HE ISN'T MYBROTHER

Aku Tidak Ingin Kehilanganmu



Aku Tidak Ingin Kehilanganmu

0"Rachel!"     
0

"Ayo meeting. Kenapa pintunya tidak bisa dibuka?"     

Teriakan itu membuat Delon menghentikan aktivitasnya menikmati tubuh bagian depan istrinya. Desahan yang keluar seketika Rachel hentikan. Kedua manik mata itu mengarah ke belakang pintu. Di mana tubuhnya tersentak karena gedoran tersebut.     

Delon mencoba tak menghiraukan. Ia kembali memancing gairah Rachel. Remasan di rambut hitam lelaki itu adalah bukti di mana gairah perempuan cantik itu kembali meliar. Ditambah tangan Delon yang sudah masuk di dalam area inti Rachel.     

"Rachel!" Panggilan itu kembali memberontak.     

Rachel menahan tangan Delon di bawah sana. Dan hal tersebut membuat sang empu kembali melepas apa yang telah berada di dalam mulutnya.     

"Kak ...." Panggil Rachel seraya menangkup wajah tampan di depannya yang telah sayu dengan manik hitam tertutup selimut gairah tebal.     

Kecupan dalam, lalu beralih pada pagutan Rachel dan dibalas Delon tak kalah panas. Dan hal tersebut membuat mereka kembali hanyut dalam permainan sesaat.     

Tidak menunggu lama saat mereka benar-benar sudah kehabisan napas, Rachel melepaskan dengan lembut. Kemudian memberi kecupan sekali lagi.     

"Aku harus pergi, kak Regan ada di depan."     

Kalimat Rachel benar-benar membuat Delon mengusap kasar wajahnya. Ia sudah begitu menginginkan istri cantiknya. Tapi, mengingat profesionalisme. Delon harus melepaskan.     

"Sini, peluk dulu." Delon menarik tubuh Rachel yang masih begitu berantakkan karena ulah lelaki tampan itu ke dalam pelukannya. "Aku sangat mencintaimu Sayang." Lanjutnya.     

Rachel terkekeh kecil mendengar ungkapan yang tak pernah lelah ia dengarkan.     

"Sudah berapa kali kamu menyatakan perasaan padaku? Mungkin kalau aku belum menikah, aku akan menerimamu," ucap Rachel yang justru dibalas tawa Delon juga.     

"Sayangnya kamu telah menikah denganku."     

"Nikah lari." Rachel menandaskan kalimatnya dengan nada becanda. Lalu, dibalas dengan anggukan Delon.     

"Apa pun itu. Aku bahagia menikah denganmu, Sayang."     

Setelah adegan drama pasangan suami istri itu. Akhirnya pintu ruangan Delon terbuka lebar. Di sana sudah ada punggung kekar yang membelakangi mereka dengan satu kaki mengetuk-ngetuk di atas lantai.     

"Lo mau nyanyi di sini?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Delon membuat tubuh itu berbalik. Regan yang sedang mengulas dagu akhirnya ia lepaskan.     

"Siapa yang mau nyanyi? Mau nyincang orang itu lebih tepatnya."     

"Lama ya kalian. Sedang apa di dalam?" Lanjutnya membuat perempuan yang ada di samping Delon berdehem dengan menatap kembali rambut hitam panjangnya.     

Delon melirik ke arah Rachel, lalu kembali memusatkan fokus pada lelaki berkaca mata bening itu.     

"Jagain istri gue. Sampai dia digoda klien lain. Gue pecat semua seluruh karyawan termasuk lo!" ancam Delon dengan penuh keyakinan besar.     

Delon punya kuasa, dan tak ada yang bisa menghentikan kekuasaaan tersebut.     

"Iya iya, bawel sekali. Cantikan juga istri gue," balas Regan dengan tatapan malas.     

Rachel akhirnya sudah berjalan di samping Regan setelah perjalanan meminta izin pada Delon. Meja kerjanga memang seharusnya tidak berada di ruang kerja suaminya.     

Jika terus begini, ia hanya akan menjadi simpanan CEO tampan tanpa bisa mengerjakan pekerjaan sesuai dengan keahlian Rachel.     

"Sudah berapa kali minum tadi?" goda Regan saat mereka sudah memasuki lift. Dan tatapan para karywan Delon sudah mulai terbiasa dengan kebersamaan mereka berdua.     

Sudah tidak ada lagi karyawan yang saling berbisik. Mereka hanya akan menghormati Rachel dan Regan karena jabatan yang mereka emban. Bukan lagi sebagi istri CEO mereka.     

