HE ISN'T MYBROTHER

Sikap Malu-Malu Abella



Sikap Malu-Malu Abella

0"Ada dengan kalian? Kenapa keluar dengan wajah seperti itu?"     
0

Abella dan Rian saling menatap satu sama lain. Mereka baru saja keluar saat matahari mulai tenggelam. Rian benar-benar dibuat menggila dengan permainan mereka yang baru tuntas beberapa jam yang lalu.     

Permainan yang tak pernah ia rasakan dengan wanita lain. Tapi, kenapa ia justru dibuat nyaman dengan wanita seperti Abella. Wanita yang bahkan tak bisa berbicara dengan lancar, untuk berjalan saja dia juga tidak bisa.     

Cinta memang membuat siapa pun melupakan bagian prinsip kesempurnaan itu diciptakan.     

"Kamu tidak apa-apa, Tuan Hernandes," jawab Rian mewakili Abella yang sepertinya masih malu untuk mengakui apa yang telah mereka lalui tadi.     

Hernandes memasukkan suapannya ke dalam mulutnya saat mendengar jawaban Rian. Dan saat makanan itu telah tertelan habis. Hernandes kembali membuka mulut.     

"Jangan panggil aku seperti itu. Tidak akan baik jika sampai terdengar media. Biasakan memanggil aku 'papa' seperti Abella," imbuh lelaki paruh baya tersebut.     

Rian mengangguk dengan ekor mata yang mengarah pada wajah Abella yang masih tertunduk dengan semburat merah merona di sana.     

Entah apa yang sedang dipikirkan wanita itu yang pasti Rian justru semakin gemas dengan apa yang dilakukan Abella saat ini.     

Namun, berbeda dengan pemandangan yang dilihat Hernandes. Ia pikir putrinya justru tidak bahagian dengan pernikahan ini, meski pada awalnya Abella-lah yang menginginkan pernikahan ini terjadi.     

"Kau kenapa, Sayang? Apa maknanya tidak enak ... atau justru tidurmu yang terasa sesak? Apa perlu Papa mengganti tempat tidurmu?"     

Pertanyaan Hernandes sontak membuat Rian tersedak saat meminum air putih. Jika tempat tidur itu diganti oleh Hernandes maka jarak di antara mereka pasti akan lebih jauh lagi dari sekarang.     

Abella memulai mengangkat kepala, mengarahkan pandangan ke arah Hernandes yang sedang meyanggah dagu dengan kedua punggung tangan yang disatukan.     

"Bole—"     

"Tidak perlu, Pa. Bagaimana kalau warna kamarnya saja yang diubah. Sepertinya istriku sudah tidak lagi menyukai warna pink di kamarnya. Benar kan, Nona?" tanggap Rian cepat. Ia tahu apa yang akan dikatakan oleh Abella.     

Dan sebelum itu terjadi, Rian harus segera mencegahnya. Bisa gila dirinya jika tidak bisa menghirup harum wangi dari tubuh wanita cantik itu.     

Hernandes mengerutkan kening. Ia tidaj pernah mendengar Abella mengatakan bosan dengan warna tersebut. Bahkan dulu, gadis kecilnya menginginkan seluruh sudut rumah ini diubah menjadi warna manis tersebut.     

"Apa itu benar? Abella tidak pernah menginginkan itu sebelumnya. Atau kau yang tak suka dengan warna itu?"     

"Jika, itu benar. Papa akan menyiapkan ruang kamar untukmu. Kau bisa datang di kamar Abella saat putriku sudah siap saja. Selebihnya, kau bisa pergunakan fasilitas rumah ini," sambung Hernandes.     

Rian tidak tahu harus mengatakan apa. Karena Abella juga tidak membelanya di hadapan Hernandes.     

"Aku masih ingin berada di kamar Abella, Pa. Warna itu terlihat manis, aku tidak mempermasalahkan hal tersebut." Rian menoleh di saat ia juga melihat pergerakkan kepala Abella, menatap dirinya penuh arti.     

"Benar 'kan, Sayang?" tambah lelaki tampan itu lagi yang membuat kedua alis Abella berkerut.     

"Apa benar Abella? Papa tidak akan membiarkan lelaki itu menyakitimu." Hernandes menunjuk ke arah wajah Rian. Ia takut jika Rian sedang mengancam Abella dengan menggunkan kode mata itu.     

Hernandes sudah merasa ada yang aneh di antara mereka berdua yang selalu menggunakan pandangan mata untuk saling berkomunikasi. Padahal, Abella tidak pernah melakukan hal tersebut selama ini.     

