Gentar Almaliki

Gentar Kembali ke Bukit Datar



Gentar Kembali ke Bukit Datar

0Pria berjanggut tebal dan memiliki alis terputus oleh bekas senjata tajam. Lantas menjawab, "Sebaiknya kau diam saja, Anak muda! Tidak perlu usil terhadap orang lain, belum tentu kami di sini mentertawakanmu!"     
0

Pria itu bersikap angkuh dan membuat Dwi Juana semakin kesal saja.Karena dari perkataannya tersebut tersimpan sikap yang seakan-akan mengejek pemuda itu.     

"Kau tidak akan menang juga ia berurusan dengan kami!" kata pendekar yang lainnya.     

"Bedebah kalian! Sejengkal pun aku tidak akan surut dalam menghadapi kalian ini!" tegas Dwi Juana membentak keras.     

Ia tampak geram mendengar perkataan itu, mendadak Dwi Juana bangkit dari duduknya. Tangannya menuding ke arah pendekar itu sambil menatap tajam. Kemudian, ia balas membentak, "Buka lebar-lebar matamu! Aku tidak mau dihina seperti ini. Asal kalian tahu, bahwa aku ini adalah Dwi Juana, dan ini guruku Ki Jagat Rimba, apakah kalian mau coba-coba dengan kami?"     

Dengan demikian, para pengunjung warung makan itu langsung terdiam, dan tidak ada yang berani berkata apa-apa lagi. Mereka bungkam setelah Dwi Juana mengenalkan dirinya dan juga gurunya.     

Para pendekar yang ada di warung makan itu pun coba untuk mengalah, karena mereka berpikir jika di antara mereka tidak ada yang saling mengalah. Maka, pertarungan di tempat tersebut tidak akan dapat dihindari. Tentu sangat merugikan sang pemilik warung.     

"Aku akan membinasakan kalian, jika kalian berani menghinaku!" bentak Dwi Juana dengan suara keras dan sorot matanya yang tajam.     

Para pengunjung warung makan itu tampak kaget dan bagi mereka yang memiliki nyali kecil, langsung buru-buru keluar dari tempat itu untuk menghindari kemungkinan yang akan terjadi.     

Namun, tiba-tiba saja. Dari salah satu pendekar itu ada yang berani bangkit sambil membusungkan dada di hadapan Dwi Juana.     

"Berarti kami ini sedang berhadapan dengan dua pendekar aliran sesat sang pemuja iblis?" tanya pendekar itu bersikap jumawa. Sikapnya sungguh sangat tidak sukai baik itu oleh Dwi Juana maupun gurunya.     

Seolah-olah, dirinya sengaja ingin membuktikan kepada khalayak ramai bahwa dua orang pendekar yang ada di hadapannya itu memang penganut aliran sesat dan pemuja iblis.     

Apa yang dikatakan oleh pendekar tersebut, sangat menjengkelkan bagi Dwi Juana. Lantas, ia pun segera menghunus pedang dari selongsongnya.     

Srrreeet!     

"Kau akan mati di tanganku!" bentak Dwi Juana penuh amarah.     

Akan tetapi, tiba-tiba saja ada sebuah serangan mendadak yang berkekuatan tinggi hendak menerjang para pendekar tersebut.     

Pendekar angkuh yang sudah berani menghina Dwi Juana membalikan badannya, dan tangannya menyambut serangan tersebut sambil tertawa terbahak-bahak.     

Kemudian terdengar suara yang sangat gaduh, dan terdengar pula suara dentuman menggelegar sangat keras. Seiring dengan demikian, meja dan kursi yang tengah diduduki oleh para pendekar itu hancur berantakan. Bahkan, tubuh mereka pun bergelimpangan jatuh ke lantai. Peristiwa tersebut, sungguh mengagetkan orang-orang yang ada di dalam warung makan itu.     

Serangan mendadak itu, ternyata berasal dari jurus yang tiba-tiba dikerahkan oleh Ki Jagat Rimba yang merasa kesal dengan ocehan para pendekar itu. Serangannya yang sangat cepat dan tidak terdeteksi oleh para pendekar tersebut.     

Pria yang mengenakan ikat kepala merah dan memiliki luka di pelipis matanya tampak geram dengan perlakuan Ki Jagat Rimba. Pria itu tampak marah sekali, ia langsung membentangkan kedua tangannya.     

