Gentar Almaliki

Ki Jagat Rimba dan Dwi Juana



Ki Jagat Rimba dan Dwi Juana

0Gentar merasa bingung, Kyai Jalaluddin sudah tewas. Lantas, ke mana lagi ia harus mencari tahu tentang keberadaan orang tuanya? Sehingga, Gentar pun tampak gusar dan bersedih.     
0

"Aku akan membalaskan dendam terhadap orang yang sudah membinasakan Kyai Jalaluddin," desis Gentar penuh amarah. Kedua telapak tangannya mengepal kuat, giginya pun menggeretak menahan amarah dalam jiwa dan pikirannya.     

Tidak terasa waktu sudah semakin malam. Gentar pun akhirnya singgah barang sebentar di sebuah Masjid yang ada di pinggiran kota tersebut, karena dirinya belum melaksanakan Salat Isya.     

"Assalamualaikum," ucap Gentar mengarah kepada salah seorang pria yang tengah membersihkan Masjid tersebut.     

"Waalikum salam," jawab pria itu dengan sikap ramahnya.     

"Mohon maaf, Saudaraku. Izinkan aku untuk melaksanakan ibadah di Masjid ini," ujar Gentar dengan sikap rendahnya.     

"Silahkan, Pendekar. Masjid ini milik bersama, jadi bebas untuk siapa saja yang hendak beribadah di Masjid ini!" sahut pria tersebut tersenyum lebar.     

Dengan demikian, Gentar pun langsung berwudlu. Setelah itu langsung melaksanakan kewajibannya sebagai Muslim–menjalankan ibadah Salat Isya.     

Usai melaksanakan kewajibannya, Gentar langsung pamit kepada sang pengurus Masjid. Ia kembali melanjutkan perjalanan menuju ke dalam kota Ponti, semalaman ia hanya bolak-balik. Ketika ia sampai ke dalam kota untuk kedua kalinya, hari sudah menjelang pagi. Gentar teringat dengan Resi Wiralada dan juga Latifah putri sang kyai.     

"Ke mana perginya Latifah? Tadi malam ia ke sini bersamaku, namun hingga sekarang masih belum tampak batang hidungnya?" desis Gentar tampak cemas dan merasa khawatir.     

Sebelum melanjutkan pencariannya terhadap Latifah dan Resi Wiralada, Gentar pun melaksanakan Salat Subuh terlebih dahulu di sebuah saung yang ada di pinggiran jalan kota Ponti, hanya dengan beralaskan tikar yang ada di saung tersebut.     

****     

Kyai Jalaluddin dan Resi Wiralada sudah berhubungan baik layaknya dua orang saudara. Mereka sudah menjalin tali persaudaraan selama bertahun-tahun lamanya. Jadi, tidak mungkin jika Resi Wiralada meninggalkan sang kyai begitu saja dalam keadaan tengah menghadapi kesulitan.     

Gentar beranggapan, ketika dirinya bergerak bersama Latifah menuju kota Ponti, Resi Wiralada menyusulnya dari belakang. Sehingga meninggalkan sang kyai seorang diri, sudah barang tentu ada orang jahat yang sengaja datang menemui Kyai Jalaluddin, kemudian mencelakainya.     

"Aku harus mencari Latifah dan Resi Wiralada, aku harus mencari tahu informasi yang sebenarnya tentang kematian Kyai Jalaluddin," desis Gentar sambil terus berjalan setelah selesai melaksanakan Salat Subuh.     

Ia tidak peduli akan keselamatan dirinya, meskipun dia tahu bahwa di kota tersebut dirinya tentu akan banyak menemui kesulitan, dan berbagai ancaman dari para pendekar yang masih penasaran dengan dirinya. Terkait keris pusaka yang tiba-tiba hilang dan juga terkait kasus pembunuhan para pengurus Masjid raya kota Ponti.     

"Aku harus mengisi perut dulu," ucap Gentar sambil melangkah menuju sebuah warung yang ada di pinggiran jalan utama kota tersebut.     

Karena dari semalam dirinya belum makan sesuap nasi pun, perutnya sudah terasa lapar. Maka ia melangkah masuk ke dalam warung makan itu.     

Ketika, ia tengah menikmati makanan. Tiba-tiba saja, ia mendengar pembicaraan dua orang pengunjung warung tersebut, yang diduga kuat sebagai para pendekar dari kota tersebut.     

