My Coldest CEO

Tiga puluh



Tiga puluh

0  "Disana!" Seru Paula menunjuk bangunan tua yang terlihat sudah terbengkalai.     
0

  Orlin merinding kala melihat bangunan itu, ia menggenggam erat kedua tangan Erica. "Takut." Cicitnya membuat Erica tertawa. Ia tahu ini bukan situasi yang cocok untuk tertawa, tapi mendengar cicitan Orlin yang seperti anak ayam itu terdengar sangat menggelikan.     

  Mata Vrans menyipit kala melihat mobil Lamborghini yang mirip dengan punyanya -- hanya perbedaan warna saja yang berbeda -- ikut terparkir tepat di samping mobilnya. Saat itu juga ia tahu jika di dalam mobil itu ada Niel. Ia segera turun dari mobil dan mengetuk pelan kaca mobil itu.     

  "Ada Orlin?" Ucap Niel to the point. Ia meneguk salivanya dengan susah payah mengingat wajah Vrans yang sudah sangat menyeramkan seakan-akan bersiap untuk menikam siapa pun yang berani mengganggu perasaannya.    

  Vrans mengangkat sebelah alisnya. "Ada."    

  "Siapa, Vrans?" Tanya Paula yang sudah berada di samping Vrans. Tatapan memuja dirinya untuk laki-laki itu tidak pernah pudar walaupun ia sudah melakukan hal yang sangat fatal. Sebuta ini mencintai sebelah pihak, tanpa balasan sedikitpun.    

  "Kekasih Orlin."    

  Niel turun dari mobilnya, lalu bertanya ada apa dengan hari ini. Kenapa Orlin pergi dengan Vrans tanpa memberitahu dirinya, dan kenapa mereka berada di gedung tua ini. Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di dalam otaknya. Dengan malas, Vrans memanggil Orlin dan Erica untuk turun dari mobil. Lebih baik Orlin saja yang menjelaskan semuanya, ia malas jika berbicara panjang lebar pada orang lain.     

  "Niel?!" Ucap Orlin dengan sedikit terkejut. Belum sempat ia ingin memeluk tubuh kekasihnya, Vrans sudah menahan tubuhnya terlebih dahulu. Menyuruh Orlin untuk menjelaskan hal ini kepada Niel daripada sibuk untuk menyalurkan rasa rindu yang sama sekali tidak tepat ditunjukkan dalam keadaan seperti ini.    

  Vrans menghela napasnya, ia tidak boleh berlama-lama di luar sini. Ia tidak tahu di dalam sana Xena sedang apa. Atau mungkin sudah tewas? Oh tidak!    

  "Kita harus bergerak cepat!" Seru Vrans dengan tatapan yang kembali menajam, ia bahkan tidak segan-segan membunuh nyali Paula dengan tatapan matanya. Ia benci dengan gadis yang sok polos itu, ia benci mengetahui gadis yang ia sayangi terluka akibat Paula.     

  Hatinya lebih sakit mengetahui Paula yang bersikap sangat menyakiti dirinya dibandingkan dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan pada Klarisa.    

  Belum sempat Niel ingin membantah, mobil polisi sebanyak tiga buah sudah datang ke lokasi yang dirinya arahkan. Ia sengaja menyuruh mereka untuk mematikan sirine mobil supaya tidak ada gerakan mendadak dari dalam sana. Mereka juga memarkirkan mobil di tembok besar, menghalangi penglihatan Sean yang bertugas untuk berjaga bagian rumah. Sepertinya pembunuh bayaran itu hanya bekerja dua orang saja, terbukti dari tidak adanya penjaga lain di luar gedung tua ini.     

  Orlin menatap beberapa anggota polisi dengan penasaran. "Ada apa, sir?" Tanyanya dengan sangat sopan.    

  "Saya mendapat laporan dari Tuan Nathaniel mengenai kasus pembunuhan." Ucap salah satu seorang polisi dengan bintang emas yang terpasang jelas di bagian kanan rompi kepolisiannya.    

