My Coldest CEO

Sepuluh



Sepuluh

0  7 a.m in New York City    
0

  Cahaya matahari menerobos masuk lewat celah jendela yang terbuka memasuki kamar yang bernuansa putih polos, kicauan burung terdengar samar, udara pagi hari yang menyejukkan sangat menenangkan.    

  Xena membuka matanya perlahan, matanya masih terasa sakit. Yang ia ingat hanya dirinya ke club malam dan meminum beberapa gelas tequilla, selebihnya ia tidak ingat apapun.    

  "Arghhh."    

  Matanya membelalak sempurna. Matanya mulai menyapu setiap sudut ruangan, nuansa putih polos bukan tipe kamarnya sama sekali. Lalu ini dimana?    

  "Kamu di kamarku."    

  Tubuh Xena menegang melihat Vrans yang tertidur di sampingnya. Astaga laki-laki itu tidak berpakaian! Dengan segera, ia menutupi penglihatannya. Tubuh Vrans saat ini benar-benar sangat menggoda untuk di pandang. "Kamu tidak menyentuh aku sama sekali kan, Vrans?" Cicitnya.    

  Vrans mengangkat sebelah alisnya, lalu mulai beranjak dari tidurnya. Ia ternyata mengenakkan celana pendek yang membuat Xena menghela napas lega dengan pelan. Jangan bilang-bilang Vrans loh ya, daritadi tuh Xena mengintip disela-sela jemari tangannya!    

  "Jawab ih, es!"    

  Vrans berdecak sebal. Sepertinya salah membawa gadis cerewet ini ke mansion-nya. Menyebalkan! Untung saja tadi tadi siang Leo sudah pulang kembali ke London. Kalau tidak, Vrans yakin seratus persen jika ayahnya itu akan menjodohkan dirinya dengan gadis pluto ini yang menyandang status sekretaris kesayangan.    

  "Berisik."    

  Xena berdecak sebal melihat Vrans yang keluar dari kamar ini tanpa menjawab pertanyaan. Tapi ia yakin Vrans tidak bertindak macam-macam terhadapnya. Buktinya penampilannya kini masih sama seperti tadi malam.    

  Setelah menutup rapat pintu kamar Vrans, ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar ini. Kamar ini benar-benar sangat luas. Ia mengakui perbandingan kamar dirinya dan Vrans sangat berbeda.    

  Xena menaikan sebelah alisnya. Hanya ada peralatan mandi laki-laki disini. Hal-hal berbau 'man', yang wanginya sangat ciri khas dengan Vrans.    

  Setelah selesai mandi. Ia memilih pakaian di lemari Vrans. Laki-laki itu bahkan belum kembali lagi ke kamarnya. Ia memilih hoodie dan celana jeans berwarna putih milik laki-laki itu.    

  "Ayo pergi kerja."    

  Xena terkejut, hampir saja dirinya melompat. Astaga Vrans! Ia melihat laki-laki itu yang sudah rapih mengenakan jas bewarna hitam.    

  "Tapi, aku tidak membawa bajuku."    

  Vrans menatap tajam Xena, lebih tepatnya apa yang kini dikenakan oleh gadis itu. Hoodie kesayangannya sudah tercemar oleh gadis pluto itu. Menyebalkan! Namun ia tidak ingin ambil pusing. Biarlah, ia bisa membeli sepuluh Hoodie seperti itu lagi.    

  "Tidak masalah."    

  "Aku tidak mengenal daerah rumahmu ini, bagaimana caranya aku berangkat ke kantor?"    

  "Bersamaku."    

  Pijakan kaki Xena terasa lemas sekarang. Astaga membayangkan dirinya berangkat ke kantor bersama Vrans adalah impiannya. Tapi jika ini bermimpi ia berjanji tidak akan terbangun selamanya!    

  "YESSSS!" Teriak Xena sambil memeluk dada bidang Vrans dengan erat. Wangi maskulin laki-laki ini memasuki indra penciumannya. Sangat memabukkan!    

  Tubuh Vrans memegang. Desiran aneh mulai menjalar keseluruhan aliran darahnya. Ada apa ini?    

  "Kamu deg-degan, Vrans." Ucap Klarisa melepas pelukannya sambil tersenyum jahil.    

  "Terserah."    

  Vrans membalikan badannya, pergi meninggalkan Xena di kamarnya, lagi. Senyum Xena saat ini sudah mengembang sempurna. Kemarin ia makan siang bersama, jalan-jalan di pusat perbelanjaan, satu mobil dengan Vrans, lalu selanjutnya ia akan berangkat bersama dengan laki-laki itu? Please don't ask how it feels.    

  ...    