Dan Ki Jagat Rimba langsung meluruskan dua bola matanya yang tajam ke arah pendekar berikat kepala merah itu. Ki Jagat Rimba tampak menakutkan dengan sorot mata tajam bersinar.     

"Kau akan binasa jika berani bermain-main denganku!" kata orang tua itu, penuh ancaman.     

Seiring demikian, Ki Jagat Rimba langsung mengerahkan ilmu tenaga dalamnya. Lalu keluar sinar kuning dari telapak tangannya, jurus itu sangat terkenal dan disegani oleh para pendekar di kalangan dunia persilatan yang ada di kerajaan Wana Buana.     

Dengan demikian, para pendekar tersebut tampak terperanjat ketika melihat sinar kuning yang keluar dari telapak tangan orang tua tersebut.     

Dengan demikian, mereka pun surut beberapa langkah ke belakang. Jika serangan itu benar-benar dikeluarkan oleh Ki Jagat Rimba. Maka seisi ruangan tersebut akan hancur berantakan.     

Ketika dalam suasana tegang seperti itu, tiba-tiba saja muncul sebuah kekuatan yang tidak ada wujudnya, dan langsung menghalau serangan dari Ki Jagat Rimba. Entah dari mana datangnya, para pendekar itu tidak mengetahui kalu serangan tersebut berasal Gentar.     

Setelah itu, Gentar pun mulai bangkit dari duduknya, lantas berjalan mengarah ke tengah-tengah dari kedua belah pihak yang sedang bertikai dengan menunjukkan sikap tenang dan biasa-biasa saja.     

"Sebaiknya kalian jangan bertarung di rumah makan ini! Kasihan pemiliknya, aku harap kalian tunda dulu perseturuan ini!" Gentar berusaha melerai pertikaian antara kedua belah pihak itu.     

Semua pendekar mengira bahwa serangan tak berwujud yang berhasil meruntuhkan jurus dari Ki Jagat Rimba berasal dari seorang pendekar kawakan. Tapi dugaan mereka salah, serangan tersebut ternyata berasal dari seorang pendekar muda seperti Gentar. Sehingga mereka pun merasa kaget dan tidak menyangka bahwa itu perbuatan Gentar.     

Pria yang mengenakan ikat kepala merah, lantas berkata sambil mendelik, "Anak muda, sebaiknya kau ini jangan ikut campur urusan kami!"     

Gentar tetap bersikap tenang dan tidak terlalu ambil pusing dengan ocehan pria tersebut. "Aku memang orang baru di kalangan dunia persilatan, namaku Gentar Almaliki. Di antara kalian mungkin belum ada yang mengenalku. Aku tidak ada maksud untuk melarang kalian bertarung, tapi kalian coba mengerti! Jangan bertarung di ruangan ini, karena ini adalah ruang makan dan tempat usaha!" kata Gentar sedikit memberi saran kepada para pendekar tersebut.     

Tiba-tiba para pendekar itu menjadi gusar ketika Gentar berkata sambil memperkenalkan diri di hadapan mereka. Gentar yang terbilang masih baru terjun di dunia persilatan, ternyata sudah dapat menggemparkan dunia persilatan tersebut dengan kesaktian yang dimilikinya.     

"Gentar Almaliki bukan hanya sudah menjatuhkan martabat para pendekar dari Padepokan Iblis Merah, ia pun sudah membinasakan para pengurus Masjid raya di kota ini, dan sudah menyerbu gedung tua tempat penyimpanan keris pusaka," desis salah seorang pendekar itu, ia mengira bahwa semua itu adalah perbuatan Gentar.     

Kemudian kawannya menyahut, "Sekarang ini, dalam perjalanannya menuju ke desa Marga. Ia kembali dapat melepaskan diri dari kepungan para pendekar Garuda Hitam."     

Peristiwa-peristiwa tersebut menyeret nama Gentar sebagai pelakunya, peristiwa tersebut sudah lama baru terdengar lagi. Semula para pendekar itu mengira bahwa merekalah yang menjadi para pendekar terkuat di dunia persilatan.     

"Hadirnya pendekar muda ini, adalah mimpi buruk untuk kita," bisik salah seorang pendekar itu.     