  Belum sempat mereka bertanya lebih mengenai hal ini ke Niel, Vrans sudah mengambil alih suasana. "Langsung saja, tidak perlu membuang waktu. Kalian para gadis, tetaplah di dalam mobil. Tidak menerima bantahan apapun."    

  Paula segera masuk ke dalam mobil, sudah cukup ia mengacaukan semuanya. Kemarin dirinya sangat jahat, namun sekarang nyalinya sudah seciut ini mendengar kemarahan Vrans. Sedangkan Erica, ia memilih untuk menjauh dari kerumunan dan lebih baik duduk di bawah pohon rindang yang menyejukkan. Erica adalah sosok yang sulit di mengerti dengan sejuta sifatnya yang sangat dingin.    

  "Niel?"     

  Niel menatap dalam sorot mata Orlin, lalu dengan segera ia memeluk tubuh gadis itu dengan singkat. Menyalurkan rasa rindu yang luar biasa besarnya. Sudah lama ia tidak memeluk gadis ini. "Aku akan segera kembali, masuklah ke dalam mobil bersama Paula, atau tetaplah bersama Erica."    

  Air mata Orlin lolos begitu saja, ia mengangguk lalu mengecup singkat bibir Niel. Lalu tanpa perkataan apapun lagi, ia berlari menghampiri Erica yang sudah larut membaca dokumen perusahaan. Ah, sepertinya dia gadis yang gila kerja!    

  "Ayo lakukan." Ucap Vrans dengan nada dingin, di angguki kompak oleh beberapa orang polisi dan Niel.    

  Tunggu aku, sayang.    

  ...    

  DOR!    

  Xena membelalakkan matanya dan menutup mulutnya dengan terkejut. Tubuh Hana sudah terkulai lemas tidak berdaya, darah sudah mengalir membanjiri lantai kayu yang berdebu.     

  "Jangan banyak bicara, atau aku akan membunuhmu, sayang."    

  Sean. Laki-laki itu berdiri tegak di depan tubuh Hana. Ia menatap sinis tubuh Hana, lalu meludahinya. "Enyahlah, iblis." Ia segera menutup mulut Xena dengan kain supaya tidak bisa berteriak, tangan gadis itu sudah ia ganti dengan borgol.     

  "Diam atau aku akan menghabisi kamu seperti aku menghabisi Hana, kakak ku." Ancam Sean kepadanya membuat Xena bungkam.    

  Apa orang-orang tidak mengerti kalau aku itu belum di lamar oleh Vrans? Nanti kalau aku meninggal duluan, Vrans menikah dengan siapa? Batin Xena dengan cemas.    

  Dengan terpaksa Xena diam tidak berontak, oh ayolah dia belum ingin tewas dengan cara yang tidak menyenangkan seperti ini.     

  Sean menggendong Xena ala bridal style. Ia mengumpat kasar untuk Hana yang selalu mengaku sebagai pembunuh bayaran paling handal di depan banyak orang. Cih, mengurus satu gadis seperti Xena saja tidak bisa, tapi dirinya di beri julukan 'assassin terhandal' segera berlari membawa tubuh Xena yang tidak berat sama sekali, di luar gedung ini sudah terkepung oleh beberapa orang polisi. Untung saja matanya melihat dengan teliti saat melihat pantulan cahaya dari balik tembok yang menjulang tinggi.    

  "Mau kemana kamu, Sean?"    

  Tubuh Sean menegang, tanpa perlu melihat siapa yang berbicara, ia kenal dengan suara itu. Paula Victoria Davinci.    

  Pasti Niel menugaskan gadis ini untuk memancing Sean. Karena tidak mungkin pembunuh bayaran membunuh mantan bosnya.    

  "Bergerak atau habis riwayat kamu." Sambung Paula.    