Merasa namanya disebut, sang empu langsung mengalihkan pandangannya kembali. Rian benar-benar membuat Abella dalam situasi yang sulit saat ini. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu, tapi papanya terus saja mendesak.     

Abella menggeleng.     

"Tuan Rian tidak menyakitiku, Pa. Aku akan mengatakan kepada Papa, jika itu terjadi," balas Abella yang akhirnya membuat Hernandes tenang.     

Ia tidak akan pernah melepaskan Rian jika dia berani menyakiti putri kesayangannya. Meski, Abella memiliki kekurangan dalam tubuhnya. Tapi, Hernandes begitu menyayangi putrinya. Abella adalah oksigen dan nyawa yang harus berada di dalam hidupnya.     

"Baiklah, ingat peringatanku Rian."     

Kalimat itu mengakhiri percakapan mereka di siang hari. Akhirnya Abella kembali ke kamarnya lagi dengan diantar Rian. Sebenarnya ia tidak meminta lelaki itu yang mengantar dirinya. Ia ingin Venni saja. Tapi, Rian terlalu cepat tanggap untuk menggegam dorongan kursi rodanya.     

Rian terkekeh saat menurunkan pandangan ke arah Abella. Wajah itu menegaskan kedua alis hitam legamnya yang terlihat menukik tajam. Beruntung Abella tidak bisa berjalan, Rian tidak tahu bagaimana jika wanita itu berjalan dengan terpincang dan seketika akan membuat dirinya dibunuh Hernandes.     

"Sudah sampai di sini saja. Kau bisa pergi dari sini," ujar Abella saat mendapati kursi rodanya telah berada di ambang pintu.     

Rian menghentikan laju dorongannya. Tapi, tidak mengatakan apa pun pada Abella. Dan wanita itu pikir jika Rian sudah pergi dari belakangnya. Abella berniat menjalankan laju rodanya dengan manual.     

Namun, tiba-tiba roda itu tak bisa bergerak. Sehingga membuat Abella memutar kepala. Ia merasa ada sesuatu yang menahan dari belakang.     

"Aku sudah menolak kamar itu. Jadi, aku tetap tidur di kamar pinkmu ini, Nona. Mari masuk!"     

Abella ternganga mendengar perkataan Rian. Ia tidak menyangka sosok yang ia sukai untuk pertama kali memnpunyai sifat yang begitu mengesalkan seperti itu.     

"Heei, tunggu! Jangan sembarangan masuk ke kaamarku!"     

***     

Sudah hari ke lima Delon menjalani perawatan begitu intensif begitu pula dengan Antoni yang berbeda ruangan dengan Delon. Di sana sudah ada Regan yang selalu menunggu setiap malam seraya mengerjakan beberapa pekerjaan yang tertunda.     

Kedua mata Delon sudah terjaga sejak lima menit lalu. Sudah selama ini ia berbaring tapi, tubuhnya masih saja terasa begitu sakit. Apalagi luka cambuk yang dilakukan lelaki gila itu.     

"Lo udah lapar? Apa gue bilang ke suster dulu?" tanya Regan yang sudah menutup laptop dan meletakkan di atas meja kaca kecil di depannya.     

Kini tubuh kekar itu telah bangkit dari duduknya, kedua lengan kemeja yang tergulung dan kaca mata yang bertengger di sana membuat Delon tidak enak hati telah melimpahkan pekerjaan di dua perusahaan kepada Regan.     

Beruntung sekarang Rachel juga ikut membantu dirinya. Jadi, ia tak harus meletakkan beban berat di baju lelaki berkaca mata tersebut.     

"Tidak perlu. Aku masih kenyang."     

"Bagaimana keadaaan Antoni sekarang?" Lanjut Delon yang memang sedang mencemaskan keadaan sahabatnya tersebut.     

Regan sudah berada di samping brankar Delon, tangannya terulur untuk mengambil buah jeruk satu. Dengan mengupas kulit jeruk tersebut, dia berkata, "Masih nggak sadarkan diri. Dia baru aja selesai operasi di bagian kulitnya yang terbakar."     

Delon benar-benar merasa bersalah saat mendengar berita tersebut. Seharusnya besi panas itu mengenai dirinya. Tapi, justru mengenai Antoni.     

"Lalu bagaimana keadaan Anita?"     

Regan mengulas senyum masam. Ia bingung harus mengatakan seperti apa.     

"Dia ...."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.