My Coldest CEO

Lima belas



Lima belas

0  Xena berjalan kaki pulang ke rumahnya dengan lesu. Matanya sembab seperti di gigit semut. Bahkan air matanya sesekali masih menetes. Sakit sekali rasanya melihat kejadian tadi. Sebenarnya apa hubungan mereka? Bukankah Vrans mencintai Klarisa? Lalu siapa tadi? Katakan siapa tadi?!    
0

  "Jangan di pikirkan."    

  Xena menoleh ke sebelah kanannya, terdapat Niel dengan senyum manis andalannya.     

  "Butuh pelukan?"    

  Tangis Xena pecah seketika. Beruntung pagi ini tidak banyak orang yang berlalu lalang, membuat Xena dengan leluasa bertindak semaunya. Ia mulai memeluk tubuh kokoh milih Niel. Sakit sekali rasanya, entah harus berapa kali ia mengatakan hal itu.     

  Niel mengusap puncak kepala Xena dengan perlahan. Niatnya ingin menemui Tasya dan Liam untuk membatalkan saja tentang rencananya yang ingin dekat dengan Xena sesuai permintaan gadis itu pada pesan singkat yang dikirimkan untuknya. Namun siapa sangka ia menyaksikan kejadian yang membuat kepalanya terasa mendidih. Gadis yang sudah ia relakan ternyata jatuh pada tangan yang salah. Vrans laki-laki brengsek. Bisa-bisanya memeluk gadis lain di hadapan Xena. Memberikan perhatian khusus yang selalu diimpikan oleh Xena. Keteraluan!    

  "Vrans jahat." Ucap Xena di sela tangisnya. "Tapi aku tidak bisa berhenti untuk menyukai dirinya."    

  Niel menghela napas lelah. Ia tau, sekuat apapun dirinya bertahan di samping Xena, gadis itu sudah menutup rapat hatinya hanya untuk seorang Vrans Moreo Luis. Hanya? Bahkan jika dibandingkan dengan Vrans, sudah jelas dirinya benar-benar kalah telak. Ia menangkup pipi Xena, dan menatapnya dalam lalu mencium sayang puncak kepala gadis itu. Setidaknya, anggap saja ini salam perpisahan sebelum dirinya bergerak untuk membalas kasih sayang Orlin.    

  "Bersikap apa adanya, tapi kamu harus coba jangan ajak Vrans bicara atau apapun itu. Lihat, dia merasa kehilangan dirimu atau tidak. Jika tidak, lepaskan."    

  Xena menatap Niel dengan haru. Laki-laki yang sudah ia maki dihadapan Tasya dan Liam sekarang benar-benar ada untuknya saat ia sedih. Bahkan saat dirinya terjatuh karena laki-laki lain, Niel tidak memancarkan sorot terluka, justru dia membangkitkan semangat dirinya yang hampir punah untuk mendapat Vrans. Ia merasa bersalah.    

  "Terimakasih Niel, maaf untuk semua sikap kasar aku kemarin."    

  Xena mengingat nada bicaranya yang jauh dari kata sopan tempo lalu. Seharusnya ia tidak berbicara seperti itu kepada orang lain kecuali bersama Orlin dan Erica, mereka pengecualian.    

  Niel tersenyum lembut. Ia mengerti dengan sikap Xena kemarin padanya. Ego memang menguasai dirinya karena terlalu sibuk untuk memaksa apa yang tidak seharusnya bersama, contohnya dirinya dengan Xena. Seperti air dan minyak dalam wadah yang sama. Bersama, tapi tidak dapat menyatu.    

  "Jangan sedih lagi. Maaf tentang pendekatan kita, maaf juga aku egois. Mungkin aku ingin pamit hari ini, aku ingin membalas perasaan Orlin seperti katamu. Meski aku benar-benar menyayangimu, percayalah aku sakit melihatmu bersama Vrans. Maaf terlalu memaksakan aku dan kamu menjadi kita."     

  Tangis Xena pecah seketika. "Apa kamu akan menjauhiku?"    

  Niel tertawa, menurutnya ekspresi wajah Xena kali ini benar-benar lucu sekali.     

  "Jangan sedih, aku akan tetap melindungi kamu jika ada laki-laki yang berusaha nyakitin kamu."    

  Xena menghela napas lega, lalu menghapus kasar jejak air matanya. Ia tidak boleh menangis lagi, jangan cengeng!    

  Niel menggenggam tangan Xena untuk masuk bersama ke dalam mobilnya. Membawa gadis itu menjauh dari tempat kejadian terburuknya, menuju rumah megah kediaman keluarga Anderson yang memang menjadi tujuan utamanya.    

  Semua orang tahu, jika perjuanganmu tidak dihargai sama sekali, kamu tahu kapan waktunya harus pergi. Memang sakit, namun untuk apa menanti seseorang yang hatinya bukan untukmu sama sekali?    

  Membuang-buang waktu.    

  ...    

  Throwback    

  Paula Victoria Davinci.    

