HE ISN'T MYBROTHER

Malam Pertama Jadi?



Malam Pertama Jadi?

0Pertanyaan Sellyn membuat kepala Rachel memutar. Kenapa bisa pertanyaan itu terlontar dari mulut sahabatnya. Jika mengingat berbagai pertolongan dari Antoni telah membuat perusahaan Regan kembali stabil karena investasi besar-besaran dari Antoni.     
0

"Itu namanya sahabat. Meski harus mati pun kak Delon rela. Seluruh perbuatan yang dilakukan tuan Antoni terdahulu itu di luar kesadarannya sebagai lelaki yang membela kekasihnya," sahut Rachel sedikit menekan di setiap kalimat yang terucap.     

Sellyn yang masih tidak paham, ia justru melipat kedua tangannya di depan dada. Kebaikan dan kejahatan yang dilakukan Antoni, bahkan lebih banyak kejahatannya. Maka dari itu Sellyn tidak setuju dengan apa yang dikatakan Rachel.     

"Sahabat bukan orang yang akan menembak sahabatnya sendiri. Gue nggak terlalu suka sama tuan Antoni, Chel. Kenapa udah tinggal di sana masih aja pulang ke sini." Ulang pertanyaan Sellyn.     

Kehidupan yang super mewah dengan harta yang melimpah, sungguh membuat iri siapa pun. Dan seharusnya Antoni bisa menangani seluruh masalah dengan bantuan anak buahnya bukan?     

"Nggak segampang itu, Sell. Lo tahu, kalau gue ada di posisi kak Delon. Dan lo di posisi tuan Antoni, gue juga bakal lakuin itu. Uang dan segalanya nggak akan berarti apa-apa," jawab Rachel untuk kesekian kali.     

Setelah mendengar penjelasan Rachel hati Sellyn tercelos. Ia benar-benar tidak menyangka Rachel bisa mengatakan itu tanpa beban, meski ia tahu Rachel tak akan membiarkan dirinya terluka jika terjadi sesuatu.     

"Aaa... lo 'so sweet' banget." Sellyn langsung memeluk tubuh Rachel dari samping dengan erat. Kekesalan yang ia rasakan tadi menguar seketika mendapati sikap Sellyn yang selalu saja membuat mood Rachel kembali baik.     

"Gue emang manis ... semua orang juga udah pada tahu," sela Rachel yang terkekeh dibarengi tawa dari Sellyn.     

Tapi, mendadak pelukan Sellyn melemah ia menyandarkan dagu di atas bahu Rachel. "Lo kangen Monica nggak sih, Chel? Dia kenapa sih jarang banget ngubungin kita. Apalagi mami Sarah ...."     

Perkataan Sellyn kembali membuat otak Rachel berpikir. Memang sudah selama ini Monica tak mengabari dirinya ataupun Delon. Mendengar mami Sarah juga disebut, ia semakin curiga dengan keberadaan Monica dan Nino sekarang.     

"Apa nggak pernah bilang dia mau ke mana?"     

Sellyn terdiam, ia mencoba mengingat apa pernah Monica mengatakan itu. Karena dulu Monica hanya datang satu dua kali saja untuk menjenguk mami Sarah.     

Sellyn kembali menggeleng. "Nggak pernah. Gue cuma inget dia dan Nino mau nerusin perusahaan keluarga Monica. Nggak tahu kenapa gue jadi nggak suka sama sifat Monica," celotehnya.     

Rachel mengusap lengan tangan sahabatnya. Ia tahu pasti mami Sarah juga merasa sedih karena memikirkan keberadaan Nino yang entah pergi ke mana.     

"Ini gara-gara gue ... coba kalau Nino ngg—"     

"Stopp! Nggak usah dilanjut. Itu bukan salah lo. Itu semua takdir, terkadang gue juga nggak paham. Tapi, itu juga resiko pekerjaan yang dipilih Nino. Dan Monica harusnya ngerti," tanggap Sellyn dengan cepat.     

Ruangan tamu itu tiba-tiba berubah suasana menjadi haru. Rachel tak kuasa menahan linangan air matanya untuk tidak turun. Jika ia bisa memutar waktu, ia juga tidak ingin persahabatannya dengan Monica hancur seperti ini.     

"Makasih, Sell."     

Di tempat lain, ada dua pasangan yang tak sadar belum bisa terpisah satu sama lain. Kedua tangan mereka saling memeluk tanpa rasa canggung untuk semakin mengenggankan mentari terbit dan mengacaukan pagi manis mereka berdua.     

