HE ISN'T MYBROTHER

Apa Kau Ingin Melihat?



Apa Kau Ingin Melihat?

0Regan bingung, dia melajukan mobilnya kembali ke jalan di mana sebelum rumah itu terlalui. Beberapa mobil anak buah Regan sudah terparkir rapi di belakang.     
0

Regan masih meneliti dalam rumah kelam itu melalui kamera terdapat di jam tangan yang digunakan Delon saat ini. Dan dihubungkan Regan dengan laptopnya.     

"Rumah itu begitu aneh. Di Negara semaju ini masih ada yang membangun rumah seperti itu, apa kalian juga sepandapat denganku?" celoteh Regan pada kelima anak buahnya.     

Mereka mengangguk setuju. Meski mereka sudah pernah bersama dengan Delon melakukan berbagai tugas, hanya rumah inilah yang seperti tak berpenghuni meski mereka telah diceritakan Regan bahwa ada beberapa orang yang telah mengepung Delon di sana.     

"Sangat mengerikan Pak Regan. Biasanya rumah seperti ini digunakan untuk pembunuhan ilegal," sahut salah satu dari mereka dan membuat lelaki berkaca mata itu mengalihkan pandangan, menatap penuh arti.     

Regan pernah mendengar hal tersebut. Tapi, ia tidak pernah menemukan rumah yang disebutkan anak buahnya. Karena tugas Regan selama ini hanya seputar bisnis dan pengkhianatan.     

"Lalu bagaimana menembus ini, Pak? Apa kita akan menggunakan jet pribadi?"     

Pertanyaan itu adalah opsi yang ia tawarkan pada Delon tadi. Tapi, Delon mengatakan untuk menunggu instruksi lelaki itu terlebih dulu atau di saat dirinya tidak memberikan sinyal bahaya.     

Maka opsi tersebut bisa digunakan.     

"Tunggu, kita tunggu perintah Boss Delon terlebih dulu. Dia lebih tahu bagaimana kondisi di sana," balasnya yang diangguki oleh beberapa di antara mereka.     

Regan dan anak buahnya kembali mengarahkan pa Dangan fokus di sana. Delon telah masuk ke dalam sebuah ruangan yang hanya di terangi oleh cahaya temaram. Tembok hitam menjadi dominan di sana yang membuat suasa semakin menyeramkan.     

Delon melangkah satu persatu anak tangga dengan hati-hati. Tangannya masih menyentuh dinding itu, tapi saat ia tak sengaja menekan sebuah tombol yang seperti gundukkan kasar semen mendadak tubuhnya terjatuh dengan begitu cepat.     

"Aaagggghh!"     

Pusaran sebuah terowongan hitam membuat kedua mata Delon terpaksa memejam hingga kamera yang menghubungkan dirinya dan Regan tidak bisa lagi memberikan gambar yang sempurna.     

Gambar di laptop Regan seperti rumpunan semut dalam satu tempat.     

"Ada apa dengan Delon? Kenapa gambarannya jadi buram seperti ini?" Monolog Regan saat laptopnya telah dia otak otik, tapi hasilnya masih tetap sama.     

"Ada apa, Pak Regan? Apa sinyal di sana sangat buruk? Mengingat betapa gelapnya ruang besar itu," ucap.salah satu dari mereka yang merasa kemungkinan itu bisa saja terjadi.     

Sinyal yang begitu kuat di Negara maju tersebut tiba-tiba terhenti fursingsi karena adanya pembangunan sebuah bangunan terlarang tersebut.     

Suara mengaduh dari kelima anak buah Regan membuat lelaki itu mengencangkan kaca matanya yang menurun.     

"Kalian bodoh!"     

"Siapa yang mengajari kalian seperti ini? Apa kalian lihat ini area hutan atau sebuah pedesaan yang begitu dalam hingga sinyal pun tidak bisa masuk? Kalian memalukan sekali." Lanjut Regan dengan satu tarikan saja. Ia mencoba marah-marah dengan keren.     

Ia tidak mau memperlihatkan dirinya juga sempat berpikiran seperti anak buahnya. Bisa jatuh harga diri Regan jika hal itu terjadi.     

"Lalu, apa Pak Regan?"     

"Aku juga tidak tahu," jawab Regan tanpa rasa berdosanya, sontak membuat mereka semua berteriak lemah.     

Kedua manik hitam legam Regan yang teraling-aling kaca mata memicing ke arah kelima anak buahnya yamg sudah lancang meneriakinya.     