  Sean berdecih, lalu tertawa. Bahkan Paula menurutnya masih pandai melakukan drama yang mungkin bisa di acungi dua jempol. "Kita yang akan habis riwayatnya." Ucapnya sambil tersenyum miring kala melihat perubahan raut wajah Paula.    

  Xena yang tidak mengerti pembicaraan mereka hanya mendengarkan saja, ia memicingkan matanya begitu melihat wajah Paula. Dasar gadis perebut Vrans, huh!    

  "Jangan bergerak!"    

  Sean menurunkan tubuh Xena dari gendongannya, ia mengaku kalah. Lagipula bukan hal yang berat jika dirinya masuk penjara, toh hidupnya sudah lebih dari sekedar kehidupan di penjara. Mata Sean bertubrukan dengan tatapan membunuh dari Vrans.    

  "Sialan, aku akan menghabisi kamu!"    

  Vrans maju mendekati Sean lalu menghajar tepat di rahang kokoh laki-laki itu. Sean melawan, ia mungkin kalah, tapi tidak dengan harga dirinya.    

  Orlin dan Erica sibuk membuka borgol dari kedua pergelangan tangan Xena dengan kawat seperti pada film-film, dan beruntungnya hal itu berhasil.    

  "Vrans hentikan." Lirin Xena begitu melihat wajah Sean yang sudah babak belur. Ia tidak suka saat laki-laki berkelahi di hadapannya. Rasanya sangat mengerikan dan menegangkan diwaktu yang bersamaan.    

  Seakan kebahagiaannya tertarik kembali, ia segera menghempaskan tubuh Sean ke lantai dengan kasar, membiarkan laki-laki itu di tahan oleh pihak kepolisian. Ia segera berjalan cepat ke arah Xena, menatap lekat sorot mata yang menunjukkan ketakutan itu. "Aku disini." Gumamnya sambil berusaha melepaskan borgol di tangan gadisnya dengan bantuan salah satu seorang polisi.    

  Berhasil, ia segera memeluk tubuh Xena dengan erat.    

  Xena langsung menangis. Kejadian ini terjadi sangat cepat dan tanpa adanya aba-aba sedikitpun. Chef Dion yang tertembak, dirinya yang tiba-tiba berada di gedung tua berdebu ini dengan keadaan sudah terikat, menatap langsung kedua assassin yang haus akan kematian korbannya, Hana yang tertembak oleh Sean, dan belum lagi aksi penyelamatan ini. Ia lemas, tubuhnya seperti masih belum bisa menerima hal ini. "Vrans, aku takut tidak bisa menjadi istrimu jika aku tewas."    

  Vrans dengan cepat menjitak kepala gadis yang berada di pelukannya ini. Bukannya takut terbunuh dan meninggalkan dunia, gadis itu malah memikirkan dirinya. Gadis pluto yang aneh. Apa ia harus menyesal untuk menyelamatkannya?    

  "Dasar gadis pluto aneh."    

  Xena menekuk senyumnya, lalu kembali mengeratkan pelukannya pada tubuh atletis Vrans. Asik dirinya sehabis di culik bisa di peluk sama Vrans! Sering-sering culik Xena ya! Pikir gadis itu yang memang terdengar sangat konyol.    

  "Dasar bosayang yang paling menggemaskan. Cepat-cepat lamar Xena ya, kesayangan aku."    

  "Tidak mau, aku tidak menikahi gadis pluto seperti kamu."    

  "EKHEM, ADA ORANG DISINI!"    

  Xena hanya menjulurkan lidahnya melihat Orlin dengan gaya pura-pura kesalnya. "Apa kamu?!"    

  "Wah nyesel kayaknya kita selamatin kamu, Na. Lebih baik sana lo dibawa sama om Sean."    

  "Diam atau saya pecat." Ucap Vrans dengan nada dingin. Apa-apaan ucapan Orlin barusan? Lebih baik bersama Sean? Ah, memancing emosinya saja.    

  ...    

  Next chapter...    

  :red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.