My Coldest CEO

Dua puluh tujuh



Dua puluh tujuh

0  Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Sudah dua jam ia menunggu kepulangan Vrans, tapi nihil, laki-laki itu tidak datang. Ia bahkan belum menyentuh sedikit pun makanan yang di masak Chef Dion untuknya dan laki-laki itu. Ia tidak ingin makan tanpa Vrans! Biar saja dirinya kekanak-kanakan, daripada harus bertingkah sopan dan apik tapi bukan ciri khasnya.    
0

  Chef Dion yang memang sedari tadi duduk dihadapan Xena --karena gadis itu yang menyuruh untuk tetap menemaninya-- menatap dirinya dengan raut wajah yang kasihan. Ia tau jika kekasih tuan mudanya ini pasti sangat kelaparan, dan dia menunggu kepulangan Vrans dengan raut wajah yang kebingungan.    

  "Makan saja, Nona."    

  Xena menggeleng lemah. "Vrans kemana ya, Dion? Kenapa dia tidak pulang? Makanannya jadi dingin deh." Ucapnya dengan lesu.    

  Chef Dion tersenyum. Ia melihat Xena yang sangat menyayangi Vrans. Sorot mata gadis itu benar-benar tidak pernah membohongi siapapun. Bahkan terkesan terlalu blak-blakan untuk ukuran seorang gadis yang menyukai lawan jenisnya. Xena berbeda, dan ia sangat yakin gadis ini adalah pilihan yang sangat tepat untuk Vrans.    

  "Tapi bukankah nona lapar? Lebih baik makan dulu saja, nanti Tuan muda menyusul."    

  Sekali lagi Xena hanya mengangguk tanpa berniat untuk menyentuh makanannya. Ia sudah menganggap Chef Dion sebagai pamannya sendiri. Bahkan sejak Vrans mulai merawat dirinya dan melimpahkan kasih sayang untuknya, laki-laki ini dengan senang hati mengajaknya berbicara. Huft, ia kesal sekali dengan pelayan dirumah ini. Terlalu datar dan terlalu menomor satukan etika, mereka bahkan hanya menyapa dirinya dengan bahasa formal. Menyebalkan.    

  "Yasudah deh, mari makan bersama ku, Dion." Ucap Xena pasrah, ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Tidak biasanya Vrans membiarkan dirinya menunggu selama ini. Kalau Vrans yang dulu mungkin saja, tapi apa laki-laki itu sudah berubah kembali?    

  Tidak perlu dipikirkan, Xena.    

  Chef Dion berdehem ragu, pasalnya ia memakan masakan untuk tuannya. Sangat tidak di perbolehkan seorang pelayan melakukan hal itu. "Tidak nona, saya hanya pelayanan. Tidak perlu, nona makan saja." Ucapnya dengan sopan.    

  "Eh? Siapa yang bilang kamu pelayan? CHEF DION ITU ADALAH TEMAN XENA DI RUMAH INI, YANG PALING TERBAIK!"    

  Chef Dion terkekeh. Ini yang ia suka dari Xena, sangat ceria dan mudah diajak bicara. Tidak, dirinya tidak menyukai gadis ini. Umurnya saja sudah berkepala tiga, belum lagi mengingat dirinya mempunyai seorang istri dan dua putri kecilnya. Tidak mungkin ia menyukai kekasih tuan mudanya.     

  "Kenapa diam? Ayuk makan."    

  Chef Dion mengangguk, jika sudah seperti ini, Xena sangat sulit untuk di bantah. Dengan perasaan yang masih ragu, ia mulai memakannya. Rasanya aneh saat memakan masakan sendiri yang telah dibuat untuk orang lain, ia terbiasa masak untuk orang lain dan jika di rumah ia sudah di suguhkan oleh masakan istrinya.    

  Prang!    

  Xena terlonjak kaget, begitu juga dengan Chef Dion. Mereka saling menatap satu sama lain.    

  "Apa itu?" Gumam Xena.    

  Chef Dion hendak berdiri, namun lagi-lagi Xena menyuruh dirinya supaya diam saja di tempat dan melanjutkan makannya. Mau tidak mau, ia menurut.     

  Xena beranjak dari duduknya dan berjalan secara perlahan, dengan was-was melihat ke arah ruang tamu. Ia begitu terkejut ketika para pelayan di rumah ini sudah tergeletak tak berdaya. Salah satu kaca di rumah besar Vrans sudah hancur berkeping-keping. Dengan perasaan yang cemas, dia menyusuri pemandangan dengan sedikit takut. Astaga kemana perginya para bodyguard di rumah ini?!    

  Ia segera berlari ketika melihat bayangan laki-laki yang hendak masuk ke dalam rumahnya. Ia bergerak menuju kitchen untuk mengajak Chef Dion supaya segera pergi dari rumah ini. Namun matanya membelalak melihat Chef Dion yang sudah di todongkan pistol ke arah kepalanya oleh seorang gadis dengan topeng kucing hitam dengan gaya yang sangat menyeramkan.    

  "Siapa kamu? Tolong lepaskan Chef Dion!"    

  Terlihat gadis bertopeng itu menoleh sekilas ke arahnya.    

  DOR    

  "DION!"     

  Air mata Xena jatuh begitu saja. Ia melihat kepala Chef Dion yang sudah di penuhi darah. Ubin putih pun sudah terkotori dengan noda merah itu. Ia menjerit histeris dengan nada yang tercekat. Jangan Chef Dion yang menjadi korban.    

