Gentar Almaliki

Perebutan Kitab Kuno



Perebutan Kitab Kuno

0Dalam renungannya tersebut, Gentar pun mulai teringat akan Dewi Rara Sati–Pendekar Pedang Kematian yang sudah menganggap dirinya seperti saudara. Gentar pun merasa curiga dengan tingkah laku Dewi Rara Sati, ada banyak hal yang membuat dirinya penasaran dengan pendekar wanita itu.     
0

"Jurus Lahaula yang aku miliki ternyata dimiliki pula oleh Dewi. Apakah ada keterikatan antara guruku dengan gurunya Dewi?" desis Gentar tampak seperti merasakan kebingungan.     

Selama ini, Ki Ageng Raksanagara tidak pernah menurunkan ilmu tersebut kepada siapa pun. Bahkan, Gentar pun mendapatkan jurus tersebut langsung dari Syaikh Maliki yang merupakan guru laduninya.     

Lantas, siapa guru Dewi Rara Sati? Pertanyaan tersebut menjadi sebuah beban dalam pikiran pendekar muda itu. Sejatinya, ia sangat penasaran dan ingin mengetahui lebih jauh lagi tentang kepribadian pendekar wanita yang dijuluki sebagai Pendekar Pedang Kematian yang saat ini sudah menjadi kawan baiknya.     

Dengan demikian, terbesit dalam pikirannya untuk segera mencari Resi Wiralada. Gentar hendak meminta petunjuk kepada orang tua tersebut terkait Dewi Rara Sati, karena ia yakin bahwa Resi Wiralada dapat menjawab semua pertanyaan yang menghantui jiwa dan pikirannya kala itu.     

Malam itu, suasana semakin sunyi di luar sudah tampak gelap sekali. Di gubuk sederhana itu, Gentar hanya tinggal sendirian. Kemudian, Gentar bangkit dan langsung memadamkan lentera di ruangan tersebut, karena rasa ngantuk sudah menderanya.     

Ketika, ia hendak merebahkan tubuhnya di atas bebalean yang menjadi tempat tidurnya. Tiba-tiba saja, terdengar suara halus menyentuh dinding pendengarannya.     

Berkat kepandaian ilmu yang ia miliki, jenis suara apa pun pasti dapat didengar oleh Gentar. Meskipun sangat kecil, namun dapat ia dengar dengan sempurna, karena indera pendengarannya sudah terlatih sedemikian rupa, dan memiliki ketajaman yang sangat luar biasa.     

"Apalagi ini? Aku harus mencari tahu," bisik Gentar langsung bangkit dan melesat cepat keluar dari gubuknya.     

Gentar meloncat hingga beberapa tombak ke arah perkebunan yang ada di depan rumahnya. Namun, ketika tiba di di sana. Suasana terasa sepi dan tenang tidak ada tanda-tanda hadirnya seseorang di luar rumahnya.     

"Aku yakin sekali bahwa baru saja terdengar suara seseorang di tempat ini. Tapi, kenapa tidak ada wujudnya?" kata Gentar dalam hati. "Ada peristiwa besar yang sudah terjadi," sambungnya berkesimpulan. Apa yang ia duga memang berdasarkan naluri yang sangat kuat yang kala itu dirasakannya.     

Beberapa saat kemudian, tampak sebuah sinar keemasan dari jarak beberapa tombak dari lokasi tempat Gentar berdiri. Sinar keemasan itu meluncur ke atas udara, bak sebuah kilat petir yang membelah langit tampak terang benderang.     

Sejenak, Gentar berdiri sambil mengamati sinar tersebut yang kemudian menghilang ditelan kegelapan malam. Dalam benaknya berpikir, bahwa sinar tersebut sudah sangat jelas sekali sebagai pertanda sebuah isyarat dari kelompok tertentu. Bahwa telah terjadi peristiwa besar di tempat tersebut.     

Tidak lama kemudian, sinar keemasan itu terlihat kembali menghiasi gelapnya malam. Demikianlah, ia langsung menghentakkan kakinya dan melesat ke atas menuju ke arah munculnya sinar tersebut.     

Setibanya di tempat meluncurnya sinar itu. Gentar tampak terkejut ketika dirinya sudah tiba di sebuah padang rumput yang sangat luas yang berada di pinggiran kota Ponti tidak jauh dari tempat kediamannya.     

