HE ISN'T MYBROTHER

Semakin Dibuat Penasaran



Semakin Dibuat Penasaran

0Tepuk tangan riuh mengiringi Rian saat menyematkan cincin di jemari Abella. Senyum penuh ditunjukkan tanpa adanya beban. Sedangkan Abella nampak ragu saat melihat cincinnya untuk Rian masih berada di tempatnya.     
0

Suara teriakan bahagia perlahan menyurut. Tepuk tangan yang terdengar begitu antusias berubah hening menunggu pengantin wanita itu menyematkan cincin di jari lelaki yang berada di depan Abella.     

Para tamu saling berbisik mendapati Abella seperti seorang pengantin yang dipaksa menikah. Berbagai pembicaraan tidak enak mulai membuat ruangan itu bising.     

"Istri saya terlalu bahagia hari ini ... maka dari itu dia sedikit gugup," jelas Rian yang langsung mendukkan tubuh di depan kursi roda Abella.     

"Kita sudah setuju sama lain. Jangan permalukan papamu. Cepat kita lakukan selesaikan acara hari ini," lirih Rian dengan nada berbisik.     

Abella yang mendengar perkataan Rian bergerak mengambil cincin itu. Satu tangan mengambil tangan lelaki tampan di depannya. "Terima kasih," ucapnya dibarengi dengan masuknya benda pengikat janji tersebut.     

Salah satu MC memacing bertepuk tangan dan tidak lama seluruh tamu mengikuti dengan senyum kembali mengembang. Mereka semua percaya dengan apa yang dikatakan Rian bahwa Abella hanya sedang malu saja.     

Rian mengambil tangan Bella, lalu memberi kecupan di sana.     

Denting piano mengalunkan nada romantis membuat seluruh orang terbawa dalam suasana haru dan membahagiakan saat ini. Senyum Abella tergores di saat kepalanya mendongak ke arah lelaki paruh baya yang sedang menahan air matanya agar tidak jatuh.     

"Kamu sudah menjadi wanita sekarang, Sayang. Papa selalu menganggapmu sebagai gadis kecil yang menggemaskan. Tapi, sekarang kamu sudah memiliki suami," ujar Hernandes mengusap lembut pucuk kepala Abella.     

Abella mengangguk dengan senyum yang masih begitu lebar di wajah cantiknya. Tapi, saat mulutnya mulai terbuka. Tiba-tiba kepala wanita cantik itu begitu sakit. Kerut di kening Abella menebal, tangannya menggegam erat dan salah satunya menggegam tangan Rian.     

Hernandes menaikkan satu alis. Ia tidak buta dengan ekspresi wajah putrinya yang sepwrti menahan kesakitan.     

"Kamu kelelahan, Sayang?" tanya lelaki paruh baya itu yang sudah mendudukkan tubuh di samping kursi roda Abella.     

Abella mencoba untuk menggerakkan kepala. Tapi, sungguh kepalanya begitu sakit. Ia tidak bisa untuk mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Hanya anggukkanlah yang bisa ia berikan untuk mengobati kecemasan lelaki paruh baya tersebut.     

Hernandes paham. Ia mengkode Rian untuk mendorong kursi roda putrinya ke arah kamar pengantin yang telah disediakan.     

Sedangkan Mc sudah dibisikkan oleh asisten pribadi Hernandes untuk mengatakan jika Abella sedang kelelahan, mengingat acara sakral ini adalah hari pertama bagi wanita cantik itu.     

"Selamat sore semuaa! Para tamu tidak perlu merasa cemas, saya telah mendapatkan informasi mengenai keadaan pengantin wanita yang hanya sedang kelelahan. Dan acara penjamuan sudah dimulai ... selamat menikmati hidangan kami!"     

"Jika ada yang ingin berdansa, bisa langsung di lantai tengah." Lanjutnya.     

Musik kembali mengayun dengan indah, menggoda setiap telinga yang mendengar. Menarik beberapa pasangan yang terlihat begitu serasi berdansa di tengah lantai dansa.     

Sedangkan di sisi lain. Rian telah membawa Abella untuk masuk ke dalam kamar mereka, lebih tepatnya kamar Abelal sendiri.     

Abella menolak seluruh dokter yang ditawarkan Hernandes. Ia tidak mau sampai papanya tahu penyakit yang sedang menyadarkan Abella jika hidupnya tak akan lama. Maka skenario kehidupan di dalam kontrak harus bisa lakukan cepat.     

