HE ISN'T MYBROTHER

Abella Hamil dan Harus digugurkan



Abella Hamil dan Harus digugurkan

0Delon dan Regan sudah membuat suasana lingkungan rumah Delon kembali aman. Delon sudah melihat apa penyebab wanita itu bisa masuk ke dalam rumahnya.     
0

Sebuah benda penghasil asap bius.     

Benda tersebut Delon temukan ada beberapa di seluruh lingkungan rumahnya. Dan seluruh anak buah Delon juga ditemukan tersungkur di atas tanah dengan kondisi pingsan hingga beberapa jam. Karena dosis yang digunakan obat bius tersebut begitu tinggi.     

"Sekarang kita harus pergi ke mana dulu?"     

Pertanyaan itu membuat lamunan Delon terpecah. Kini kepala itu memutar ke arah pusat suara.     

"Kau sudah selesai?" tanya Delon yang diangguki lelaki berkaca mata itu. Regan hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk menjelaskan apa yang terjadi, dan kemungkinan pelakunya memang bukan asli Negara ini.     

"Lakukan panggilan video Dengan Anin. Kita harus membicarakan semua ini. Tapi, bukan di sini. Di ruang kerjamu."     

Regan yang mendapat perintah dari Delon langsung merogoh ponselnya, mengabari istrinya untuk pergi ke rumah Delon, menemani Rachel.     

Delon melangkah terlebih dulu. Ia sudah memerintah anak buahnya yang tidak terkena asap bius itu untuk memindahkan anak buahnya yang tidak sadarkan di tempat yang layak.     

Karena efek dari asap bius tersebut akan membuat pikiran mereka linglung beberapa saat. Delon sudah beberapa kali menemui obat bius berdosis tinggi berwujud asap.     

Tubuh kekar itu sekarang sudah dekat dengan mobil mewahnya. Rumah Regan adalah satu-satunya tempat teramanan untuk membicarakan tentang apa yang dicari wanita berwajah bule tersebut.     

"Tuan Delon apa perlu saya antar?" tanya Pak Yono yang nampak cemas dengan keadaan rumah yang begitu berantakkan.     

Delon memutar pandang. "Tidak perlu. Kau bisa membantu di sini untuk membereskan beberapa barang."     

"Baik, Tuan Delon."     

Jawaban Pak Yono juga mengantarkan Delon untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Dan tak lama dari arah belakang tubuh lelaki paruh baya tersebut suara helaan napas terdengar.     

"Jaga Nyonya Rachel, ya Pak Yono! Jika terjadi apa pun, telpon saja aku," kata Regan.     

Lelaki paruh baya itu mengangguk dengan membungkukkan tubuh ke arah Regan. "Baik, Pak Regan. Saya akan hubungi Anda."     

Regan mengangguk, dan langsung berlari melingkari mobil mewah Delon, memasukkan tubuh dengan sempurna ke dalam sana.     

Sedangkan di sisi lain wanita itu telah meletakkan tubuh kecil Nathan dan Nefa di sebuah kamar hotel yang sangat jauh dari perumahan Delon.     

Ini semua berkat adik kandungnya yang sudah mengarahkan dan mempersiapkan seluruh keperluannya di Indonesia.     

"Kau pikir dengan begini, kau akan aman?" Suara itu membuat wanita berwajah asing dengan rambut pirangnya menarik sudut garis bibirnya.     

Kepulan asap yang keluar dari mulutnya dan jentikan pada abu yang menempel pada ujung rokoknya membuat wanita tertawa lirih.     

"Karen, kau tahu apa? Hidupmu hanya memutar di sini. Mengurus perusahaan-perusahaan kecil itu ditambah lagi perasaan sukamu pada musuhku membuatku jijik," sahutnya tanpa rasa beban sama sekali.     

Karen berdecak. Ia pun tidak menyangka jika target kakaknya adalah Delon. Ia memang menyukai lelaki tampan itu, tapi Karen lebih suka melihat Rachel hancur.     

"Jangan tertawa. Kau lihat dirimu sendiri, kau bahkan menyukai lelaki penyuka menekin. Apa kau pernah dijamah? Lucu sekali, kau pasti tersiksa di sana," sahut Karen tak kalah menusuk.     

Akan tetapi, itu tidak berpengaruh padanya. Tujuannya menjadi istri siri dari Key memang bukan untuk berhubungan layaknya seorang istri.     

"Tapi, kekayaanku lebih banyak darimu."     