"Apa sih? Minum apaan, nggak usah ngacau. Ayo cepet keluar," seru Rachel dengan wajah memerah semu. Memimpin jalan terlebih dulu.     

Regan tertawa terbahak, hingga membuat beberapa orang yang berada di lantai bawah menatap lelaki itu dengan tatapan penuh arti. Sudah biasa lelaki itu melakukan sesuatu hal yang aneh. Namun, tawa Regan kali ini benar-benar membuat mereka terkejut.     

"Tidak usah lihat-lihat! Lanjutkan perjalanan kalian!" bentak Regan saat menyadari jika mereka berhenti hanya untuk melihat dirinya.     

Mereka semua pun mengangguk dengan takut-takut, lalu kembali meninggalkan lelaki itu di sana.     

"Dasar aneh! Baru lihat orang senang," gumam Regan menggeleng kepala.     

***     

Di rumah Hernandes, lebih tepatnya di dalam kamar. Malam sudah begitu gelap ada getaran petir yang bisa di rasakan meski tidak berada di luar ruangan.     

Abella menatap keberadaan lelaki yang ada di sampingnya dengan penuh perasaan nyaman. Dan begitu Ryan. Lelaki itu telah membuktikan apa yang telah diucapkannya tempo hari.     

Jadilah istriku, aku akan memberimu kebahagian tanpa selembar kertas itu.     

Abella terharu. Ia tidak menyangka jika Ryan bisa mengatakan itu. Ia pikir perasaannya akan berbanding terbalik dengan kenyataan. Mereka menikah dengan mengikat cinta, namun cinta itu adalah palsu.     

"Kami kedinginan, Nona?" tanya Ryan saat selimut tebal itu semakin menutupi tubuh kecil Abella.     

Wanita cantik itu hanya tertawa kecil dengan jemari lentik bermain di dada bidang suaminya.     

"Kamu bisa menceraikanku kapan saja. Tidak perlu mengatakan perasaanmu. Kalau sudah seperti ini, aku tidak bisa lagi menahan perasaanku juga," ungkap Abella, memajukkan tubuhnya hingga masuk ke dalam pelukan Ryan.     

Ryan membalas pelukan istrinya dengan hangat. Kucuran cinta yang tidak tahu mulainya dari mana.     

Kecupan mendarat pada pucuk kepala Abella, bau harum pada tubuh ramping itu sangat membuat nyaman Ryan. Ia rasanya tidak mau melepas pelukan itu.     

Sama sekali tidak. Ryan ingin terus seperti ini.     

"Aku mencintaimu, Nona. Bagaimana bisa aku menceraikanmu. Rasanya aku ingin merebut penyakit yang kamu rasakan. Aku benar-benar tersiksa," balas lelaki tampan itu dengan nada pilu.     

Abella mengulas senyum bahagia mendengar perkaaan Ryan. Seandainya bisa, ia tidak akan mau bertemu dengan Ryan jika pada akhirnya hanya penderitaan saja yang akan didapat lelaki itu.     

"Jangan membuatku tertawa. Aku baru saja terkejut dengan hubungan kita, ditambah lagi dengan hal itu. Sementara jangan ingatkan aku tentang kematian," lirih wanita cantik itu.     

Ryan mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Abella. Ia juga begitu sedih saat mengingat masa itu akan segera datang. Entah cepat atau lambat, pasti hatinya akan tercabik dengan tubuh membeku Abella. Tidak ada lagi kehangatan seperti ini.     

"Apa kamu sudah siap hamil, Sayang?" Ryan mengusap perut rata Abella dengan lembut. Ia pun ingin sekali dipanggil 'papa' oleh anaknya kelak.     

Tapi, apa benar Rachel bisa melahirkan tanpa membahayakan kondisi tubuhnya? Ryan besok akan diam-diam pergi ke rumah sakit untuk mastikan dirinya sudah benar memberi calon anak mereka.     

"Aku yakin. Tapi, tubuhku ... sangat lemah. Aku ingin memberi papa cucu untuk terakhir kalinya," jawabnya dengan nada tercekat.     

Mengeluarkan kalimat itu rasanya begitu menyayat hati. Ia ingin sekali tidak meninggalkan Ryan dan papanya. Namun, penyakit yang diderita Abella sudah semakin parah. Bahkan beberapa obat itu hanya sebagai penghambat kematiannya.     

"Kita bisa mengangkat anak panti asuhan. Kamu tidak perlu melahirkan. Aku janji akan memberi kalian cinta yang tulus."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.