Gentar Almaliki

Pertemuan Gentar dengan Arya Jamena



Pertemuan Gentar dengan Arya Jamena

0Gentar tidak peduli dengan perseteruan para pendekar itu. Karena dirinya beranggapan semua pendekar yang ada di bukit itu memiliki tujuan yang sama, hendak memusuhi dirinya, dan bahkan hendak mencelaki dirinya. Sehingga, Gentar pun bersikap dingin, seakan-akan persoalan itu tidak ada kaitan dengan dirinya.     
0

"Mereka adalah orang-orang jahat yang akan mencelakai aku. Sebaiknya, aku diam saja tidak usah turut campur persoalan mereka," kata Gentar dalam hati.     

Semua pendekar yang ada di tempat itu, sudah berhasil dibuat jera nyalinya oleh Gentar. Terlebih lagi ia sudah membinasakan beberapa pendekar yang berusaha mencelakainya. Mereka tewas di tangan Gentar dengan sangat mudahnya, tentu hal tersebut membuat takut para pendekar itu terhadap Gentar.     

"Biarkan saja mereka berseteru, aku tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan di bukit ini," desis Gentar sambil menyaksikan para pendekar tersebut yang hendak melakukan pertarungan.     

Beberapa saat kemudian, para pendekar itu mundur beberapa tombak ke belakang. Ketika mereka diperdengarkan oleh suara gemuruh yang sangat gaduh.     

Saat itu, Martaka sudah bersiap hendak melibatkan diri dalam pertarungan tersebut. Dengan jurus andalannya, pendekar itu sudah melakukan serangkaian serangan terhadap lawan-lawannya.     

Serangan Martaka tidak main-main, jurus yang ia kerahkan memiliki tenaga dalam yang sangat dahsyat. Sehingga dapat mengeluarkan hawa panas yang menderu-deru.     

Rumba dan Rimba adalah seorang pendekar yang paling kuat dari golongan para pendekar yang berasal dari desa Marga barat. Mereka berdua berlaku jumawa dan sangat angkuh ketika berhadapan dengan pendekar yang tidak mereka sukai.     

Akan tetapi, kekuatan yang mereka miliki ternyata dapat dikalahkan dengan mudah oleh Martaka. Sehingga dalam tempo singkat dapat membungkam kesombongan dua pendekar berwajah rusak itu.     

Akan tetapi, Rumba dan Rimba tidak menyerah begitu saja. Mereka kembali bangkit dan langsung bersiap untuk melakukan serangan balasan terhadap dua pendekar senior dari Padepokan Iblis Merah itu.     

Tangan mereka yang kekar dengan jari-jari yang kuat langsung menerjang bagaikan sebuah badai. Serangan tersebut hendak menyasar ke tubuh Martaka dan Soma Dirga.     

Dengan sangat cepat, Martaka kembali menarik pengaruh dari kekuatan jurus tenaga dalamnya. Lalu, ia memutar tubuh bagaikan sebuah gangsing yang memutar dengan sangat deras.     

Dalam waktu singkat, serangan berbahaya meluncur deras ke arah Rimba dan Rumba yang sudah melakukan serangan dengan mengunakan jurus tenaga dalamnya. Sehingga, kedua jurus tersebut berbenturan di tengah udara dan menghasilkan suara dentuman yang teramat keras menggetarkan bukit tersebut.     

Setelah Martaka mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, pihaknya Rumba dan Rimba pun lantas bersiap lagi hendak melakukan serangan terhadap Martaka dan Soma Dirga.     

"Ilmu kalian belum sempurna di mata kami. Jadi, kalian jangan jumawa dulu! Jika mampu melangkahi mayat kami, maka kalian berdua dan juga anak buah kalian, boleh undur tanpa syarat dari tempat ini!" bentak Rumba dengan sorot matanya yang tajam menatap wajah Soma Dirga dan Martaka.     

Setelah itu, Martaka langsung mengerahkan satu serangan yang tidak kelihatan dan tidak bersuara, serangan senyap melesat kencang hendak menghajar tubuh Rumba yang bersikap jumawa di hadapannya.     

Meskipun demikian, pendekar itu tampak sigap dalam menghadapi serangan dadakan itu. Ia bergerak lebih cepat dalam menghindari alur serangan yang di arahkan oleh Martaka terhadapnya. Kedua tangannya berputar, seiring demikian terdengar pula suara angin kencang berhembus dengan mengeluarkan hawa yang sangat panas berbenturan dengan jurus yang secara bersamaan dikeluarkan oleh Rumba dan Rimba.     

Rimba kemudian menyeru kepada Rumba, "Jangan biarkan mereka bernapas lega! Serang terus!" teriak Rimba tampak lebih bersemangat lagi dalam melakukan pergerakan menyerang kedua lawannya yang tangguh itu.     

Tubuhnya yang kekar tampak meliuk-liuk seperti tengah melakukan sebuah gerakan tarian. Sudah barang tentu membuat musuhnya bingung dan terpengaruh oleh gerakan tubuhnya tersebut.     

"Menyingkirlah kalian!" teriak Rimba kepada para pendekar yang berada di dekat arena pertempuran itu. Ia khawatir serangan jurusnya menerjang kawannya sendiri.     

Demikianlah, serangan berikutnya dari Rumba dan Rimba sudah meluncur deras bagaikan kilat. Namun, bukan perkara mudah bagi kedua pendekar berwajah rusak itu untuk dapat mengalahkan dua pendekar senior dari Padepokan Iblis Merah yang sangat disegani di dunia persilatan, terutama di sekitar kota Ponti.     

Dengan sangat cepat, Martaka mengangkat kedua tangannya yang mengepal kuat. Sebuah kekuatan maha dahsyat kembali menyambut serangan jurus tenaga dalam dari kedua lawannya itu.     

"Jurus Tapak Malaikat ternyata sungguh luar biasa!" desis Rumba sambil berpaling ke arah Rimba yang sudah tampak lelah. Dari mulutnya pun sudah mengalir darah segar, akibat benturan keras dari jurus Tapak Malaikat yang secara dahsyat mematahkan jurus yang ia keluarkan.     

Seketika itu, semua pendekar yang ada di bukit tersebut, tampak tercengang ketika melihat alur serangan yang dilancarkan oleh Martaka dan Soma Dirga, Jurus Tapak Malaikat ternyata mampu mengguncang tubuh kedua lawannya yang tangguh itu.     

"Tidak ada ampun lagi bagi kalian, semoga Dewa memaafkan aku!" Martaka bersuara keras sambil terus-menerus menggempur pertahanan lawannya.     

Hanya dalam waktu singkat, Rumba dan Rimba sudah digulung oleh dua kekuatan besar yang berasal dari tenaga dalam yang dikerahkan oleh Martaka dan Soma Dirga.     

"Mereka memang para pendekar hebat, sulit bagi kita untuk mengimbangi kemampuan mereka," kata Rimba berpaling ke arah Rumba.     

"Kita lawan saja mereka! Jangan banyak bicara!" seru Rumba kembali maju beberapa langkah dan bersiap hendak melakukan serangan lagi terhadap dua pendekar dari Padepokan Iblis Merah yang tampak semakin tangguh.     

Di saat pertarungan itu masih berjalan dengan sangat sengit, dan belum ketahuan siapa pemenangnya. Dari kejauhan tiba-tiba ada bayangan manusia meluncur dengan kecepatan bagaikan kilat melayang masuk ke dalam arena pertarungan tersebut.     

Seorang pria bertubuh kurus dan memiliki mata yang sangat tajam. Ia adalah Martapura seorang pendekar dari Padepokan Iblis Merah.     

Lantas, Martapura berseru, "Sesuai perintah Nyai Sri Wulandari, bahwa seluruh pendekar dari Padepokan Iblis Merah harus segera berkumpul sekarang, dan tidak boleh ada yang ketinggalan!"     

Setelah berkata demikian, orang tersebut kembali melesat cepat dan berlalu dari bukit itu. Apa yang dikatakan oleh Martapura yang merupakan utusan Sri Wulandari itu, yang tiba-tiba datang merubah segala keputusan secara mendadak, membuat Martaka dan Soma Dirga kaget dan tercengang.     

Dengan demikian, mereka pun segera menghentikan pertarungan tersebut. Karena apa yang diperintahkan oleh Sri Wulandari sama artinya dengan perintah raja yang tidak boleh dilanggar.     

Tanpa mereka sadari, kitab kuno yang tadi sudah dimasukkan ke dalam saku Martaka tiba-tiba sudah kembali berada di tangan Gentar. Kemudian, Martaka berkata, "Kami akan kembali lagi nanti!" Lantas, keduanya pun langsung terbang meninggalkan bukit tersebut.     

