinya berjalan menggunakan sepatu bermerk yang baru di belikan oleh daddy-nya. Ia tidak bermaksud pamer atau apapun itu, ia hanya menghargai pemberian laki-laki yang ia sangat sayangi di dunia ini dengan cara memakai sepatu itu sebagai gantian sepatu lainnya.     

Orlin menggeleng tidak percaya. "BERARTI DIA ITU IRI MELIHAT KAMU MEMAKAI BARANG ITU! AKU HERAN YA MASIH ADA SAJA ORANG SEPERTI ITU DI DUNIA INI!" Teriaknya dengan emosi. Sudah di peringati sebelumnya jika ia adalah sosok yang perasa.     

Raquel sedikit menjauhkan tubuhnya dari Orlin. Iya merasa telinganya mungkin sebentar lagi akan rusak. "Jangan berteriak."     

"Oh iya maaf, sudah kebiasaan." Balas Orlin sambil terkekeh kala melihat jarak duduk mereka yang dibuat sedikit renggang.     

Orlin tersenyum lalu menjulurkan tangannya. "Lupa kenalan nih aku. Kenalin ya Nama aku Roseline Damica." Ucapnya degan sangat ramah. Ia benar-benar ingin menjadikan Raquel sebagai teman barunya. Ya hitung-hitung menambah personil saat melakukan perang bantal dengan kedua sahabatnya yang lain.     

Dengan senang hati, Raquel menyambut jabatan tangan milik Orlin. "Raquel Tathtion, panggil saja--"     

"Raquel, kan?" Ucap Orlin memotong ucapan Raquel membuat gadis itu terkekeh.     

Baru saja Orlin ingin mengajak Raquel mengobrol lagi, tiba-tiba Niel menarik tangannya meminta dirinya beranjak.     

"Ada apa, Niel? Aku sedang mengobrol dengan Raquel." Ucap Orlin merasa kebingungan. Terlebih lagi Niel membawa dirinya menjauh dari Raquel.     

Niel melepas genggaman tangannya pada pergelangan tangan Orlin. "Sean yang membunuh Paula ja--"     

"Iya aku tau, sayang." Ucap Orlin memotong ucapan Niel.     

"Dengarkan dulu. Jika Paula ada disini, berarti apa yang Xena dan Vrans? Hanya Sean? Ini sudah di atur rapih oleh laki-laki itu, Orlin. Kita harus bergegas."     

Deg     

Orlin baru menyadari hal ini sejak tadi dirinya yang sibuk menenangkan Raquel. "Kalau begitu, Xena, Erica, dan Vrans dalam bahaya. Jika seperti itu, ayo bergegas."     

...     

"Selamat datang, Xena."     

Xena menatap Sean dengan takut. Ia melihat laki-laki itu sudah berdiri tegak dengan pisau kecil di tangannya. "Apa yang kamu inginkan dari ku, Sean?" Gumamnya dengan sorot mata yang menatap laki-laki itu dari atas sampai bawah. Penampilan pembunuh bayaran yang cukup rapih dengan pakaian hitam anti peluru.     

Sean menyesap sebatang rokoknya. "Ingin mewawancarai aku atau ingin langsung ku bunuh?" Ucapnya tanpa merasa bersalah sedikitpun. Bersalah? Ah bahkan seharusnya yang pantas di salahkan adalah Paula. Gadis itu yang membayar Sean untuk melakukan tugas ini.     

Xena memundurkan langkahnya. "Dimana Paula?!" Pekiknya sambil meraih dinding, berharap Sean tidak akan mendekati dirinya, padahal memang tidak. Laki-laki itu masih setia berdiri sambil menikmati kepulan asap rokok yang di keluarkan dari mulutnya.     

"Paula? Gadis tidak berguna itu? Tidak ada disini."     

"Maksud kamu apa?"     

"Dia sudah ku bunuh."     

Deg     

Dada Xena berdetak tidak karuan, bulir keringat mulai membasahi pelipisnya. Ia benar-benar kehabisan akal dengan cara berpikir laki-laki itu. Lalu apa yang akan ia selamatkan saat ini? Dirinya sendiri?     