  Menatap makam ibunya dengan tatapan sendu. Tulisan Hellen Victoria tertulis jelas disana. Sudah dua jam sejak pemakaman selesai namun ia belum beranjak sedikitpun. Sekarang ia sendirian. Valleri sudah pergi, Leonard sudah pergi, dan sekarang Hellen? Kesialan apalagi selanjutnya?    

  Hujan perlahan turun membasahi tubuhnya yang berbalut dress bewarna hitam dan syal hitam yang menutupi bagian pundaknya yang terekspos.    

  Ia kedinginan dan mau tidak mau harus meninggalkan pemakaman untuk kembali pulang ke rumah. Bahkan rumah sudah tidak terasa lagi seperti rumah. Mobil Valleri masih menjadi satu-satunya barang yang ia sayangi. Ia memasuki pekarangan rumahnya yang sederhana dan memarkirkan nya dengan hati-hati. Dahinya berkerut kala melihat truk angkut barang dan dua mobil ikut terparkir disana.    

  "Siapa ya?" Gumamnya.    

  Ia takut terjadi sesuatu pada rumahnya, dan segera berlari ke dalam rumah. Ia terkejut melihat hampir sebagian barang dirumah ini sudah kosong sebagian. Dadanya bergemuruh menatap tajam orang-orang yang sedang mengangkut sofa miliknya.     

  "KALIAN SIAPA? DAN MAU APA DENGAN RUMAHKU? KELUAR!"    

  Salah satu laki-laki yang berpakaian rapih memakai tuxedo hitam dan di tangannya menggenggam tablet, berjalan menghampiri dirinya. "Maaf nona, rumah ini kami sita karena Nyonya Hellen telah berhutang pada kami dengan jumlah yang tidak sedikit."    

  Kaki Paula lemas. Matanya memanas. Ia tidak tahu harus melakukan apa.     

  "Hutang untuk apa? Selama ini keluarga kami berkecukupan walaupun hanya mampu dengan hal sederhana."    

  "Kami tidak diperbolehkan untuk memberitahukan hal ini kepada kamu. Dan aku hanya memperbolehkan kamu membawa koper yang berisi perlengkapan kamu, tumpukan paper bag ini dan beberapa bingkai foto keluarga, silahkan."    

  Paula menatap puluhan paper bag milik Valleri yang selama ini tersimpan baik di dalam lemari kamarnya, paper bag yang berisikan baju-baju baru yang diberikan oleh para kekasih kakaknya. Ia juga mengambil foto keluarga yang sudah di kemas rapih di dalam kardus cokelat polos.    

  Ia berusaha tegar dan tersenyum. "Terimakasih, permisi."    

  Paula memasukkan semua barang ke mobilnya dan menghubungi grandpa William untuk memberitahukan hal ini.    

  Throwback off    

  Paula termenung di balkon kamar Vrans. Ia memikirkan betapa mirisnya kehidupannya. Ia tidak punya lagi keluarga yang harmonis. Bahkan ia tidak bisa menggenggam erat tangan Vrans yang selama ini memandangnya sayang sebagai sahabat. Tidak ada hubungan lebih dari sahabat, setidaknya itu yang ia tangkap dari sorot mata Vrans setiap ia menatap laki-laki itu dengan mata berbinar.    

  "Jangan dipikirkan."    

  Paula menoleh dan mendapati Vrans yang menghampiri dirinya dengan senyuman. "Minum dulu." Ucapnya sambil menyodorkan segelas coklat panas.    

  "Kenapa tidak menghubungiku, atau Klarisa dan Damian? Kami bisa membantu." Ucap Vrans sambil duduk di hadapan Paula. Melihat gadis itu hanya menggeleng, membuat dirinya menghela napas. Ia tahu pasti Paula kesepian disana dan memilih tinggal bersama William di New York.    

  "Aku... Apa aku boleh bekerja di Luis Company? Aku berjanji tidak akan merepotkan mu terus menerus."    

  Vrans mengangguk dan tersenyum hangat. "Tentu." Ucapnya sambil memeriksa ponsel di genggaman tangan nya. Sepi. Biasanya gadis pluto itu sering kali mengirimi dirinya pesan dan sangat berisik. Membuat dirinya risih dan senang di saat yang bersamaan. Namun kali ini, satu pesan saja tidak ia terima sama sekali.    

  Vrans    

  Maaf aku meninggalkan kamu    

  Send    

  Lebih baik seperti ini, mengesampingkan rasa egonya untuk perasaan yang entah apa ini.    

  Paula menatap Vrans dengan penasaran. Laki-laki itu kini terlihat sedang berpikir terlihat dari alisnya yang hampir menyatu. Ia juga melihat sorot khawatir dari kedua manik laki-laki itu. Seperti cemas dan takut, tercetak jelas di wajah Vrans.     

  Ia tidak tau, tapi firasatnya, ia akan kalah untuk yang ke dua kalinya.    

  Dan yang lakukan saat ini adalah, menyerah bukanlah jalan yang akan dirinya ambil untuk kedua kalinya.    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:    

  Meeting you was fate, becoming your friend was choice, but falling in love with you was completely out of my control.    

  - Vrans Moreo Luis


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.