"Menurut pemahamanmu, di dunia persilatan ini. Para pendekar dari manakah yang memiliki kekuatan paling menonjol?" tanya salah seorang pria berambut panjang mengarah kepada rekannya yang tengah mengisap tembakau lilit dengan begitu nikmatnya.     

"Aku pikir, para pendekar terkuat saat ini adalah Dernada si penganut aliran sesat. Dia merupakan pendekar manusia setengah iblis!" tandas kawannya menjawab pertanyaan pria yang ada di sampingnya.     

"Maksudmu, Dernada murid Ki Jagat Rimba?"     

"Ya, betul. Ki Jagat Rimba adalah seorang pendekar tua yang masih disegani di kalangan dunia persilatan. Bahkan, raja pun sangat menghormati orang tua itu!"     

Kemudian, kawan mereka yang lainnya menyahut, "Aku rasa orang-orang dari padepokan Iblis Merah yang paling jago di dunia persilatan saat ini."     

Gentar menjadi tergugah rasa semangat dalam dirinya ketika mendengar pembicaraan orang-orang tersebut. Ia pun sangat tertarik dengan percakapan tersebut, sehingga dirinya langsung memasang telinga tajam untuk mendengarkan semua perbincangan itu.     

"Pemikiranmu itu aku rasa salah besar, tidak mungkin para pendekar dari Padepokan Iblis Merah menjadi yang terkuat!" Salah satu dari mereka tampak tidak setuju jika kawannya mengatakan bahwa para pendekar dari Padepokan Iblis Merah yang menjadi golongan terkuat.     

Karena berdasarkan kenyataan, para pendekar dari Padepokan Iblis Merah sudah dapat dikalahkan oleh pendekar pedang kematian–Dewi Rara Sati, dan bahkan Gentar sendiri pernah mengalahkan mereka.     

"Ada seorang pendekar baru, entah dari mana datangnya? Dia memiliki kesaktian yang luar biasa. Aku yakin, dialah calon pendekar terkuat di muka bumi ini!" tegas kawannya berkesimpulan. Yang ia maksud adalah Gentar, orang yang saat itu ada bersama mereka di dalam warung tersebut.     

"Kalau memang seperti itu, mungkin sebentar lagi pulau ini akan kembali gaduh dengan persaingan ketat dari para pendekar yang memiliki kemampuan hebat. Terutama para pendekar senior yang tidak mungkin menerima kehadiran pendekar baru itu."     

"Betul sekali. Kemungkinan akan ada peristiwa besar yang melanda negri ini," desis kawan mereka menyahut.     

Ketika mereka tengah berbincang-bincang. Tiba-tiba saja, terdengar langkah kaki seseorang. Kemudian muncul sosok kakek tua berambut putih, dan berjanggut tebal keperak-perakkan. Orang tua itu memiliki tubuh bongkok, usianya diperkirakan sudah hampir mencapai satu abad. Akan tetapi, sang kakek tersebut masih tampak kuat berjalan meski terkadang langkahnya terseok-seok. Pria senja itu memegang sebuah tongkat sambil bergandengan tangan dengan seorang anak muda tampan berusia sekitar 20 tahun.     

Dengan hadirnya dua sosok pendekar beda usia itu, mendadak pembicaraan orang-orang itu berhenti, dan beralih memperhatikan kedatangan sang kakek bersama anak muda berwajah tampan.     

Kemudian, salah seorang dari ketiga pria itu berbisik kepada kawannya, "Mungkin kakek inilah orangnya yang paling sakti, kalian tahu sendiri, kan? Bahwa kakek ini adalah guru Dernada–pendekar aliran sesat itu. Dan anak muda itu adalah adalah muridnya juga!"     

Setelah itu, ketiga pria tersebut langsung mengalihkan pembicaraan ke persoalan lain. Mereka tampak segan dan merasa takut jika kakek tua itu mengetahui kalau mereka tengah membicarakannya.     

Diam-diam, Gentar terus memperhatikan pria senja itu yang sudah duduk bersama muridnya. Gentar yakin bahwa kakek tua itu hanya sebatas raganya saja yang terlihat rapuh dan lemah. Namun terpancar jelas dari sorot matanya yang tajam menandakan bahwa orang tua tersebut merupakan orang yang sakti dan memiliki kelebihan pada dirinya.     

Gentar tidak menyadari bahwa dirinya pun saat itu tengah diperhatikan oleh orang lain. Pendekar muda yang datang bersama kakek tua itu, terus memperhatikan tanpa disadari oleh Gentar saat itu.     