  "Siapa kamu?" Tanya Xena yang sudah melemas.     

  Terdengar gadis itu tertawa senang. "Kamu adalah pasien ku. Selamat memasuki zona merah. Kematian ada di depanmu."    

  ...    

  Dengan perasaan cemas yang menghantui rongga dadanya, Vrans mengemudikan mobilnya seperti orang kesetanan. Di dalamnya ada Orlin, Erica, dan juga Paula. Mereka sangat terkejut mendengar pesan suara dari Sean yang ditunjukkan kepada Paula yang memang sengaja membesarkan volumenya.    

  Orlin mencengkeram bahu Erica dengan kuat. Gadis itu merasakan takut yang luar biasa dengan pikiran yang sudah kemana-mana. Ia takut kejadian beberapa minggu yang lalu menimpa Xena kembali. Dan ia akan sangat mengutuk dirinya sendiri karena untuk kedua kalinya gagal menjadi seorang sahabat, ia merasa tidak berguna. Sedangkan Erica dengan posisi tenangnya berusaha meredam kecemasan Orlin dengan mengusap pundak sahabatnya dengan perlahan. Berhasil atau tidak, Orlin masih tetap bersikap sangat panik. Terbukti dari pelipisnya yang mengeluarkan banyak bulir keringat.    

  Ia cemas, sama seperti Orlin. Namun ia masih bisa mengontrol emosinya dengan setenang mungkin.    

  Sedangkan Paula yang merasa sangat awkward berada di samping Vrans, tidak berani mengeluarkan kata sedikit pun.    

  "Sebenarnya apa motif mereka?" Tanya Vrans saat lampu jalan berubah menjadi warna merah.    

  Paula terkejut dengan Vrans yang mengajaknya bicara, lalu menghembuskan napasnya. "Aku tidak tahu."    

  "Kenapa? Kamu yang membayar dan menyuruh mereka melakukan ini, kan?!"    

  "Aku hanya menyuruh mereka untuk bekerja bersih, bukan dengan cara mencelakakan Xena seperti ini."    

  "Sama saja!"    

  "Mereka keluar dari perintahku, Vrans."    

  "Kamu tahu satu hal, Paula? Sikap kamu tidak jauh berbeda dengan Valleri terhadap Klarisa-ku."    

  Paula merasakan sesak yang luar biasa. Tidak, dirinya dan Valleri jelas berbeda. Valleri hanya gadis yang mendekati para laki-laki kaya raya. Sedangkan dia? Mencintai Vrans dengan tulus.    

  //    

  Saking tulusnya bisa berbuat bodoh seperti ini. Dasar cinta, kehadiran kamu tidak salah, tapi yang salah itu kita memilih orang yang tidak tepat. Menyebabkan sakit hati yang dalam.    

  //    

  Vrans memukul kemudi mobil dengan keras melihat mobil yang berada di depannya tak kunjung melaju, padahal lampu jalan sudah berubah bewarna hijau.    

  TIN    

  TIN    

  TIN    

  Dengan kesal, ia membunyikan klakson mobilnya sambil mengumpat beberapa kata kasar yang sebelumnya tidak pernah ia keluarkan di hadapan para gadis.    

  Keluarlah sosok baru dalam tubuh Vrans. Lagi-lagi, hanya karena seorang Xena.    

  Ia segera melajukan mobilnya begitu mobil yang berada di hadapannya sudah melaju. Ia sangat marah pada Paula, bisa-bisanya gadis itu bertindak sejauh ini. Namun memang murni bukan kesalahannya.    

  Seorang pembunuh bayaran harus menyelesaikan tugasnya sampai tuntas. Itu adalah salah satu motto dari mereka.    

  Dadanya bergemuruh melihat halaman rumahnya yang sepi. Bahkan petugas keamanan, bodyguard dan tukang kebun yang ada di rumahnya sudah hilang entah kemana.    

  "Kita harus ambil strategi." Ucap Erica membuat Vrans menghentikan mobilnya.    

  "APA LAGI?!" Bentak Vrans dengan mata yang sudah memerah. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi.    

  Ia berjanji akan memasukkan pembunuh bayaran itu ke dalam penjara. Membuat mereka merasakan hukuman mati atas tindakan ini.    

  Erica yang sudah mulai tenang menatap Vrans dengan tajam. "Memangnya Tuan mau langsung kalah tanpa persiapan?"     

  Paula menundukkan kepalanya. Ia siap dengan semua konsekuensinya. "Aku akan membantu kalian." Ucapnya dengan kilatan mata yang menunjukkan jika dirinya bersungguh-sungguh.    

  Vrans berdecih. "Aku tidak perlu meminta bantuan dari seorang gadis licik seperti kamu."    

  "Sebaiknya Paula ikut membantu, kita kekurangan jumlah." Ucap Erica.    

  Vrans menghembuskan napas lelah. Lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi pihak kepolisian. Semoga belum terlambat.    

  "Semoga Xena baik-baik saja, bahkan aku belum sempat untuk melamarnya." Gumam Vrans dengan nada rendah. Ia benar-benar lemas, air mata sudah menggenang memenuhi kelopak matanya.    

  Paula yang mendengar itu langsung saja menghembuskan napas kasar. Ia benci melihat Vrans sedih, dan ia lebih benci lagi jika penyebab ini semua adalah dirinya.    

  "Aku akan menebus kesalahanku, Vrans. Semampu aku."    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.