"Abella!" Suara panggilan itu membuat kening Rian berkerut dengan kelopak mata terbuka tipis. Mendapati seluruh ruang kamar masih terlihat begitu gelap. Sepertinya mentari pun sulit mengganggu pasangan baru tersebut.     

Kepala itu tertunduk saat melihat kepala seseorang berada di dalam dada bidang yang terbuka, wajah kecil itu semakin mengusap mencari kehangatan di sana membuat Rian mengulas senyum simpul tampannya.     

"Nonaa, apa kamu masih ingin memelukku?" bisik Rian lirih dengan tangan yang masih mengarahkan tubuh itu pada tubuhnya.     

Abella hanya menggeram, khas orang tidur yang tidak mau diganggu. Bahkan napas halus itu bisa Rian rasakan membelai bulu-bulu halus dada bidangnya.     

Tiba-tiba Rian mengingat kejadian tadi malam saat tangannya begitu berlebihan menerkam bukit milik Abella yang membuatnya menggila di kamar mandi. Ia bahkan melupakan jika Abella adalah wanita yang memiliki penyakit bawaan yang kapan saja bisa meninggal.     

"Kamu sangat cantik Nona," puji Rian saat sudah membelai kulit punggung istrinya di balik baju tidur.     

Rian sangat menyukai tubuh Abella yang begitu halus bak sebuah kain sutra. Apalagi wajah yang tak ada cacat apa pun.     

Seharusnya akan banyak lelaki yang akan tertarik wanita cantik itu. Tapi, semua mata lelaki termasuk dirinya, selalu memandang hal yang nampak pantulan matanya.     

Kaki yang tidak bisa berjalan dengan semestinya, dan harus mengandalkan kursi roda. Padahal kelebihan Abella jauh lebih besar dari kekurangan yang dia miliki.     

Termasuk mengubah dendam dan ambisi Rian menjadi sebuah keharusan menjaga wanita cantik itu ke mana pun dia pergi.     

Dengan sekali sentuhan pengait bra yang dipakai Abella sudah terlepas. Rian sedikit melirik ke arah pintu. Suara panggilan yang ia yakini berasal dari Hernandes itu sudah menghilang, mungkin lelaki tua tersebut berpikir jika putrinya pasti kelelahan menghadapi pesta yang tak pernah dihadirinya.     

"Kamu masih tidur 'kan Nona? Aku tidak akan memperkosamu, tenang saja. Kita hanya melakukan pemanasan saja, karena tadi malam kau sudah membuat tubuhku memanas karena kau menolakku," imbuhnya sekali lagi dan masih tidak ada respon dari wanita antik itu.     

Tangan Rian menyanggah kepala Abella di lengan tangan besarnya. Wajah cantik itu itu tak lupa ia belai dengan lembut seraya memberikan kecupan selamat pagi di kening putihnya.     

Rian ingin menyentuh permukaan bibir merah kecil yang begitu menggiurkan. Tapi, tiba-tiba ia urungkan karena takut jika Abella akan terbangun dan rencana nakalnya berubah gagal kembali.     

"Tanpa rambut pun, kamu tetap cantik. Maafkan aku yang dulu, Nona."     

Tangan itu telah perlahan masuk kembali ke dalam baju tidur yang dipakai Abella. Baju tidur yang begitu tebal masih saja membuat Rian meneguk ludahnya berkali-kali.     

Kini tatapan mata Rian telah berkabut sempuran, benda yang ia inginkan telah ia miliki digenggaman. Ingin rasanya ia memberikan sentuhan lebih di sana dengan bibirnya. Mengingat waniat itu sudah sah menjadi istri Rian.     

Abella hanya melenguh di sela kelopak matanya yang masih terpejam. Tubuh yang menggeliat karena geli efek remasan yang diberikan Rian juga tak berhasil membuka mata yang begitu lelah.     

"Bagaimana dengan kontrak yang kita sepakati jika aku sudah seperti ini? Kamu benar-benar membuatku gila, Abella. Aku sudah tidak tahan lagi untuk tidak menciummu. Maaf," ujar Rian yang langsung meraup bibir manis itu yang terbuka saat desahan keluar membuat tubuh Rian terbakar.     

Abella yang terkejut langsumg membuka mata dan mencoba mendorong tubuh kekar Rian.     

'Pagi ini kau harus memadamkan apiku, Nona!'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.