Gentar pun tidak ingin dirinya diketahui oleh orang lain sebagai orang berkepandaian tinggi. Sehingga dirinya bertingkah seperti orang biasa-biasa saja yang tidak memiliki kemampuan tinggi dalam hal ilmu bela diri. Meskipun demikian, tetap saja orang-orang yang ada di sekitar tempat itu dapat mengetahui dengan jelas bahwa Gentar bukanlah orang sembarangan. Mereka diam-diam memperhatikan gerak-gerik Gentar.     

"Apakah Guru sudah tahu, bahwa para pendekar dari Padepokan Garuda Hitam sudah mengetahui tentang pendekar yang datang dari pulau Juku yang akhir-akhir ini sudah membuat gempar tanah Kaliwana?" tanya anak muda berwajah tampan itu mengarah kepada gurunya–anak muda itu adalah Dwi Juana dan gurunya adalah Jagat Rimba. Mereka berasal dari pesisir pantai selatan pulau Kaliwana.     

Jagat Rimba menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan dua matanya. Orang tua itu menjawab dengan sikap dingin sambil menutup mata, "Sungguhkah? Biar nanti siang kita bahas lagi, kita makan saja dulu!" Jagat Rimba kembali membuka matanya lebar-lebar.     

Dwi Juana hanya tersenyum. Lantas, ia kembali melontar pertanyaan kepada gurunya, "Guru, jika aku menggunakan jurus pedang yang telah Guru ajarkan. Apakah jurus tersebut dapat mengimbangi permainan pedang dari pendekar Juku itu?"     

Pendekar Juku yang dimaksud oleh anak muda itu adalah Gentar. Namun, ia dan gurunya belum mengetahui seluk-beluk Gentar, bahkan wajah Gentar pun ia tidak tahu-menahu. Mereka sebatas mendengar informasi tentang Gentar dari para pendekar di negri itu.     

"Yakinlah! Kau ini lebih unggul dari pendekar itu, karena jurus pedang yang aku ajarkan bukan untuk mengimbangi lawan. Akan tetapi, semua tercipta untuk mengalahkan jurus-jurus dari pendekar lain!" tegas Ki Jagat Rimba meyakinkan Dwi Juana. Sikap orang tua itu sangat percaya diri, seakan-akan jurus yang ia ciptakan merupakan jurus yang paling kuat di muka bumi.     

Gentar hanya diam menahan diri agar tidak tertawa mendengar perkataan dua orang tersebut. Mereka tengah membicarakan dirinya tanpa mengetahui bahwa orang yang sedang mereka bicarakan ada di dekat mereka.     

"Seenaknya saja mereka bicara seperti itu. Jurus pedang yang kumiliki berdasarkan pelajaran dari Syaikh Maliki yang sudah ia amalkan puluhan tahun. Tidak mungkin begitu mudahnya ada jurus pedang lain yang dapat mengimbangi atau bahkan mengalahkan jurus pedangku," desis Gentar dalam hati.     

Meskipun demikian, Gentar tetap menjaga sikap di hadapan kedua pendekar itu. Ia tetap makan dan minum dengan tenang, seakan-akan tidak menghiraukan percakapan orang-orang yang ada di sekitarnya.     

Beberapa saat kemudian, datang beberapa orang pendekar. Mereka seperti berasal dari padepokan Iblis Merah, Gentar paham dengan pakaian yang mereka kenakan saat itu.     

Melihat kedatangan orang-orang tersebut, Gentar tetap bersikap tenang dan tidak menampakkan kegelisahan dalam dirinya. Karena ia paham mereka adalah golongan para pendekar yang berkepandaian tinggi di dunia persilatan.     

"Benar yang dikatakan oleh Dewi Rara Sati, bahwa kota ini sedang bergolak dan banyak didatangi oleh para pendekar dari berbagai golongan," kata Gentar dalam hati. Sehingga, ia pun tidak risau ataupun merasa heran dengan kemunculan para pendekar tersebut.     

Para pendekar yang baru tiba itu, langsung mencari tempat duduk mereka masing-masing. Salah satu dari mereka ada yang terus mengamati Dwi Juana sambil tertawa-tawa, seakan-akan mereka menyepelekan Dwi Juana dan Ki Jagat Rimba.     

Dwi Juana tampak kesal ketika mengetahui bahwa dirinya disepelekan oleh pendekar yang baru datang itu.     

"Kau ini mentertawakan aku? Apakah kau sudah bosan hidup?!" bentak Dwi Juana sambil melotot tajam ke arah pendekar tersebut.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.