HE ISN'T MYBROTHER

Aku Ingin Mengundangmu ke Pernikahanku



Aku Ingin Mengundangmu ke Pernikahanku

0"Bukan aku yang membuat. Kamu jangan asal memuji," kilah Abella.     
0

Sedangkan Hernandes mengungkapkan ekspresi yang berbeda dari sang putri. Kening tua itu berkerut saat mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Abella.     

"Kenapa kamu tidak mau mengakui karyamu yang memang menakjubkan, Sayang. Bukankah Venni sudah sangat dekatmu. Seharusnya kamu jujur pun tak masalah," ungkap lelaki paruh baya itu.     

Abella hanya menghela napas malas. Ia tidak suka membahas gaun pernikahan yang ia design hanya untuk dua cinta bersatu. Untuk apa cinta menggunakan rancangan gaunnya jika hanya dirinya yang mencintai Rian?     

"Pa, aku mau pergi dengan Venni."     

"Kamu harus di rumah, Sayang. Lihat semua orang sibuk sedang menata persiapan pernikahanmu. Mereka juga akan mendesign tampilan kamar pengantin sesuai dengan kesukaa—"     

"Papa, aku pergi dulu yaa! Aku serahkan semua pada Papa! Seleraku adalah selera papa!" teriak Abella seraya melambai tangan di saat kursi rodanya sudah berjalan meninggalkan Hernandes dan Venni yang tercengang tak percaya.     

Venni yang melihat Nonanya sudah semakin menjauh, ia pun juga bergegas untuk segera berancang-ancang berlari.     

"Tuan Hernandes, saya permisi untuk mengejar Nona Abella ...."     

Tidak sampai menunggu jawaban persetujuan itu terlontar dari Tuan besarnya. Venni sudah berlari kencang seraya berteriak nama 'Abella.' Hernandes menggeleng kepala saat mendapati anak dan pelayannya membuat kepalanya berdenyut.     

"Pantas sekali jika Abella tidak mau mengganti pelayan," gumam lelaki paruh baya tersebut.     

Abella tertawa terbahak saat mendapati Venni menghembuskan napas berulang kali dengan kedua tangan bertumpu pada kedua lutut saat dirinya sudah sampai di dekat mobil dan dua anak buah papanya juga sudah akan mengangkat tubuhnya ke dalam.     

"Tarik napas Venni. Kamu seperti sedang mengejar maling. Apa selelah itu?"     

"Berikan aku air minum." Lanjut Abella menoleh ke arah dua pengawal yang selu menjaga dirinya.     

Salah satu dari dua lelaki berbadan kekar itu dengan cekatan langsung memberikan apa yang diperintahkan Nona mereka.     

"Ini, Nona." Salah satu dari mereka mengulurkan botol minum kepada Abella. Kemudian wanita cantik itu menerima, lalu menyerahkan kepada Venni.     

"Minumlah, jangan terburu-buru. Kamu membuatku bersalah, Ven," ungkap Abella yang benar-benar tak tega melihat sahabatnya hampir sesak napas gara-gara mengejar dirinya.     

Setelah meneguk minuman yang diberikan Abella hampir setengah botol tandas. Senyum sumringah muncul dari bibir Venni.     

"Sekalian olah raga, Non. Ayo kalau mau berangkat sekarang. Biar aku yang bantu, Nona," kata Venni yang diangguki Abella dengan senyum simpul tergores di sana.     

Di pinggaran jalan dekat dengan perumahan megah Hernandes di sana sudah ada sebuah mobil yang sedang memantau segala gerak-gerik yang dilakukan Abella lewat kaca mata hitamnya.     

"Tuan Rian, apakah Anda tidak mau masuk? Setidaknya Anda harus membangun citra baik dengan nona Abella dan tuan Hernandes mengingat pernikahan Anda kurang menghitung hari," ujarnya pada lelaki yang masih memperhatikan senyum cerah Abella dari balik pintu mobilnya.     

Rian mengendurkan kaca matanya hingga sampai di pertengahan tulang hidung mancung. "Untuk apa? Mereka juga sudah tahu tujuanku menikahi Abella. Lalu untuk apa aku mendekati mereka?" tanggapnya.     

Zack terdiam. Apa yang dikatakan tuannya memang benar. Tapi, setidaknya mereka melupakan ambisi mereka masing-masing untuk mendapatkan keskralan dari pernikahan tersebut.     

"Ikuti dia mau ke mana," perintah Rian yang membuat Zack memutar kepala seraya mengerutkan kening.     

