HE ISN'T MYBROTHER

Ketika si Kembar Berulah



Ketika si Kembar Berulah

0Rachel menjadi patner kerja yang begitu lincah bagi Delon.     
0

Ia tidak menyangkan jika Rachel bisa bekerja dengan piawai, meski ia sudah lama tidak memegang anak perusahaan lagi semenjak kuliah.     

"Apa kamu lelah, Sayang? Kamu bisa istirahat sebentar. Ini sudah jam pulang kantor, aku sekarang suamimu yang sangat mencintaimu," ucap Delon saat ia sudah meninggalkan fokus dari komputer.     

Rachel yang masih memeriksa berbagai data fisik dengan yang ada di dalam komputer tersenyum geli sembari menggelengkan kepala.     

Apakah mungkin di luaran sana ada suami sekaligus boss yang seperti suaminya?     

"Tinggal sedikit lagi, Kak. Kamu jangan membuatku takut." Rachel membalas dengan terkekik.     

Memang sangat berbeda saat Delon yang tadi adalah seorang boss yang begitu menjaga wibawanya, meski dia duduk di dekat Rachel. Tapi, tidak ada kalimat yang keluar tanpa bahasa keformalan.     

Lelaki tampan itu menggeser duduknya lebih dekat dengan tubuh istrinya. Rasanya ia sangat bersalah telah membuat wajah cantik Rachel tercetak beberapa bulatan kristal peluh yang memenuhi di kening.     

"Sayang, terima kasih," imbuh Delon kembali. Ia tidak bisa memberikan kalimat puitis seperti lelaki di luaran sana. Hanya ungkapan itulah yang mampu ia ucapkan.     

Rachel yang mendengar kalimat suaminya langsung melepas fokusnya, kini wajah itu sudah menoleh tepat di hadapan wajah tampan Delon.     

"Sama-sama, Suamiku Sayang. Tapi, kenapa kamu memecat wakil dari sekretaris kak Regan? Ini semua bukan karena aku kan?"     

Seluruh kejadian begitu kebetulan. Ia meminta pekerjaan kepada Delon, dan lelaki itu dengan cepat mengatakan ada posisi kosong dengan resiko yang harus Rachel tanggung.     

Rachel menyanggupi, ia tidak peduli dengan berbagai perkataan yang akan ia terima nanti. Telinganya sudah begitu kebal dengan suara sumbang dan pembicaraan di belakangnya.     

Ia memang tidak bisa menghentikan itu semua, karena apa hang mereka katakan benar. Dirinya cacat dan Delon mencintainya.     

Delon menghempas punggung kekarnya ke dalam Sandara sofa. Napas itu terhembus kasar, bahkan bisa Rachel dengar. Tatapan manik coklat bening menduhkan itu masih menunggu jawaban dari sang suami.     

"Tidak, Sayang. Tapi, pasti kamu akan mendengar ini semua sebagai gosil dari mereka ... ini semua karena ulahnya sendiri," jawab Delon.     

Rachel ikut menyadarkan kepalanya di depan dada bidang Delon. Mereka tidak peduli jika lampu kantor sudah mulai meredup, dan hanya ruang Delon serta lorong masih nyala karena permintaan Delon.     

Perempuan cantik itu menyusupkan wajahnya di sela leher tegas Delon. Sangat nyaman, ingin rasanya Rachel selalu bersandar di sana.     

"Dia seorang wanita dan berani menguji kesabaranku," sambung Delon kembali seraya memainkan rambut hitam legam istrinya.     

Rachel terdiam, ia tidak lagi ingin bertanya lebih lanjut. Ia tahu kelanjutan dari perkataan itu. Ia sudah biasa mendapati berbagai pelamar yang mencoba masuk ke dalam lingkup suaminya pasti akan mencoba peruntungan menggoda Delon.     

Bukan hasil, tapi pemecatan secara tidak hormatlah yang mereka terima.     

"Kamu tidak bertanya lagi?"     

"Apa kamu marah padaku karena ini, Sayang?"     

Delon membrondong pertanyaan saat tidak mendengar suara istrinya yang sudah tidak lagi sebawel dulu dan sering menuntut jawaban yang lebih detail dari cerita yang baru saja Delon katakan.     

Kepala itu ia turunkan untuk melihat Rachel sedang tertidur atau tidak. Dan ternyata, ia justru disambut dengan senyum cantik perempuan itu.     

Jantung Delon seketika berdetak dengan begitu cepat. Di pernikahan mereka yang hampir mendekati enam tahun, Delon masih saja tak bisa bisa mengendalikan jantungnya jika sudah berdekatan seperti ini.     

