HE ISN'T MYBROTHER

Persetujuan Tuan Hernandes



Persetujuan Tuan Hernandes

0"Sayang, dengarkan aku dulu ... kenapa kamu kenapa marah padaku?"     
0

Pertanyaan Delon justru semakin membuat Rachel enggan berlama-lama dekat dengan lelaki tampan itu. Ia bergerak untuk kembali ke ruangannya setelah melihat kedua anaknya aman dengan aktivitas saat ini.     

"Sudah biarkan saja Rachel kembali. Itu juga karena kesalahanmu sendiri," sahut Dinu yang sedang duduk di samping Nathan.     

Delon semakin bingung dengan perkataan papanya yang baru saja keluar. Kesalahan seperti apa? Apa ini tentang seseorang yang dikenali kedua anaknya yang seperti kliennya, Karen?     

Atau apa? Delon sedang menerka-nerka apa yang telah ia lakukan dan membuat hati Rachel semarah ini padanya.     

"Bicara padaku, Sayang. Jangan membuatku menjadi peramal, dengan menebak-nebak apa isi hatimu. Karena aku tidak bisa," ucap Delon. Kedua tangan itu masih erat menggegam pegangan besi pada kursi roda istrinya.     

"Tuan Delon, saya harus mengerjakan beberapa dokumen. Sebentar lagi Kak Regan akan datang, dan pasti dia akan marah-marah padaku jika aku tidak segera mengerjakan," alasan perempuan cantik itu yang ingin menghindari Delon saat ini.     

Rachel masih begitu kesal mengingat pemandangan begitu dekat suaminya dengan wanita tadi. Padahal mereka bisa saja membatasi pertemuan, tapi Delon justru lupa akan waktu dan hingga membuat kesabaran Rachel sebagai seorang Istri diuji.     

"Baiklah, aku akan menemanimu agar Regan tidak memarahi istriku." Delon sudah mendorong kursi roda Rachel untuk mengarah pada ruang kerja perempuan cantik itu.     

Di sepenjang perjalanan Rachel hanya mencebikkan bibir dengan tangan terlipat dingin. Ini namanya bukan menghindari, tapi semakin membuat mereka tak bisa jauh satu sama lain.     

Delon menarik garis melengkung simpul di bibirnya mendapati wajah Rachel yang sama sekali tidak bersahabat dengan dirinya.     

Sedangkan saat ia memutar kepala, kedua anaknya memberi kode dua ibu jari yang mengayun di udara. Senyum semangat dari Nathan dan Nefa semakin membuat dirinya semangat juga untuk meluluhkan hati sang istrinya.     

Baru saja kursi roda Rachel masuk ke dalam meja kerjanya. Tiba-tiba lelaki berkaca mata bening muncul dari balik pintu, mengejutkan Delon dan Rachel.     

Tatapan tajam berkilat dari aling-aling kaca mata lelaki itu menunjukkan hal yang tidak biasa, ada kemarahan yang sebentar lagi akan meledak dan membuat gendang telinga sengsara.     

Suara hantaman tangan pada meja kerja Rachel semakin memperjelas tanda kecurigaan dari Rachel dan Delon.     

"Tenang, tenang ... ada apa, Kak Re? Kita bisa bicarakan semuanya bukan? Kinerjaku buruk atau bagaimana?" tanya Rachel yang mencoba menebak-menebak apa yang tengah menjadi beban Regan.     

"Aku tidak bisa tenang."     

"Ini bukan karena pekerjaan. Ini karena hubungan kita bertiga. Kupikir, kita bersahabat bukan?" sambungnya yang diangguki Delon dan Rachel secara bersamaan. "Tapi, kenapa kalian berkhianat?"     

"Berkhianat?"     

"Berkhianat?"     

Delon dan Rachel mengulang kata yang menurut mereka sangat sensitif. Bagaimana bisa lelaki di depan mereka mengatakan jika Delon ataupun istrinya berkhianat? Sedangkan mereka sendiri memiliki masalah sendiri.     

"Jangan macam-macam lo nuduh istri gue! Apa yang lo maksud berkhianat hah?" Tarikkan keras mendarat pada kemeja atas Regan. Delon tak pernah main-main jika sedang melindungi istrinya.     

Delon tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyentuh istrinya, apalagi sampai menuduh. Bisa mati dia ditangan seorang Delon, sang penguasa dunia bisnis hitam dan putih.     

"Lihat ini ...." Regan menunjukkan ponselnya yang terlihat cahaya terang benderang dari layar ponsel yang nyala. "Kenapa bisa istri gue minta kerja di sini juga? Kalau nggak istri lo yang minta," tambahnya yang membuat cengkraman Delon semakin menguat.     