Tanpa mereka sadari Nathan dan Nefa sudah sadar. Tubuh mereka memang tidak diikat karena dua wanita itu yakin jika bocah enam tahun itu tak akan pernah mempunyai kesempatan kabur.     

Nathan meletakkan jari telunjuk di depan bibir, mengkode Nefa yang sudah mencebikkan bibir untuk tetap diam. Nefa kembali ingin mengeluarkan Isak tangisnya karena merasakan tempat tidur yang ia tempati sungguh berbeda dengan tempat tidurnya.     

Apalagi, ditambah ingatan kejadian mengerikan beberapa jam yang lalu.     

"Nefa diam. Jangan menangis, Kakak akan cari cara buat keluar dari sini," bisik Nathan tepat di depan telinga Nefa.     

Nefa mengangguk seraya mengusap wajah gembulnya yang telah basah.     

"Tanteee!" panggil Nathan yang sontak membuat kedua wanita yang masih saling membanggakan diri mereka masing-masing itu menoleh ke arah Nathan.     

"Kenapa Adikku tidak mau bangun?" tanya Nathan dengan suara ketakutan menunjuk ke arah tubuh Nefa yang masih berpura-pura tidur sesuai rencana Nathan.     

"Megaan! Kau apakan dia?" tanya Karena yang ikut panik karena ia tahu bagaimana saudaranya itu yang selalu berbuat apa pun, tak peduli korbannya adalah seorang bocah kecil.     

Megan, wanita berwajah tegas itu mulai mengangkat tubuh. Putung rokok yang hanya tinggal setengah ia jatuhkan tepat di bawah sepatunya. Ia injak tanpa perasaan.     

"Kau ingin mencoba mengelabuhiku, Bocah Kecil?" Megan bersuara dingin sehingga sedikit membuat Nathan takut. Namun, ia harus melanjutkan permainan ini.     

Nathan menggeleng. Bibir kecil itu telah mengerucut, air matanya meluruh membasahi wajah kecil itu.     

Megan menekan pipi Nathan dengan jemarinya, menatapnya penuh kekejaman.     

"Kau ingin lihat Adikmu benar-benar tak bergerak?"     

***     

Ryan bingung melihat Abella meminta dirinya untuk menggendong ke arah kamar mandi terus sejak kemarin. Akhirnya malam ini Ryan membawa dokter kepercayaan istrinya untuk datang ke kamarnya dengan mengendap-endap.     

Jemari Ryan tak henti-hentinya saling meremas. Ia sungguh takut jika ada hal yang lebih mengerikan terjadi pada tubuh Abella. Mual-mual memang sudah biasa Ryan lihat, tapi kali ini durasi yang berulang membuat lelaki tampan itu semakin dibuat gusar.     

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok? Apa penyakitnya semakin parah?" tanya Ryan saat melihat lelaki paruh baya dengan jubah putih itu sudah selesai memeriksa Abella.     

Senyum getir menyapa pantulan mata Ryan. Ia bingung untuk menyampaikan berita ini seperti apa, karena memang sangat penting dan berbahaya.     

"Selamat Tuan, Nyonya Abella hamil."     

Ryan yang mendengar berita membahagiakan itu langsung memundurkan tubuh dengan kepala menggeleng. Sedangkan Abella justru menangis bahagia seraya mengusap perutnya yang masih rata.     

"Lalu, bagaimana dengan penyakit istri saya? Apa kehamilan itu beresiko?" Ryan bertanya dengan penuh kecemasan. Ia belum sempat berkonsultasi kepada dokter karena kunjungan Hernandes yang mendadak kemarin.     

Dokter tersebut berjalan mendekati, menyentuh bahu Ryan.     

"Saya harus menyesal mengatakan ini. Karena kesempatan janin akan selamat sangat kecil jika Nyonya Abella melakukan kemoterapi. Namun, ketika kemoterapi tidak dilakukan, maka kesempatan ibu dan calon janin selamat juga begitu tipis."     

"Waktu Nyonya Abella hanya satu tahun lagi. Sel kanker itu memang tidak menyebar untuk saat ini karena Nyonya Abella yang selalu rutin melakukan kemoterapi ... tapi, tetap saja berbahaya mempertahankan kehamilan tersebut."     

Penjelasan itu benar-benar dipahami oleh Ryan. Satu tahun adalah waktu yang begitu singkat. Apa bisa Ryan merelakan istrinya secepat itu?     

"Aku akan tetap mempertahankan kehamilan ini, Dok ... tolong bantu aku menyelamatkan anakku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.