Rachel adalah perempuan kedua setelah mamanya yang memberi dirinya cinta yang sesungguhnya. Tidak memandang siapa dirinya dan sekaya apa seorang Delon.     

Rachel bahkan mempercayai kehidupan yang sempurna kepada dirinya, yang jelas-jelas tidak mempunyai status orang tua yang pasti.     

"Kamu mengejutkanku, Sayangm aku kira aku sedang berbicara sendiri," ujar lelaki tampan itu seraya menderatkan kecupan hangat di kening kecil itu.     

Rachel mengulurkan tangan tangannya mengusap rahang tegas suaminya.     

"Aku tidak perlu bertanya apa pun. Kamu akan tahu bagaimana perasaanku. Aku bukan istri yang penyabar, aku sangat penyemburu."     

Delon kembali terkekeh dengan jawaban istrinya. Tubuh ramping itu telah tertelan habis di dalam pelukan Delon. Lelaki itu memeluk dengan gemas seakan seseorang akan datang dan merebut perempuan cantik itu.     

"Kenapa kamu sangat menggemaskan, Sayang?"     

Di lain tempat, Dinu sedang kesusahan menghadapi Nathan dan Nefa yang saling berebutan mainan.     

Bahkan tak hanya saling berteriak dengan nada melengking, mereka berdua juga sesekali menangis dan kembali lagi berperang.     

"Nathan jangan diambil itu boneka Nefa, Sayang. Nanti rambutnya lepas," kata Dinu mencoba melerai saudara kembar tersebut. Tapi, Nathan memggeleng.     

Nathan mengerutkan seluruh urat di wajah kecil tampannya. Bocah laki-laki itu begitu kesal dengan Nefa yang sudah merusak robot kesayangannya dari Jeno.     

"Nefa yang duluan, Opa! Kalau papa dan mama pulang dari kantor, Nathan pasti bilang kenakalan Nefa," ucap Nathan menekan setiap kata. Ia ingin menakut-nakuti adiknya untuk tidak merebut milik Nathan.     

Nefa masih berupaya untuk menarik tubuh boneka kesayangannya. Gadis kecil itu juga tidak terima saat Nathan menghancurkan acara minum teh beberapa teman bonekanya.     

"Tidak peduli! Sekarang lepas, jangan.sakiti Molly!"     

Dinu memijat kening berkerutnya, ia tidak tahu jika putra dan menantunya akan menghadapi kesibukan seperti ini melebihi mengurus sebuah proyek besar.     

Nathan dan Nefa lebih membuat kepala berdenyut, siapa pun yang di dekat mereka berdua.     

"Tuan Besar ... Tuan Muda dan Nona memang seperti itu. Jangan dianggap serius, sebentar lagi mereka pasti akan berbaikan lagi," ucap Bi Rina yang ikut berusaha menjaga bocah kembar itu.     

Dinu mengulas senyum simpul, kemudian mengangguk.     

"Iya, Bi. Kau sangat mengetahui mereka, aku harus banyak belajar mulai sekarang ..."     

"Biarkan kedua orang tuanya bersama dan tidak memikirkan bagaimana keada kedua anaknya," sambung lelaki paruh baya tersebut.     

Bi Rina mengangguk sepaham dengan Tuan Besarnya. Wajah tampan, seperti tak ada bedanya dengan Delon itu membuat siapa pun akan tahu lelaki paruh baya itu sangat mencintai putra tunggalnya.     

Dinu membulatkan mata seketika saat mendengar suara tangis yang begitu nyaring menyerukan masuk ke dalam gendang telinganya.     

"Ada apa, Nathan? Kenapa Nefa menangis lagi?" tanya lelaki paruh baya itu dengan gusar. Ia melihat Nefa sudah mengucek kedua mata kecilnya dengan kaki yang memberontak di atas tempat tidur.     

Nathan menunjuk ke arah tangan kecil Nefa yang sedang menggegam potongan bagian tubuh boneka yang tadi merek perebutkan.     

"Nefa narik kaki bonekanya sendiri, Opa. Rambutnya nggak lepas kok. Tapi, dia menangis," jelas Nathan yang merasa tidak bersalah dalam kasus ini.     

Dinu memutar kepala ke arah belakang, ia menggeleng sekali lagi pada wanita paruh baya yang sedang menahan senyum ke arah dirinya.     

"Sekarang, gimana kalau begini? Minum tehnya nggak bisaa!" teriak Nefa di sela tangis menderunya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.