Di sabana yang membentang hijau itu, terdapat bangunan-bangunan kuno yang jumlahnya mencapai puluhan. Berdiri rapi bak sebuah pemukiman penduduk. Bangunan kuno tersebut, diperkirakan dibangun sekitar tahun 305 di abad kejayaan Prabu Tindakan Brajasaka.     

"Aku baru tahu, jika di sabana ini terdapat banyak bangunan kuno." Gentar terus mengamati area sekitar tempat tersebut.     

Sejatinya, semenjak kecil. Ia tidak pernah mengunjungi sabana itu, dan baru malam itu ia menginjakkan kedua kakinya di padang rumput yang membentang luas yang di dalamnya terdapat bangunan kuno yang bersejarah.     

Sabana itu adalah sebuah tempat yang sangat sunyi, apalagi di waktu larut malam seperti malam itu, keadaannya tampak sepi. Sehingga suasana di lokasi bangunan kuno tersebut tampak menyeramkan dan memiliki aura mistis yang sangat kuat.     

Angin malam berhembus kencang, terasa dingin menambah berat langkah Gentar untuk menelusuri lebih jauh lagi keadaan di sekitar tempat tersebut. Tiba-tiba saja, tubuh Gentar menggigil menahan dinginnya angin malam, dengan sendirinya ia menghunus pedangnya secara mendadak untuk mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi.     

Sebuah pemandangan mengerikan tampak jelas dalam pandangan matanya, Gentar lantas mundur dua langkah ke belakang. Ia tampak berhati-hati sekali, seakan-akan tengah menghadapi sesuatu yang dinilainya sangat berbahaya. Tanpa terasa, Gentar sudah surut dua langkah ke belakang.     

Gentar melihat bahwa di tempat tersebut, sudah tergeletak empat orang pendekar dari golongan Padepokan Iblis Merah. Mereka sudah tidak bernyawa lagi dalam kondisi mengerikan, perut dan kepala para pendekar itu sudah hancur.     

"Ya, Allah! Siapa yang sudah tega melakukan perbuatan ini?" desis Gentar dengan sorot mata terus mengarah kepada mayat-mayat yang berjejeran di tempat itu.     

Ia kembali melangkah untuk melihat dua mayat berikutnya yang berada di depan gedung kuno tersebut. Sudah jelas bahwa di tempat itu telah terjadi pertempuran yang sangat hebat dari para pendekar, sehingga menimbulkan pembunuhan yang teramat keji.     

Ketika, Gentar melangkah maju lagi ke tempat yang lainnya. Ia kembali melihat bangkai para pendekar saling bergelimpangan memenuhi area sekitar tempat itu. Jumlahnya sangat banyak sehingga Gentar pun geleng-geleng kepala melihat pemandangan mengerikan itu.     

Mayat-mayat tersebut terdiri dari para pendekar yang berasal dari Padepokan Iblis Merah dan para pendekar dari kelompok lainnya yang selama ini pernah berjumpa dengan Gentar di arena pertarungan. Mereka tewas dalam kondisi mengerikan dengan luka yang sangat parah dan tampak jelas bahwa pelakunya merupakan pembunuh yang sangat keji, dan bukan berasal dari pendekar biasa yang berkepandaian rendah.     

Dengan penuh rasa penasaran, Gentar pun terus melanjutkan langkah kakinya menuju ke atas perbukitan yang berada dekat sabana itu. Gentar tampak kaget dan terkejut ketika melihat mayat-mayat di atas bukit tersebut tampak semakin banyak saja. Ada sekitar ratusan mayat bergelimpangan memenuhi area perbukitan itu.     

Di bawah pohon besar yang kondisi sudah rapuh, ia melihat ada sehelai kain putih yang berlumuran darah segar. Lantas, Gentar pun melangkah untuk mengetahui lebih lanjut tentang sobekan kain putih itu.     

Setelah dekat, ia melihat ada sebuah kantung kain entah apa isi di dalam kantung kain tersebut. Rasa penasarannya pun semakin menjadi-jadi, Gentar kemudian meraih kantung tersebut dan membukanya perlahan.     

Tampak sebuah kitab kuno terdapat di dalam kantung kain itu. Lantas, ia pun segera meletakkan kembali kitab tersebut tanpa memasukannya kembali ke dalam kantung kain itu. Lantas, ia berkata, "Apakah ini yang dinamakan kitab Jagaraksa yang selama ini diperebutkan oleh para pendekar sakti di kalangan rimba persilatan?"     

Baru saja ia hendak meraih kembali kitab tersebut. Tiba-tiba saja, muncul dua sosok pria bertubuh kekar tinggi. Kemudian kedua pria itu pun tertawa lepas sambil bertulak pinggang.     

