HE ISN'T MYBROTHER

Aku Tidak Mau Bercerai



Aku Tidak Mau Bercerai

0"Papa sudah keterlaluan! Bagaimana bisa Papa memperlakukan Mama di depan Delon seperti itu!?"     
0

Seluruh barang terdengar pecah tak beraturan hingga memekakkan telinga. Sedangkan beberapa pelayan memilih pergi, tidak mau berada di sana karena Tuan dan Nyonya dalam kondisi yang tidak baik.     

"Itu pantas untukmu! Kau sangat tidak sopan!" Suara Dinu tak kalah meninggi. Buliran keringat memenuhi kening tuanya, ia tidak menyangka jika sifat Marina bisa begitu berubah hanya karena permintaan Rian.     

Kedua mata Dinu semakin menatap tajam ke arah Marina yang sudah menggegam vas bunga setinggi di atas kepala. Dinu menggeleng melihat seluruh perbuatan nekat Marina.     

Dia bukanlah Marina yang Dinu kenal selama ini. Marina yang mulai ia cintai, sedangkan wanita di depannya nampak begitu asing di matanya.     

"Kenapa? Apa yang salah? Aku berhak atas semua itu dengan Rian."     

"Aku tidak munafik untuk mendapatkan seluruh imbalan dari menyelamatkan nyawamu. Mendapatkan status sebagai anak kandung saja tidak cukup!" sambung Marina menyorotkan pandangan tajam ke arah Dinu.     

Sekali lagi suara kepayaran beling membuat Dinu reflek memundurkan tubuh. Ia tidak akan pernah mau mati konyol hanya karena kebodohan Marina.     

"Ambil seluruh hartaku, jika kau dan anakmu menginginkan imbalan dari nyawaku. Tapi, untuk perusahaan jangan harap! Aku telah memalsukan pengalihan nama. Dan perusahaan itu masih menjadi pemilik putraku," jawab tegas lelaki paruh baya tersebut yang bergerak mengayun langkah untuk menaikki anak tangga.     

"Aagghhh!" Marina menjerit sekuat mungkin untuk melampiaskan kekesalannya.     

Marina hanya ingin mendapatkan cinta dan seluruh harta Dinu. