Gentar Almaliki

Bukit Berdarah



Bukit Berdarah

0Sehingga pertarungan tersebut tak dapat terelakkan lagi. Ragasatya dan Prabukala serta anak buahnya, hanya berdiri menyaksikan pertarungan antara Gurawa sang Pendekar Harimau Ponti melawan Gentar Almaliki.     
0

Pertarungan tersebut memang sangat cepat, mereka berusaha secepat mungkin menyelesaikan pertarungan itu. Hingga pada akhirnya tercipta seorang pemenang dari kemelut tersebut.     

Gurawa tubuhnya terpental dan membentur batu padas yang ada di sekitar perbukitan itu. Dengan demikian, nyawanya pun langsung melayang seketika.     

Ragasatya dan Prabukala tampak terkesima dan merasa kaget dengan pemandangan yang ia lihat saat itu, sukar untuk dipercaya. Gentar yang merupakan pendekar baru di dunia persilatan bisa mengalahkan dua Pendekar Harimau Ponti. Bahkan, membunuhnya dalam waktu singkat.     

Beberapa saat kemudian, datang lagi seorang pendekar wanita. Ia datang dan hanya berdiri saja tanpa ikut andil dalam persoalan tersebut. Kedatangannya itu seakan-akan hanya ingin menyaksikan pertempuran itu saja.     

Ragasatya dan Prabukala saling berpandangan. Mereka tampak seperti hendak melakukan penyerangan lagi terhadap Gentar.     

"Pertarungan ini akan semakin seru, aku harus terus menyaksikan sampai usai," desis pendekar wanita tersebut, tersenyum-senyum mengamati satu-persatu orang-orang yang ada di bukit itu.     

Tiba-tiba saja, dari bawah bukit tampak berkelebat beberapa bayangan. Kemudian terdengar suara orang merapatkan mantra, entah mantra apakah yang sedang mereka baca itu?     

"Kalian memang manusia rakus dan kejam!" bentak salah seorang pendekar yang baru tiba itu.     

Mereka adalah kelompok pendekar dari Padepokan Iblis Merah, merasa kesal ketika melihat kawan-kawan mereka sudah berguguran dan mayat-mayatnya pun dalam kondisi mengenaskan.     

Beberapa pendekar dari Padepokan Iblis Merah melayang terbang, dan hinggap di atas bukit tersebut. Mereka hanya be diri tanpa membuka mulut mereka, seakan-akan hendak menyaksikan perseteruan tersebut sebelum mereka bertindak.     

Ragasatya tahu benar bahwa kesempatan baik segera akan hilang jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Kemudian, ia pun berteriak keras, "Serang pendekar itu!" Ragasatya bersama Prabukala dan beberapa orang anak buahnya langsung turun tangan menyerang Gentar.     

Gentar tetap bersikap tenang dalam menghadapi keagresifan para pendekar tersebut. Ia tidak mengeluarkan kata-kata kasar atau mengancam mereka. Gentar pun kemudian membentangkan kedua tangannya lebar.     

Dari kedua telapak tangannya keluar sebuah kekuatan tenaga dalam yang sangat dahsyat. Dengan demikian, Gentar pun langsung menghadang serangan musuh-musuhnya dengan sebuah serangan jurus tenaga dalam andalannya, untuk melindungi dirinya sekaligus melakukan serangan mendadak terhadap para pendekar itu.     

Dengan kekuatan jurus yang dikeluarkan oleh Gentar. Maka, para pendekar yang berusaha menyerangnya, tiba-tiba saja terpental jauh. Bukan hanya itu saja, mereka pun jatuh dengan bermuntahkan darah segar yang keluar dari mulut dan hidung.     

Di antara para pendekar yang hadir di bukit tersebut, ternyata bukan keseluruhan dari mereka berniat untuk mengambil kitab kuno saja. Akan tetapi, ada pendekar yang datang hanya ingin mengacaukan suasana dan menginginkan perpecahan di antara para pendekar yang ada di pulau tersebut.     

Seorang pendekar wanita, tiba-tiba saja maju dan menyerang para pendekar yang sudah melakukan serangan terhadap Gentar. Seiring dengan demikian, datang pula dua pendekar tidak dikenal yang memiliki wajah yang sangat menyeramkan.     

Mereka turut membantu pendekar wanita itu melawan Ragasatya dan Prabukala serta beberapa pendekar lainnya.     