"Kalau begitu, lepaskan aku!!" Pekik Xena dengan panik, bagaimana pun juga ia berada satu ruangan dengan seorang pembunuh yang mentargetkan dirinya.     

"Setelah bersusah payah aku membuat rencana sematang ini, dengan mudahnya aku melepaskan kamu? Tidak semudah itu, sayang."     

"Yang boleh memanggil ku sayang hanya Vrans!"     

Sean mengepulkan asap rokoknya ke udara, menatap Xena dengan ekspresi takut sekaligus kesal dengan ucapannya barusan. "Mengenai kekasih mu itu, sepertinya ia memilih pintu yang terdapat labirin kaca. Berharap saja ia bisa keluar sebelum matahari terbenam." Ucapnya sambil menampilkan senyuman miringnya.     

"Memangnya ada apa dengan matahari terbenam?"     

"Aku memberi kamu waktu untuk hidup sampai matahari terbenam, tidak ada pembunuh sebaik aku."     

"Apa kamu tidak takut jika sebelum waktu itu, para polisi bersama sahabat-sahabat ku berhasil masuk ke rumah ini dan menangkap kamu?" Ucap Xena dengan pikiran yang menuju kepada para sahabatnya. Apa mereka baik-baik saja?     

Sean terkekeh kecil. "Mereka tidak bisa masuk kesini. Karena hanya ada tiga akses pintu masuk. Dan jika ketiga pintu itu sudah di masuki oleh seseorang, otomatis gagang pintunya akan mengunci orang tersebut." Ucapnya sambil memutar-mutar pisau kecil di tangannya.     

"Mereka bisa, karena aku dan Vrans yang baru kesini. Berarti masih ada satu pintu lagi, kan? Kamu akan kalah dan aku akan menang." Ucap Xena seperti anak kecil yang terlihat seperti mengejek temannya.     

Sean menggelengkan kepalanya. Dari awal, ia sedikit tersentak karena sifat Xena yang bisa di bilang sedikit aneh dan konyol. Ia sempat berpikir, gadis secantik Paula kenapa bisa kalah dengan Xena?     

"Pintu ketiga sudah di masuki gadis yang sok tau, dan aku sudah mengurung dirinya di ruang bawah tanah."     

Perasaan Xena tidak enak. "Jangan berbohong!"     

"Kamu pikir wajahku saat ini menunjukkan jika aku sedang berbohong?"     

"Tidak, wajah kamu seperti badut, bahkan lebih buruk daripada itu." Gumam Xena menjawab ucapan Sean. Ia terkekeh kecil saat melihat wajah laki-laki itu yang bingung karena tidak mendengar apa yang dirinya bicarakan.     

Merasa Sean yang bergeming, Xena merogoh saku celananya lalu mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. "LALU KENAPA PONSEL AKU TIDAK ADA SINYAL?"     

"Itu rahasia." Ucap Sean sambil duduk di salah satu sofa tua yang sudah terlihat lusuh. "Vrans memang pintar, tapi untuk masalah logika ia cukup bodoh, maka dari itu aku mendesain ruangan labirin kaca. Untung saja kalian tidak salah masuk, membuat pekerjaan ku semakin mudah." Lanjutnya sambil menatap Xena yang kini terlihat seperti seekor tikus yang melihat kucing ganas.     

"Bagaimana dengan salah satu gadis itu?"     

"Dia Erica, kan? Menurut data yang aku curi, dia gadis yang cukup pintar. Makanya aku membuat satu pintu khusus yang aku tutupi wallpaper dinding. Dan sesuai tebakanku, logika gadis itu berjalan dengan sempurna. Hanya parasit, pantas untuk di singkirkan." Ucap Sean.     

Xena menatap Sean dengan marah. "Kalau terjadi apa-apa dengan mereka, akan aku--"     

"Apa?! Target aku hanya kamu, aku tidak akan melukai siapapun, kecuali dia sudah sangat mengganggu. Dan kini, nikmati waktumu sampai matahari terbenam, sayang." Ucap Sean sambil terkekeh jahat.     

Bahu Xena merosot mendengar penuturan Sean barusan. Ia sangat takut saat ini. "Apa aku sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi istri Vrans?"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.