HE ISN'T MYBROTHER

Apa Kamu Masih Ingin Bekerja?



Apa Kamu Masih Ingin Bekerja?

0Setelah melakukan perjanjian dengan Abella, Rian sekarang mengayun langkah ke arah ruang kerja Hernandes. Perjanjian di antara mereka akan segera terjalin.     
0

Entah kenapa ia tidak memiliki sama sekali semangat untuk memulai pernjanjian yang telah ia tunggu-tunggu sejak dulu.     

Sejak pengajuan permintaan Abella yang di luar harapannya membuat Rian sedikit terkejut. Tapi, ia kembali memutar niatan awalnya.     

Rian memang dari awal tidak ingin mengakui anak yang akan lahir dari rahim Abella, ia hanya menginginkan harga dari benih yang ia tanam. Bukankah seperti itu? Namun, kenapa seperti ada yang Rian sesali.     

Apakah dirinya memang sudah jatuh cinta dengan Abella? Wanita yang hanya mengandalkan kursi roda itu?     

Tangan kanan Rian terulur untuk berlabuh di atas permukaan pintu besar yang bersabut cat coklat mengkilat. Ketukan sebanyak tiga kali membuahkan hasil. Suara tegas Hernandes membelai di telinga Rian.     

"Masuk."     

Pintu terbuka membuat pandangan mereka menjadi satu. Dan tak lama Rian memilih untuk menurunkan pandangan seraya menutup pintu ruang kerja Hernandes.     

"Duduklah," titah dengan suara lirih itu jauh berbeda dengan tatapannya.     

Rian kembali mengayun langkah ke arah dua kursi berwarna coklat senada dengan warna ruangan kerja ini. Tubuh kekar itu telah terduduk, menatap hormat pada Hernandes.     

"Aku tidak perlu basa-basi seperti pertemuan awal kita. Kau bisa tanda tangan di bawah sana. Aku hanya mengizinkanmu menikah dengan putriku selama dua tahun." Hernandes menyodorkan sebuah dokumen yang telah ia perbaruhi lewat asisten pribadinya.     

"Dua tahun?" Ulang Rian terkejut. Ia tidak pernah menulis selama apa dirinya menjadi suami Abella. Waktu dua tahun terlalu singkat bagi Rian.     

Hernandes mengangguk mengiyakan apa yang telah ia katakan di awal. "Hanya untuk mendapatkan keturunan yang sudah kau tawarankan. Kurasa kontrak dua tahun sudah lebih dari cukup," imbuhnya sekali lagi.     

Rian kesal dengan dirinya sendiri. Hatinya terasa lemah, ia bingung ke mana perginya semangat balas dendam untuk membuat perusahaan Delon bangkrut. Pernikahan singkat itu seharusnya membuat Rian senang.     

Karena Rian tak lagi terikat dengan Abella. Ia bisa berkencan dengan wania mana pun di luaran sana.     

"Baiklah aku setuju, Tuan Hernandes. Lebih cepat lebih baik, tapi apa kau siap kehilangan setengah hartamu?" tanya balik Rian yang sekarang menghentikan penanya setelah satu tanda tangan tergores di sana.     

Hernandes memperbaiki gaya duduknya. Tatapannya semakin menatap yakin pada sosok lelaki muda berotak licik di depannya. Mau tidak mau ia harus mengiyakan.     

"Tentu tidak masalah. Saat kita mengorbankan untuk orang yang kita cintai, apa pun akan dikorbankan, Tuan Rian. Tidak hanya harta, bahkan nyawa pun akan aku korbankan."     

Rian membeku di tempat, ia memang tidak asing dengan kalimat itu. Tapi, kenapa dadanya menjadi sesak mengingat penyakit Abella semakin parah. Apalagi, Hernandes tidak mengetahui sama sekali tentang penyakit putrinya.     

Rian mengalihkan fokus ke arah Hernandes. Ia menyodorkan kembali surat perjanjian ke arah lelaki paruh baya tersebut.     

"Sepertinya aku harus segera pergi. Kita bertemu lagi saat acara pernikahan tiba. Senang bekerja sama dengan Anda, Tuan Hernandes."     

Rian bangkit dari duduknya, mulai berjalan ke arah pintu keluar tanpa menunggu balasan dari mulut lelaki paruh baya tersebut.     

Dirinya tidak mau larut dalam perasaan yang ia yakini hanya sebagai rasa kasihan saja. Tidak ada kamus jatuh cinta pada seorang wanita lumpuh seperti Abella. Tidak akan mungkin.     

Rian berjalan terus tanpa memperdulikan panggilan dari Marina yang ingin mendengar kelanjutan dari perjanjian itu.     