"A-apa sudah kau kuci pintunya?" tanya Abella yang diangguki Rian.     

"Aku bantu lepas rambut palsumu. Beberapa perhiasan di kepalamu pasti telah membuat kepalamu menjadi sakit, " ujar Rian yang sama sekali tidak dijawab Abella, tapi tidak ditolak wanita cantik tersebut.     

Abella masih memegang kepalanya yang hampir terasa ingin terpecah. Perutnya terasa mual dan hampir saja ia tidak bisa menahan tubuhnya lebih lama lagi jika Abella masih berada di sana.     

"Tolong ambilkan obatku di bawah kolong tempat tidur. Aku menyembunyikan di sana," pinta wanita cantik itu.     

Abella merasa bersalah, karena di hari pertama mereka menjadi seorang suami istri justru membuat lelaki itu seperti penjaganya yang harus memberikan keperluan Abella.     

"Sebenarnya Nona sakit apa? Kemarin Nona hanya mengatakan jika Nona sedang sakit dan sebentar lagi akan tiada," ucap Rian sesaat mengulurkan obat Abella dan memberikan air minum.     

Abella menerima dengan cepat, beberapa pil obat itu telah ditelan dengan tergesa. Bahkan air putih yang berada di gelas juga sudah tandas.     

Sedangkan tangan Rian dengan lembut melepaskan mahkota yang paling dijaga oleh para wanita. Dan sekarang ia justru telah diperlihat seorang wanita cantik dengan kepala tanpa sehelai rambut tertanam di sana.     

Seperti saat di taman. Namun, ia lebih menyukai Abella tanpa riasan di wajah cantik itu.     

"Aku mempunyai kanker otak. Dan lebih jelasnya sudah kukatakan padamu dengan nama berbedamu kemarin," jawab Abella yang perlahan memaksa tangan Rian untuk melepaskan genggaman pada lengan kursi rodanya.     

"Aku tidak perlu dikasihani. Apalagi itu darimu."     

***     

Delon terperangah saat mendapati suara sendal yang menyentuh satu persatu ubin lantai rumah kelam itu. Beberapa anak buah mulai berdatangan melingkar Delon di belakang. Dan lelaki misterius yang mungkin saja adalah pemilik rumah ini akan mulai terlihat wajahnya.     

Delon sudah tidak sabar. Ingin rasanya kaki itu melangkah dan menarik tangannya untuk bergerak di antara bias cahaya lampu temaram di ruang tamu tersebut.     

"Apa kabar Delon ... akhirnya kita bisa bertemu lagi." Perkataan itu membuat Delon semakin menegaskan sorot matanya untuk tidak menghilangkan momen mengamati penculik Rian.     

"Kau jauh-jauh ke sini hanya ingin mengalamatkan mantan sahabatnya yang sudah mengkhianatimu?" imbuhnya sekali lagi.     

Tapi, sayangnya lelaki misterius itu tidak lagi meneruskan laju kakinya. Ia berhenti tepat di antara cahaya tak menyorot seluruh tubuhnya, bahkan pada wajah yang paling ingin dilihat Delon.     

"Aku bukan pendedam. Aku hanya ingin membawa dia kembali menikmati hidup tenang. Jadi, siapa pun kau ... biarkan Antoni untuk selamat," mohon Delon yang berharap jika permintaannya akan terwujud.     

"Tidak bisa." Suara tawa cekikan menggema di seluruh sudut ruangan.     

Apa pun yang telah berada di tangannya tak akan pernah ia lepas meski nyawa adalah taruhannya.     

Hidup.telah berputar, jika bukan adiknya ... maka dirinyalah yang akan memberikan balasan.     

"Bodoh! Apa aku peduli?" Delon menyanggah sofa besar dengam kedua tangan yang mengahalangi antara dirinya dan lelaki itu. Kaki panjangnya menendang keras tubuh lelaki misterius itu hingga terdengar tubuh terjatuh.     

"Heei, kau mau ke aman!?" teriak salah satu anak lelaki misteterius itu. Tapi, Delon tak mengindahkan. Ia tetap saja menaikki anak tangga dengan cepat seluruh ruangan yang berada di lantai itu.     

Seluruh anak buah lelaki misterius itu ingin mengejar Delon. Tapi, suara penahanan gerak tubuh mereka begitu jelas juga terdengar. Dan seakan mengisyaratkan tidak ada bantahan.     

"Biarkan saja dia mencari. Jangan pernah ada yang mengangganggu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.