Kedua pria itu adalah pendekar dari Padepokan Gagak Ireng berasal dari pulau Juku. Ragasatya dan Prabukala yang merupakan pemimpin padepokan tersebut. Keduanya sengaja datang ke pulau Kaliwana hendak menyelesaikan persoalannya dengan kelompok pendekar dari Padepokan Iblis Merah dan para pendekar dari kelompok lainnya yang ada di wilayah kerajaan Wana Buana.     

Mereka terus mengamati Gentar. Lantas, salah satu dari mereka berkata, "Kau memang seorang anak muda yang hebat! Maukah kau berkerja sama dengan kami?"     

Gentar tidak mengindahkan perkataan dari pendekar itu. Ia hanya diam dan bergeming saja sambil mengamati gerak-gerik kedua pendekar itu.     

"Tapi kalau kau menolak, kau tidak akan selamat dari tempat ini!" ujarnya mengancam Gentar.     

Gentar masih bersikap tenang dalam menghadapi kedua pendekar itu, dengan penuh keberanian, ia pun menjawab sambil membentak keras, "Tidak ada satu orang pun yang dapat mengatur hidupku. Terkecuali Allah Tuhanku!" tegas Gentar.     

"Baiklah, itu tandanya kau ini hendak bertarung dengan kami, dan ingin merasakan kebenaran dari ucapan kami?!" Ragasatya menyahut sambil menatap tajam wajah Gentar. Sikapnya sungguh jumawa, berdiri angkuh sambil bertulak pinggang.     

Berkata pula, Prabukala sambil membusungkan dada dan menudingkan jari telunjuknya ke arah Gentar, "Kau lihat ke samping kananmu itu!"     

Dengan serta-merta, Gentar pun segera berpaling ke arah samping. Lantas, ia pun melihat ada banyak pendekar yang sudah mengitari dirinya dengan masing-masing menjulurkan tombak dan pedang ke arahnya.     

Dalam tempo yang sangat singkat, mereka sudah mengurung Gentar begitu rapat. Seketika itu, jiwa dan pikirannya menjadi gusar.     

Gentar langsung meraih kitab tersebut, dan segera ia masukan ke dalam saku jubahnya. Gentar kembali membentak para pendekar itu, "Majulah! Aku tidak akan lari dari kalian!"     

Ketika Gentar tengah berhadapan dengan puluhan pendekar yang dipimpin oleh Parbukala dan Ragasatya. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dari puncak bukit tersebut, kemudian disusul oleh meluncurnya sebuah bayangan orang. Bayangan tersebut dengan sangat cepat menerjang Gentar yang tengah berdiri itu.     

Akan tetapi, orang yang hendak menyelakai Gentar itu. Tiba-tiba saja memekik keras, tubuhnya terpental jauh. Karena secara diam-diam, Gentar sudah menghadang serangan orang tersebut dan balas melakukan serangan yang sangat dahsyat.     

Tubuh orang itu melayang tinggi di udara terhempas oleh kekuatan ilmu tenaga dalam dari Gentar. Kemudian terjatuh ke bawah sabana.     

Gentar baru mengetahui bahwa orang yang hendak mencelakainya itu adalah Lasmana pendekar harimau Ponti. Wajahnya terlihat jelas karena tersorot sinar bulan yang kala itu sudah keluar dari balik awan hitam, sehingga suasana bukit tersebut berubah menjadi terang.     

"Tidak kusangka, ternyata Lasmana masih hidup. Lantas kenapa dia mau mencelakaiku?" desis Gentar mengerutkan keningnya.     

Hal tersebut, sangat mengejutkan semua pendekar yang ada di tempat itu. Sungguh tidak terduga, bahwa jurus yang digunakan oleh Gentar semakin sempurna saja. Bahkan, memiliki kekuatan yang tiada bandingnya.     

Bersamaan dengan jatuhnya tubuh Lasmana, dari arah yang tidak terduga. Tiba-tiba saja, muncul Gurawa yang merupakan sahabat baiknya Lasmana, ia melesat bagaikan kilat menghampiri Gentar.     

"Kau harus membayar lunas semua perbuatanmu, Gentar!" bentak Gurawa.     

"Apa salahku?" Gentar balas bertanya sambil terus menatap wajah pendekar itu.     

"Bedebah kau!" Tanpa ragu lagi, Gurawa pun langsung melancarkan serangan terhadap Gentar.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.