"Kalian bertarung hanya mengandalkan keberanian saja. Tidak mengukur diri dan kemampuan yang kalian miliki!" bentak salah seorang dari dua pendekar yang baru datang itu.     

Dengan demikian, maka pihak Ragasatya dan Prabukala sudah mulai surut karena terdesak oleh serangan tiga pendekar yang tiba-tiba muncul itu.     

Setelah berhasil membuat lawan-lawannya mundur, pendekar wanita berparas cantik itu lantas menghampiri Gentar.     

"Ada orang yang bilang kau ini pendekar dari pulau Juku, dan ada juga yang bilang bahwa kau ini keturunan bangsawan kerajaan Wana Buana. Sebenarnya kau ini siapa?" tanya pendekar wanita itu penuh selidik. Sorot matanya tajam menatap wajah Gentar.     

"Semua itu tidak benar, aku adalah murid Ki Ageng Raksanagara. Guruku memang berasal dari pulau Juku, tapi aku asli orang Ponti," jawab Gentar lirih.     

Raut wajah pendekar cantik itu mendadak berubah seketika, ketika ia mendengar jawaban dari Gentar.     

"Aku akan membantumu mengusir para penjahat itu. Tapi, setelah itu kau dan aku bisa saling mengukur kekuatan!" tandas pendekar cantik itu tersenyum lebar ke arah Gentar.     

Gentar pun menyahut perkataan wanita tersebut, "Maaf, aku tidak perlu bantuan darimu. Terima kasih sebelumnya, kau telah bersedia membantuku. Aku paham akan kedatanganku, kita bisa bicarakan nanti!"     

"Suka atau tidak, aku akan tetap membantumu. Karena aku tidak mau kau terluka oleh para pendekar jahat itu!" tegas pendekar berparas cantik itu, tetap memaksakan diri untuk membantu Gentar.     

Pendekar wanita itu mempunyai maksud bukan karena perhatian terhadap Gentar. Namun, ia tidak mau melihat Gentar terluka oleh pendekar lain, karena ia menginginkan bahwa dirinya yang akan melukai Gentar atas pembalasan dendam terhadap Ki Ageng Raksanagara, karena di masa lalu pernah melukai kawannya.     

Namun, ketika ia berkata seperti itu. Dirinya merasa bahwa perkataannya tersebut kurang tepat, dan bukan pada tempatnya, sehingga ia pun tidak melanjutkan perkataannya.     

"Aku sudah salah berkata," kata pendekar cantik itu dalam hati.     

Tiba-tiba saja, beberapa pendekar dari Padepokan Iblis Merah sudah berada di hadapan Gentar.     

"Kejadian malam ini sudah menjadi bukti, bahwa kau ini adalah pelaku dari semua peristiwa berdarah yang selama ini terjadi di wilayah ini," kata salah seorang pendekar dari Padepokan Iblis Merah menatap tajam wajah Gentar.     

Gentar dengan serta-merta mengeluarkan kitab kuno dari dalam sakunya. Lantas, ia serahkan langsung kepada Martaka seraya berkata, "Kitab kuno ini aku dapatkan dari bawah pohon besar itu. Dan aku tidak tahu siapa pelaku yang membinasakan kawan kalian."     

Mendengar penjelasan dari Gentar, Soma Dirga tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan tidak percaya dengan apa yang sudah dikatakan oleh Gentar.     

"Jika bukan kau pelakunya, lantas kenapa kitab kuno ini ada di tanganmu?" tanya Soma Dirga masih tidak percaya dengan apa yang sudah dikatakan oleh Gentar. Bahkan, ia pun menuduh pelaku pembantaian itu adalah Gentar.     

"Terserah kalian mau percaya atau tidak. Kitab kuno itu tidak berarti apa-apa bagiku, aku hanya ikan kepada kitab Al-Qur'an!" tegas Gentar tidak mau peduli dengan tuduhan Soma Dirga. "Jika aku tidak memandang Damerda, kitab kuno ini tidak sudi aku serahkan kepada kalian. Kalian, tidak akan mampu menghadapi aku!" sambung Gentar membentak keras.     

"Kami tidak akan membiarkan perbuatanmu," kata Soma Dirga.     

Gentar meluruskan pandangannya ke wajah Soma Dirga, dengan dua bola matanya yang tajam, ia menatap penuh kebencian terhadap pendekar tersebut yang sudah menuduh dirinya sebagai pelaku dari peristiwa pembantaian itu.     