Rachel bingung harus bagaimana memisahkan kedua sahabat itu. Ia juga tidak ingin kedua anaknya melihat adegan yang tak seharusnya mereka lihat.     

"Kalian berhenti. Aku bisa jelaskan, Kak. Jangan bertengkar di sini ... karena ada Nathan dan Nefa," ucap Rachel mencoba melerai.     

Dan benar, Delon dengan cepat melepaskan cengkeramannya dengan mendorong kasar tubuh kekar Regan hingga hampir terjatuh ke belakang.     

Rachel yang melihatnya jelas menghembuskan napas panjang, mendapati sudah tidak ada lagi pertengkaran fisik di antara mereka berdua. Melihat situasi sudah tenang, Rachel mulai mengalihkan pandangan ke arah lelaki berkaca mata tersebut.     

"Seperti ini ... aku akan mulai bercerita."     

Rachel mulai bercerita saat Sellyn bertanya-tanya tentang dunia perkantoran yang sedang ia geluti sebagai pengalih kestresan Rachel karena kelumpuhannya.     

Dan sebagai pengembang kemampuannya kembali untuk membangun perusahaan Mauren yang sudah kolab.     

Dan Sellyn mulai ingin bekerja seraya memantau Regan yang sering pulang larut malam.     

Sellyn tidak ingin Regan sampai berselingkuh di belakangnya. Jika mereka bisa berkerja di tempat yang sama jelas Sellyn akan bisa memantau suaminya.     

"Begitu ceritanya. Wajar aja kalau Sellyn curiga, tampang Kak Regan nggak meyakinkan kalau sedang lembur," tanggap Rachel sedikit kesal dengan kelakuhan bar-bar dari suami sahabatnya.     

Regan melebarkan mata ke arah Rachel. Ia sudah tak peduli dengan status perempuan di depannya itu. Jika, Sellyn ikut bekerja dengan dirinya, Regan yakin waktu lembutnya akan semakin lama.     

"Ini masalah pekerjaan, Chel. Kenapa lo malah belain sahabat lo itu? Lo tahu 'kan Sellyn kalau bekerja bagaimana," sahut Regan yang membuat Rachel menggaruk kepala belakang.     

"Jangan teriak-teriak ke arah istri gue! Lo mau mati hah?!" seloroh Delon yang kembali mendorong dada bidang Regan untuk menjauh dari istri cantiknya.     

"Diam, Kak! Ini masalahku dengan Kak Regan, kamu cukup berdiri di sana." Rachel menunjuk ke arah pojok ruangannya.     

Regan mengangguk sepaham dengan perintah Rachel. Sedangkan Delon pun bergerak seperti apa yang dikatakan istrinya, ia sudah seperti puppy yang manis.     

"Sekarang begi—"     

"Hallo, selamat siang!" Suara itu membuat ketiga orang di sana mengalihkan fokus. Dan seketika mereka menatap horor keberadaan seorang perempuan yang sedang tersenyum merekah di sambang pintu.     

"Hah? Secepat ini?" ucap reflek Regan.     

Di sisi lain di rumah Rian, lelaki itu sedang terduduk termenung di pinggiran ranjang. Ia masih bingung dengan apa yang ia katakan pada Abella kemarin.     

Seluruh perkataan Rian diluar perintah pikirannya. Seharusnya ia memaksa Abella untuk menikah dengan dirinya. Tapi, kenapa Rian bisa berkata jika dirinya tidak akan memaksa hati Abella untuk menerima dirinya?     

Dan sejak kapan ia merindukan suara terbata dari Abella? Padahal ia selalu mendengar suara dari berbagai wanita yang sengaja memancing gairahnya dengan suara mereka.     

"Rian, kau di dalam?" tanya seseorang yang berada di balik pintu kamar Rian. Dan seketika membudarkan lamunan lelaki tampan itu.     

"Masuk, Ma!"     

Sesuai dengan perintah sang pemilik kamar, sosok wanita paruh baya itu masuk perlahan melalui celah pintu yang terbuka. Senyum bahagianya terukir di sana.     

"Kenapa kau murung, Rian? Usahamu ternyata tak sia-sia!"     

Rian mengernyitkan kening saat mendengar kalimat ambigu dari wanita paruh baya tersebut.     

"Apa maksudmu, Ma? Usaha apa yang kau maksud?" tanya Rian semakin penasaran. Menuntut jawaban lebih lengkap dari sang mama.     

Tepukan halus mendarat pada bahu kekar Rian. "Tuan Hernandes telah menyetujui persyaratan yang kau ajukan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.