Namun sayang, Gentar tidak mengetahui asal usul dirinya sendiri, sehingga telah menimbulkan kegemparan di jagat dunia persilatan. Para pendekar yang ada di seluruh wilayah pulau Kaliwana masih menyimpan rasa curiga terhadap Gentar, dan Gentar pun masih belum bisa membuktikan bahwa dirinya berasal dari golongan baik.     

Dengan demikian, orang-orang di kalangan dunia persilatan masih menganggap Gentar sebagai pendekar yang paling berbahaya dan tentu mengancam mereka.     

"Kau ini benar-benar Gentar Almaliki? Seorang pendekar yang baru datang dari pulau Juku?" tanya salah seorang pendekar itu sambil memandang wajah Gentar.     

Lantas, ia maju menghampiri Gentar. Lalu berkata sambil membungkukkan badan, "Kami menghadap Raden dengan segala hormat."     

Mendengar ucapan pendekar itu, Gentar pun mengelak, "Aku bukan kawanmu dan aku tidak kenal dengan kalian!" Gentar mengerutkan kening sambil menatap wajah para pendekar itu.     

"Kita satu golongan, apakah kau lupa?" tanya pendekar itu.     

Ketika Gentar hendak menjawab. Tiba-tiba saja, pendekar itu langsung mengajak anak buahnya, dengan wajah ketakutan mereka langsung melangkah keluar dari warung makan tersebut.     

Dwi Juana tersenyum menatap wajah Gentar, kesan baik pun muncul dalam diri pemuda itu terhadap Gentar yang baru berjumpa dengannya pada hari itu.     

Gentar berpaling ke arah Dwi Juana, ia hanya memandang sekilas sambil menganggukkan kepala seraya menyapa dengan sikap hormatnya, dan Gentar balas tersenyum lalu duduk lagi di tempat semula.     

Kegaduhan yang baru saja terjadi, dan hampir membuat sang pemilik warung putus asa. Akan tetapi, sudah dapat diselesaikan dengan baik oleh Gentar.     

"Terima kasih ya, Den," ucap sang pemilik warung tersebut.     

"Iya, Ki," jawab Gentar balas tersenyum.     

Demikianlah, para pelayan warung tersebut langsung keluar dari persembunyian mereka. Dan mereka pun kembali bekerja untuk merapikan meja dan kursi yang sudah hancur berkeping-keping.     

"Ini uang untuk membayar makanan kami dan mengganti kerugian warung ini!" kata Dwi Juana sambil meletakkan kantung kain yang berisi kepingan uang perak di atas meja. Lantas, ia langsung menuntun Ki Jagat Rimba untuk keluar dari warung makan tersebut.     

"Terima kasih, Den," ucap sang pemilik warung tampak semringah.     

Demikian pula dengan Gentar, setelah selesai makan ia langsung pulang ke bukit Datar dan kembali ke gubuknya yang selama hampir dua pekan ia tinggalkan.     

Setelah tiba di kediamannya, Gentar langsung merapikan rumahnya, dan segera memasak air untuk membuat minuman wedang kesukaannya.     

"Aku harus bertani di tempat ini, dan untuk sementara aku akan mengasingkan diri untuk menenangkan pikiran," desis Gentar.     

Siang itu, ketika selesai melaksanakan Salat Zuhur. Gentar pun langsung memperbaiki bilik rumahnya yang sudah tampak rapuh dengan bilik yang baru yang sengaja ia simpan di samping rumah yang dulu belum sempat ia pasang.     

****     

Pada malam harinya, Gentar seorang diri saja di gubuk sederhananya, ia duduk termenung menghadapi lentera kecil. Banyak persoalan yang membelenggu dalam jiwa dan pikirannya.     

Pertama, ia memikirkan tentang terbunuhnya Kyai Jalaluddin. Sehingga dalam benaknya muncul berbagai pertanyaan terkait hal itu.     

"Siapakah pendekar yang mempunyai ilmu yang sangat hebat, sehingga bisa membunuh ulama yang sangat disegani itu?" desis Gentar berbicara sendiri.     

Lantas, ia pun berpikir tentang para pendekar yang sudah menolongnya. Apakah berasal dari golongan para pendekar baik ataukah sebaliknya?     

Di kota Ponti di masa yang akan datang entah akan terjadi peristiwa besar apa lagi. Kenapa banyak pendekar yang datang ke kota tersebut? Apakah hal ini ada hubungannya dengan aku?" Gentar semakin tidak mengerti dengan berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.