HE ISN'T MYBROTHER

Kedok Terbuka, Apa yang Akan Terjadi?



Kedok Terbuka, Apa yang Akan Terjadi?

0"Tante jahat? Kenapa anak semanis kami bisa berkata seperti itu, Sayang?"     
0

Karen benar-benar dibuat kesal dengan dua mulut tajam tanpa aturan dari dua bocah kecil yang membuatnya harus mari-matian menahan amarah di depan Delon.     

"Papa!" panggil Nathan yang menyadari Delon sedang ikut memperhatikan mereka.     

Delon menurunkan tinggi badannya, hingga setara dengan tinggi sang putra. Lalu menggendong dengan gemas, membawanya berdiri.     

Seketika Karen pun ikut berbalik, tangan wanita itu terulur untuk mengusap kepala belakang Nathan.     

Baru satu kali usapan, tangan kecil Nathan sudah menepis tangan Karen kasar.     

"Apa usahapan Tante menyakitkanmu, Sayang?" tanya Karen pada Nathan yang menatapnya tajam. Ingin rasanya Karen membawa bocah kecil itu dan membuang jauh-jauh dari hadapannya saat ini.     

Nathan mengangguk, berkata dengan lugas, "Tante itu jahat. Apalagi saat marah-marah di sekolah, itu teman Nathan keponakan Tante kan?"     

Sialan, sialan! Kenapa bisa, bocah seperti ini hidup di dunia dan menganggu rencananya menjadi mama kedua dari kedua anak Delon. Jika, dirinya bisa mendapatkan Delon. Karen pastikan Nathan dan Nefa akan ia kirim ke panti asuhan, berpura-pura saja hilang entah ke mana.     

Karen mengulas senyum palsunya untuk kesekian kali. Ia tidak akan menjadi bodoh untuk mengakui hal tersebut di hadapan semua orang. Mereka semua hanya mengetahui Karen sebagai wanita pintar dan tak mungkin sampai melukai hati seorang anak kecil.     

"Bukan Tante, Sayang. Itu mungkin orang yang mirip dengan Tante ..."     

"Tuan Delon ... Bu Rachel, saya ingin berlama-lama mengobrol di sini. Tapi, ada pertemuan yang harus saya hadiri saat ini. Saya permisi," sambung Karen membungkukkan tubuh, seraya mengusap kembali kepala belakang Nathan yang juga masih terlihat menolak.     

Rachel mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Selepas Karen pergi, ia mengarahkan pandangan ke arah suaminya dengan memicing berkilat.     

Tidak berapa lama, pandangan itu terbuang kesal. Menatap ke arah punggung Nefa yang masih tidak mau membalikkan tubuh.     

"Sayang, ayo jangan seperti ini ... tantenya sudah pergi. Nefa nggak mau cerita, kenapa Opa bisa jemput Kakak dan Nefa?" tanya Rachel pada sang putri yang terasa mengendurkan pelukan.     

Nefa menyebar pandangan kecilnya ke seluruh sudut ruangan untuk memastikan apa yang dikatakan mamanya memang benar.     

"Nefa udah minta Opa buat jemput tadi pagi, jadi Opa nempatin janji, Ma," balas gadis kecil itu yang memutar kepala ke arah Dinu yang sedang menggaruk kepala belakang.     

"Papa sudah sehat?" tanya Delon untuk pertama kalinya setelah drama kebohongan telah ia saksikan dengan menjemukan.     

Dinu mengangguk dengan senyum sumringah yang ditorehkan di sana.     

"Papa sudah tidak apa-apa sejak awal. Cuma kalian saja yang ketakutan," sahut Dinu dengan semangat.     

Lelaki paruh baya itu sudah benar-benar mengikhlaskan pernikahannya kandas kali ini karena keserakahan yang membutakan mata mantan istrinya. Sekarang ia ingin melihat, kehidupan Marina akan sebahagia apa dengan seluruh harta kekayaan Dinu.     

"Lihat, Istrimu. Kau melakukan apa pada menantuku, Delon? Rachel saja enggan menatapmu. Coba katakan padaku! Kau mencari mati ya?!"     

Delon mengarahkan manik hitam legam matanya ke arah sang istri yang masih enggan menatap dirinya. Ia juga bingung kenapa Rachel bisa kesal dengan Delon?     

"Sayang kamu kenapa?"     