Gentar tampak bingung dan merasa terheran-heran. Kenapa para pendekar itu tidak peduli lagi dengan kitab kuno yang sudah mereka perjuangkan sejak awal?     

Seiring dengan demikian, maka seluruh para pendekar dari Padepokan Iblis Merah secara serentak meninggalkan tempat tersebut, dan tidak mempedulikan lagi kitab kuno yang mereka agungkan itu.     

Hanya Rimba dan Rumba, dua pendekar dari desa Marga barat yang masih bertahan di bukit itu. Mereka berdua tidak merasa kaget atau heran melihat lawannya pergi begitu saja dari hadapannya.     

Justru, mereka malah tertawa lepas. Sambil berpaling ke arah Gentar, lantas menghilang dari pandangan Gentar yang berdiri tertegun melihat pemandangan seperti itu.     

Tiba-tiba saja, Gentar mendengar bisikkan halus ke telinganya, "Kau sudah tertipu, kitab kuno itu bukan kitab kuno yang asli!" Kemudian, tidak ada suara lagi setelah itu.     

Sepertinya Gentar sangat paham dengan suara tersebut, karena suara itu tidak asing lagi baginya. Gentar paham bahwa suara tersebut adalah suara Abu Bakar–pendekar dari Arban.     

Dulu Abu Bakar pernah menolong dirinya, orang tua itu bersikap baik terhadap Gentar. Jadi tidak mungkin apa yang ia katakan itu bohong.     

Dalam keadaan tengah kebingungan, Gentar lantas melemparkan kitab kuno tersebut ke bawah bukit itu. Kemudian langsung menghentakkan kakinya, ia terbang melesat ke arah timur mengikuti jejak para pendekar Padepokan Iblis Merah.     

"Gentar! Kau hendak ke mana?" teriak pendekar wanita yang sedari tadi berdiri di dekat Gentar.     

Namun, Gentar terus terbang dan tidak menghiraukan teriakan pendekar wanita itu.     

"Bedebah, kau Gentar. Tunggu aku!" Pendekar wanita tersebut langsung meluncur deras mengejar Gentar menuju ke arah timur.     

Ketika dirinya tiba di tengah hutan belantara yang berada di pesisir laut timur pulau Kaliwana. Mendadak muncul seorang pria senja mengenakan jubah putih dan memegang tingkat kayu, usianya diperkirakan sekitar 70 tahun.     

Kemudian, orang tua tersebut bertanya kepada Gentar sambil tersenyum-senyum, "Apakah kau ini seorang pendekar yang tengah diburu oleh para pendekar dari seluruh wilayah pulau Kaliwana? Dan kau adalah murid Ki Ageng Raksanagara, bukankah seperti itu?"     

"Ya, aku ini memang tengah menjadi buruan para pendekar yang tidak tahu pengetahuan itu. Aku tidak ada kepentingan untuk menjawab, bahwa aku ini murid Ki Ageng Raksanagara atau bukan. Karena itu bukan urusanmu!" jawab Gentar tegas. Ia tidak mau menjawab pertanyaan yang kedua dari orang tua tersebut.     

Karena menurutnya itu bukanlah hal yang penting, ia dan orang tua itu baru bertemu dan tidak memiliki kepentingan yang istimewa. Sehingga Gentar memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut.     

"Meskipun kau tidak mau menjawabnya, aku ini sudah mengetahui hal itu. Sejatinya, kau memang murid Ki Ageng Raksanagara!" tandas orang tua itu sambil tertawa dingin.     

"Terserah kau saja, Orang tua. Aku tidak enak peduli!" Gentar menyahut di antara kegusarannya.     

Dengan sikap tenang dan tidak menampakkan amarah dalam dirinya, pria senja itu lantas menjawab perkataan Gentar, "Aku adalah Arya Jamena, aku sengaja menghadangmu di hutan ini, karena punya urusan dengan gurumu yang bernama Ki Ageng Raksanagara di masa lalu."     

Mendengar pengakuan orang tua tersebut, terlintas kembali dalam benak Gentar tentang peristiwa kematian Kyai Jalaluddin. Gentar mengerutkan kening, lantas berkata lagi, "Kau adalah para pendekar dari aliran sesat yang telah membinasakan Kyai Jalaluddin. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan menuntut balas kematiannya!" Gentar membentak keras sambil mengepalkan kedua telapak tangannya penuh amarah.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.