Apa benar putranya telah sama-sama mengiyakan perjanjian tersebut, dan mereka berdua kembali menjadi keluarga kaya lagi. Aaa... ini seperti mimpi bagi wanita paruh baya tersebut.     

"Rian ... tunggu, kita belum pamit dengan tuan Hernandes. Lihat di sana ...." Marina menunjuk ke arah taman bunga di mana Rian sempat berada di sana. "Di sana ada nona Abella sendirian. Kenapa dia selalu terlihat pucat ya? Bukankah seluruh kebutuhan telah dipenuhi?" sambungnya dengan penuh arti.     

Rian menghentikan langkah sejenak, mengikuti arah tunjuk mamanya. Ia melihat pandangan seperti apa yang dikatakan wanita paruh baya tersebut.     

Tidak ingin kembali larut dalam perasaaan aneh lagi dan lagi, Rian kembali melanjutkan langkah seraya menarik tangan Marina paksa.     

"Bukan urusan kita, yang terpenting kita bisa mendapatkan perusahaan," ungkap Rian. Dan seketika membuat senyum merekah Marina timbul mengalihkan rasa penasaran pada Abella.     

Abella menoleh ke arah kepergian Rian. Ia tahu jika di sana tadi ada seorang lelaki yang begitu ia kenal. Abella menggegam erat pucuk dari rambut kepangnya. Dari kepalsuan rambut ini, ia juga menyembunyikan sejuta rahasia menyakitkan.     

"Aku harap kau bisa membantuku menjaga Papa, tuan Rian," gumam wanita cantik itu.     

***     

Tubuh langsing telah berdiri dengan semangat menunggu siapa pun membalas sapaannya. Tapi, sudah sepuluh menit berlalu dan tidak ada jawaban yang ia tunggu keluar dari mulut tiga orang di sana.     

"Tante Sellyn kenapa di sini? Terus di mana Fira?" Nefa menunjuk ke arah perempuan cantik itu yang sangat tinggi darinya.     

Sellyn mengulas senyum sembari memeluk punggung dengan menyanggah kedua tangan di atas lutut.     

"Hallo, kesayangan Tante Sellyn. Sayangnya, Fira sedang bersama nenek. Tante mau bekerja di sani, Sayang."     

"Bekerja?" Ulang Nefa dengan suara imut.     

Rachel mengerjabkan mata saat mendengar suara putrinya. Ia mengkode dengan dua tangan yang terulur ke bawah, meminta Nefa untuk mendekat dengan dirinya.     

"Benar, Tante Sellym ingin bekerja, Sayang. Apa kamu mau bekerja nanti kalau sudah dewasa?" tanya Rachel saat ia sudah menggendong putrinya hingga duduk di atas pangkuan Rachel.     

Nefa mengendikkan bahu kecilnya. Dua rambuu yang dikuncir di kedua sisi itu bergoyang dengan begitu lucu.     

"Nefa tidak tahu, Ma. Ini sangat membingungkan," jawabnya membuat Dinu yang berada di seberang sana menggeleng dengan senyum simpulnya.     

Seluruh orang di sana tertawa terpingkal memecahkan suasana hening keterkejutan tadi. Sekarang Regan bergerak ke arah istrinya.     

"Sayang, kamu benar-benar mau bekerja di sini? Kamu masih bisa pikirkan lagi. Delon juga belum menerima surat lamaranmu ..."     

"Kamu bisa pikirkan bagaimana Fira tanpa kamu, Sayang. Dia akan menangis, dan tidak mau digendong siapa pun. Ayolah, pikirkan sekali lagi." Lanjut Regan yang mencoba mendesak istrinya agar membatalkan lamaran pekerjaan Sellyn.     

Sellyn menggeleng. Ia masih kekeh dengan kemauan awalnya. Ia bahkan telah mempercayakan Fira pada sang mama mertua. Jelas mama mertuanya lebih handal dibandingkan dirinya.     

"Kenapa sih? Aku mau kerja, Abang. Lihat Rachel aja boleh kerja kok. Kenapa aku nggak boleh?"     

Regan mengusap wajahnya dengan kasar, ia tidak mungkin mengatakan jika beban pekerjaannya akan semakin berat jika istrinya di sini.     

Kedua tangan Regan terulur untul menyentuh bahu kecil istrinya. Semoga dengan cara ini, ia bisa membuat Sellyn memahami pekerjaan di kantor tidak semudah dirinya berlenggak-lenggok di atas papan cat walk.     

"Aku bangga dengan kamu ada di rumah, Sayang. Tidak perlu meniru mereka berdua. Jadi, apa kamu tetap ingin bekerja di sini?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.