"Aku peringatkan kalian, bahwa aku Gentar Almaliki tidak akan memandang siapa kalian. Jika kalian ingin terus berurusan denganku, maka dengan senang hati aku akan melayani!" tegas Gentar tampak gusar dengan sikap para pendekar dari Padepokan Iblis Merah yang terus menerus menuduhnya sebagai pelaku pembantaian massal itu.     

Mendengar ancaman tersebut, Martaka tampak ketakutan. Ia bergegas meraih kitab tersebut dari tangan Gentar dan segera memasukannya ke dalam saku jubahnya. Tidak sepatah kata pun ia berbicara kepada Gentar.     

Namun, dua pendekar yang tadi membantu Gentar dalam menghadapi Ragasatya dan Prabukala. Tiba-tiba saja, membentak Martaka dan Soma Dirga.     

"Kalian tidak akan kami lepaskan begitu saja. Tidak mudah bagi kalian membawa kitab kuno ini, tanpa melangkahi mayat kami dulu!"     

Mendengar bentakkan dari pendekar itu, Martaka mengerutkan kening. Lalu menjawab, "Maaf, Ki Sanak. Kalian ini siapa? Tidak seharusnya kalian ikut campur dalam persoalan ini!"     

"Asal kau tahu, kami adalah Rimba dan Rumba dari desa Marga barat. Apa kalian hendak menjadikan nama Padepokan Iblis Merah sebagai nama besar saja? Sehingga dengan sangat mudah membawa kitab kuno itu dari tangan Gentar, pengecut kalian!" bentak Rimba melotot tajam ke arah Martaka dan Soma Dirga.     

Dengan gusar, Martaka pun menyahut perkataan dari Rimba, "Oh, jadi kalian memang mau ikut campur dalam persoalan ini?"     

Sambil mendongakkan kepala, Rimba kembali berkata dengan suara tak kalah kerasnya, "Pendekar lain boleh takut dan menghargai kalian dari golongan Padepokan Iblis Merah. Tapi, bagi kami kalian tidak ada artinya sama sekali!"     

Rimba dan Rumba memang sengaja datang untuk mengacaukan dunia persilatan, dan sengaja memancing emosi para pendekar dari Padepokan Iblis Merah itu.     

Demikianlah, Soma Dirga dan Martaka menjadi semakin gusar mendengar perkataan dari dua pendekar berwajah rusak itu. Lantas, Soma Dirga kembali berkata, "Jangan salahkan kami jika kalian kami buat menyesal seumur hidup!"     

Rumba pun kemudian angkat bicara, "Terserah apa yang kalian katakan! Kami hanya berniat ingin menjajal ilmu kanuragan kalian saja."     

Setelah berkata demikian, Rumba pun langsung memusatkan jurus andalannya. Tubuhnya pun bergerak perlahan-lahan, tampak jari-jari tangannya mengeluarkan cakar yang tiba-tiba memanjang seperti cakar harimau saja yang memiliki ketajaman tiada tara. Dua bola matanya memerah dan memancarkan sinar yang sangat menyilaukan.     

Melihat pemandangan seperti itu, Gentar hanya diam tanpa turut andil dalam persoalan para pendekar tersebut. Ia hanya duduk santai di atas bebatuan yang ada di bukit tersebut. Begitu pula dengan pendekar cantik itu, ia hanya diam menyimak perseteruan tersebut.     

Ketika tangan Rumba mulai bergerak, lantas mengeluarkan asap putih, Rumba memiliki kekuatan yang sangat kuat.     

Sementara itu, Rimba pun tidak mengeluarkan kata apa-apa, ia hanya diam menyaksikan aksi Rumba yang tengah berhadapan dengan Soma Dirga dan Martaka.     

Dengan sorot matanya yang tajam dan buas, Rumba dan Rimba terus mengawasi para pendekar Iblis Merah yang ada di hadapannya.     

Dengan demikian, Soma Dirga dan Martaka sudah mengeluarkan jurus yang hendak mereka arahkan kepada dua pendekar berwajah rusak itu. Perlahan-lahan, mereka mulai mendekati lawannya itu.     

Pertempuran sengit dari kedua kubu besar dari duni persilatan sepertinya akan segera dimulai.     

Sejatinya, Gentar pun bisa mengeluarkan benda pemberian Damerda untuk menghentikan pertarungan tersebut. Akan tetapi, ia sudah terlanjur benci terhadap sikap Soma Dirga dan Martaka yang telah menuduh dirinya sebagai pelaku dari malapetaka yang terjadi di bukit itu.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.