"Tapi, kita sudah ditunggu nyonya Marina, Tuan Rian. Anda harus mempersiapkan jas pernikahan Anda," ujar Zack dengan nada takut-takut. Karena ia tahu tuannya telah melenceng dari rencananya sendiri.     

Rian mendesah kesal, selalu saja dirinya gagal mengikuti ke mana Abella pergi.     

"Jalankan mobilnya. Cepat!"     

***     

Di rumah Rachel, perempuan cantik itu sedang mengalihkan pikirannya tentang Delon terhadap beberapa tanaman bunga yang sudah ia tanam setahun yang lalu.     

Bunga-bunga itu mekar dengan begitu cantik karena sentuhan Rachel yang begitu lembut dan telaten. Hari ini adalah hari libur, maka dari itu ia akan menghabiskan seluruh harinya untuk merawat tanamannya.     

"Ini juga tanaman Mama. Rachel pasti akan rawat sampai keluar dari tahanan," gumamnya seraya mengulas senyum sedikit mencodongkan tubuh untuk menghirup harum bunga tersebut.     

Tidak berapa lama Rachel dikejutkan dengan suara kedatangan pelayannya. Kursi rodanya bahkan hampir sedikit bergoyang karena tidak bisa menyeimbangkan beban tubuhnya.     

"Nyonya Rachel ... ada yang ingin bertemu."     

Rachel memutar kepala dengan tangan menyentuh dadanya yang berdetak kencang. "Astaga, Mbak. Aku hampir terjatuh karena terkejut ...."     

"Siapa yang ingin bertemu denganku? Sellyn?" sambungnya membuat pelayan itu menggeleng dengan rasa bersalahnya.     

"Seorang lelaki, Nyonya. Katanya namanya Aster ... wajahnya ganteng, Nyonya. Mbak pernah lihat di majalah, Nyonya," jelasnya membuat Rachel melepaskan kedua sarung tangannya yang berbahan karet.     

Kening Rachel berkerut tebal, karena ia tidak menyangka jika Aster akan datang menemui dirinya setelah sekian lama mereka tidak saling menghubungi.     

"Suruh masuk aja, Mbak. Nanti Mbak juga bisa minta foto ... dia memang artis," kata Rachel dengan terkikik melihat ekspresi pelayannya yang genit.     

"Siap, Nyonyaa laksanakan!"     

Pelayan Rachel pun langsung berlari dengan cepat tanpa beban. Dan hal tersebut membuat Rachel menggeleng dengan senyum yang belum juga luntur.     

Rachel masih tak jemu mengarahkan pandangannya pada bunga mawar kuning yang merekah dengan begitu indah di depan pantulan matanya. Sungguh, keindahan yang begitu sempurna tak bisa ia jelaskan.     

"Rachel!" Panggilan itu membuat Rachel memutar kepala. Senyum tergores kembali, di saat lambaian tangan kecil juga menyapa dirinya.     

"Kenapa Pangeran Mama ikut Om Aster? Apa kalian tidak saling lupa?"     

Nathan tertawa menggemaskan di sela kaki Aster yang terus melangkah ke arah perempuan cantik itu.     

"Nggak dong, Ma! Nathan sangat rindu Om Aster ... kenapa baru ke sini, Om? Apa takut sama papa?" tanyanya.     

Aster menerbitkan senyum simpul seraya memberi kecupan hangat pada bocah laki-laki kecil itu. "Om sedang sibuk belajar. Jadi, baru ke sini deh," jawab Aster sembari mendudukkan tubuh di sebuah kursi panjang bercat putih di belakang kursi roda Rachel.     

Rachel perlahan juga mengarahkan kursi rodanya untuk berbalik menghadap kedua lelaki tampan itu. Pandangan bahagia bertemu sebagai seorang sahabat membuat pertemuan ini menjadi terasa hangat.     

Tapi, pandangan Aster begitu terfokus pada benda yang duduki mantan kekasihnya tersebut. Padahal ia hanya mendengar berita yang beredar di kampus, ia kira hanya berita burung saja.     

Namun, kenyataanya yang ia lihat tak pernah ia duga sama sekali. Kaki jenjang tinggi itu harus berada di sana.     

"Gue tidak tahu tentang kecelakaan lo, Chel. Maaf."     

Rachel mengangguk. Karena ia juga tidak pernah mengumbar berita kecelakaannya di media. Jelas jika Aster tidak tahu akan semua yang terjadi padanya selama ini.     

"Tidak masalah, Kak. Nanti aku akan ceritakan semua ... kamu ke sini ada apa?"     

"Aku ingin mengundangmu ke pernikahanku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.