Di tempat lain, suara tembakkan begitu jelas terdengar oleh telinga manusia jika mereka berada di sana. Anak buah Antoni sedang mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk bisa menyelamatkan tuan mereka yang disandra oleh sosok misterius.     

"Kalian bergerak di sisi utara, jangan biarkan salah satu dari mereka lolos dari sana. Kita butuh satu orang dari mereka yang hidup ..."     

"Karena dia bisa membantu kita menemukan keberadaan tuan Antoni di mana." Lanjutnya yang diangguki lima orang yang sudah menggegam dua senjata api di kedua tangan mereka.     

Mereka sama sekali tidak pernah takut dengan kemungkinan terbesar yang akan mereka hadapi yaitu mati dalam pertempuran ini.     

Karena sesungguhnya, seluruh yang diberikan Antoni pada keluarga mereka sudah sangat cukup untuk menunjang ada ataupun tidak adanya mereka.     

Pemimpin mereka mengangguk, dan pergerakkan mereka di mulai. Sedangkan pemimpin itu berguling di area tanah seraya melesatkan peluru panas bertubi-tubi pada mereka yang juga tak henti memberi tembakkan pada anak buah Antoni hingga detik ini.     

DORR ...!     

DORR ...!     

DORR ...!     

Mendengar suara mengerikan ini pasti seluruh orang pikir tak akan pernah ada yang selamat. Namun, nyatanya anak buah Antoni masih saja aman tanpa luka tembak yang serius. Sedangkan musuh mereka sudah banyak yang tumbang.     

Maka dari itu, anak buah Antoni bergerak lebih leluasa saat menyadari kelemahan mereka.     

"Tepat, dia pemimpin dari pertempuran ini," gumam pemimpin dari anak buah Antoni yang mendapati salah satu orang yang berpengaruh dalam peperangan ini berada di posisi yang tepat untuk bisa dia bidik.     

"Satu ... dua ... tig—"     

"Aagh, shit! Kenapa lolos!" umpatnya saat mendapati tembakkan justru mengenai sebuah kayu besar di belakang lelaki itu.     

Dari arah ujung ada salah satu anak buah Antoni yangengkode dengan jari sembari memperlihat satu orang dari musuh mereka telah berada dalam tarikan tangannya.     

"Oke, mari kita lihat siapa orang di balik ini semua."     

***     

Suara angin menghembus memang sangat menyejukkan untuk siapa pun yang bersentuhan langsung.     

Namun, tidak untuk Abella. Wanita cantik dengan senyum yang mengiring itu tiba-tiba murung dan mencoba menolak berbagai sentuhan yang diberikan oleh lelaki yang sedang memohon di bawah kursi rodanya.     

"Katakan apa yang kau katakan. Aku tidak perlu memecatmu 'kan? Karena kau hidup juga bukan karena uang papaku," katanya dengan lugas. Tak ada lagi kecerian dan kebahagian yang tersirat di sana.     

Hati Abella sudah terlalu sakit. Hidup yang ia kira akan lebih bermakna di sisa-sisa kehidupan Abella, kini sudah hancur lebur tak bersisa.     

Lelaki yang ia percaya sebagai teman sekaligus sahabat ternyata adalah lelaki yang menghinanya satu tahun lalu.     

Luka penghinaan Rian masih tersisa di sana. Meski cinta yang tak pernah dipupuk lelaki itu juga masih belum menghilang. Namun, untuk saat ini Abella tidak bisa menerima apa yang telah dikatakan Rian sebagai sosok yang menyamar sebagai anak buah papanya.     

"Nona, kumohon dengarkan aku. Aku sudah berubah, aku hanya ingin dekat denganmu ... dan ingin—"     

"Ingin apa?! Katakan sekarang, jangan buang waktuku, Tuan Rian yang terhormat. Kau juga tak perlu memanggilku 'nona' karean aku bukan majikanmu," sarkas wanita cantik itu.     

Bola mata hitam legam itu sudah nampak menggelap dengan awan mendung yang siap untuk menurunkan hujan. Tapi, sekuat mungkin Abella tahan. Ia tidak mau menangis lagi, dan menyia-nyiakan kehidupan beberapa tahun lagi.     

Atau justru tinggal beberapa bulan lagi setelah ini?     

"Bukan begitu maksudnya, Non ... Abella. Aku lebih suka memanggilmu Nona. Dan aku ingin menikah denganmu. Apa kamu ingin menikah denganku, Abella?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.