"Heei, kalian mau tidak dibayar bulan ini? Beraninya mengataiku seperti itu. Aku jauh lebih tampan dan pintar dari kalian semua. Jadi, jangan pernah menertawakanku! Paham!" tuntut Regan menekan kalimatnya yang selalu menjunjung kepercayaan diri adalah nomor satu.     

"Paham, Pak Regan ..." jawab mereka secara bersamaan dengan kepala tertunduk. Tapi, beberapa di antara mereka mencuri lirik pada temannya dengan mengulum tawa.     

Di sisi lain Delon sedang mengusap kepalanya yang terasa begitu sakit mendapati tubuhnya jatuh dengan begitu keras di atas lantai.     

Kedua mata itu terbuka dengan perlahan, sedikit menyipit mengamati sebuah ruangan yang kembali asing di kedua matanya. Tapi, seketika ingatannya kembali teringat pada jam tangan yang menghubungkan dirinya dengan Delon.     

Lelaki tampan itu mengangkat tangan kanannya, memeriksa berbagai tombol untuk mengaktifkan kembali jam tangannya. Tapi, benda itu masih tetap menunjukkan warna layar yang menggelap dengan sinyal merah yang berkedip.     

"Brengsek, aku harus nunggu satu jam lagi untuk bisa terhubung dengan Delon!" umpat Delon saat mengingat pesan sang perancamg atas benturan yang memungkinkan kemacetan sistem.     

Delon membuang begitu saja tangannya. Ia kembali melihat sebuah dinding kaca di depannya, seperti sebuah ruangan khusus.     

Kedua kaki panjang itu mulai bangkit dari duduknya dengan sedikit merintih kesakitan karena masih terasa begitu nyeri di bagian tubuh belakangnya.     

Delon berjalan terpincang saat mulai melangkah dengan menyeret ke arah dinding kaca yang melengkung tersebut. Kedua bola matanya kembali dibuat membulat lebar saat melihat sebuah lelaki yang diikat di sebuah kursi dengan mata tertutup.     

"Apakah itu Antoni? Bagaimana bisa dia berada di sana. Sedang dinding ini ...." Delon memukul-mukulkan kepalan tangannya begitu kencang berulang kali, tapi tetap tidak biasa membuat lapisan dinding itu bergetar apalagi terpecah.     

Delon menggeleng tak percaya jika sebuah dinding kaca pun tak bisa ia pecahkan. Ia kembali berjalan mundur dengan napas terengahnya.     

Satu tarikan napas langsung mengiringi langkah kaki panjang itu yang telah berlari dengan kaki kanan yang terjulur ke udara mencoba menendang dinding tersebut. Tapi, lagi-lagi lelaki tampan itu kembali menemukan kegagalan untuk kedua kalinya.     

Hanya hentakkan sepatu pantofelnya yang terdengar begitu nyaring di telinga.     

"Dinding brengsek! Sebenarnya kau terbuat dari apa hah?!" bentak Delon dengan peluh yang mulai berjatuhan di kening merambat di kedua rahang tegasnya.     

DUGH!     

DUGH!     

DuGH!     

Gedoran pada dinding kaca itu hanya bisa terdengar oleh telinga Delon saja. Tanpa bisa terdengar seseorang yang berada di bawah sana. Namun, ia tidak mau menyerah sampai ia bisa memastikan jika itu memang Antoni.     

Suara tawa begitu terdengar begitu jelas sehingga membuat Delon memundurkan dirinya dari dinding itu.     

"Percuma, Delon! Kau bukanlah tandingan dinding yang telah kubuat secara khusus. Apa kau lupa, sekarang kau berada di mana?"     

"Jangan lupakan Negara yang yang kau pijaki ini adalah Negara yang bisa membuat tiruan dari tubuhmu itu juga," sambungnya membuat Delon berdecak tak peduli.     

Selagi masih mempunyai otak untuk memikirkan secara logis, seorang robot pun tak akan bisa melampaui dirinya.     

"Apa peduli? Aku bahkan lebih ingin lebih ingin menciptakan tiruanmu untuk membunuhmu juga!"     

Delon memutar kepala ke seluruh penjuru arah. Dan tidak masih tidak siapa pun kecuali dirinya di sini. "Sekarang katakan padaku ... apa yang berada di ruangan itu adalah Antoni?"     

Sekali lagi tawa menyeramkan terdengar begitu menyakitkan di gendang telinga. Tapi, Delon tak peduli ia sudah bertekadbawa Antoni pulang.     

"Apa kau ingin melihat wajahnya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.