  Setelah menjadi perbincangan hangat di seluruh Luis Company, Xena kini berada di ruangannya sambil tiduran di sofa yang berada disana. Ia menggigit ujung kukunya dengan senyum yang belum pudar sedari pagi. Membuat Erica sangat jengah. Ia yakin sekali seratus persen jika mereka ada hubungan spesial. Ah sepertinya Erica sudah termakan ucapan karyawan yang ada disini.    

  "Berhenti, Na. Kamu membuatku benar-benar mual."    

  Xena menatap wajah Erica dengan senyum manisnya. "Ya habisnya Vrans lucu banget, gemes." ucapnya sambil menutup wajahnya dengan perasan senang yang luar biasa, refleks.    

  Erica memutar bola matanya malas. Pasalnya sahabatnya itu kini memasang wajah yang lebih cerah daripada tadi. Cantik sih, tapi tetap saja wajah Xena menjadi sungguh menyebalkan!     

  "Tidak mungkin kan bos berangkat bersama kamu jika sebelumnya tidak terjadi apa-apa." Ucap Erica dengan mata yang masih saja fokus menatap layar laptopnya.    

  Xena duduk, menegakan tubuhnya. Senyumnya perlahan pudar. Mengenai masalah keluarga Anderson yang sudah di ambang kehancuran, tidak ada seorang pun yang tahu. Ia tidak mungkin menceritakannya pada Erica. Ia tidak ingin di kasihani oleh siapapun.     

  "Tidak ada. Kan tadi aku sudah bilang jika dia itu sebenarnya cinta mati sama aku."    

  Lagi-lagi Erica mendengus kasar. Bisa-bisanya sahabatnya ini memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi, menyebalkan. Terlebih lagi gadis itu tidak diperbolehkan bekerja ataupun menyentuh dokumen lainnya, setidaknya itulah yang di sampaikan Vrans padanya. Ketika dirinya bertanya 'kenapa?' laki-laki itu hanya menjawab 'karena Xena tidak memakai baju kerjanya', aneh sekali bukan? Ah yasudah lah mungkin ini adalah hari tersial dalam hidupnya.    

  Xena memeluk dirinya sendiri. Menghirup aroma maskulin yang terpancar dari hoodie milik Vrans yang kini ia pakai. Astaga memabukkan sekali!    

  "Aku rasa, aku semakin cinta nih sama Vrans."    

  "Tapi kayaknya Vrans juga udah mulai suka deh sama aku."    

  "sebenarnya tidak ingin terlalu percaya diri untuk hal ini tapi kenyataannya memang seakan-akan bilang seperti itu. Bagaimana dong!"    

  Xena terus saja membayangkan sosok Vrans dan merapalkan berbagai kalimat halusinasi lainnya dengan lantang, membuat kepala Erica pusing dibuatnya.    

  Ceklek    

  Xena maupun Erica menoleh ke arah pintu. Tidak biasanya ada orang yang tidak mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk.    

  "Makan."    

  Mulut Erica hampir terbuka sempurna melihat Vrans yang kini sudah memegang berbagai macam makanan dari beberapa merk junkfood. McD, KFC dan Pizza'hut.    

  Mata Xena berbinar melihat Vrans yang menaruh semua makanan itu di meja yang berada tepat di hadapannya.    

  "Buat aku?"    

  "Ya."    

  "MAKASIH SAYANG."    

  "Hm."    

  Bukannya keluar dari ruang kerja sekretarisnya, Vrans kini duduk tepat di samping tubuh Xena, membuat gadis itu memekik tertahan. Astaga mimpi apa dia semalam sampai-sampai Vrans melakukan hal ini untuk dirinya?    

  "Makan, kamu belum sarapan."    

  Xena menganggukkan kepalanya dan mulai memakan seporsi big mac McD.    

  Ia benar-benar senang Vrans seperhatian ini padanya. Membuat dadanya derdegup kencang sampai semburat merah jambu terlihat dan tercetak jelas di kedua pipinya.     

  "Terimakasih, Vrans."    

  Vrans tersenyum simpul. Entah apa yang membuat dirinya berbuat seperti ini. Tapi kalian harus tau sekarang dipikirannya, gadis pluto ini adalah tanggung jawab baginya sejak ia melihat penampilan gadis ini yang sangat berantakan di salah satu club malam yang sangat terkenal. Ia sangat yakin seratus persen, gadis ini membutuhkan tumpuan untuk menguatkan dirinya, entah apa yang dialami gadis aneh ini sampai seperti tadi malam. Ia akan mencoba melupakan Klarisa sejenak, dan mulai membiasakan diri dengan perilaku aneh namun manis yang dimiliki oleh Xena. Manis? Ah ia pikir dirinya mulai gila dan kehilangan arah.    

  "Nanti pulang bersamaku, dan aku tidak menerima penolakan atau alasan apapun itu."    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.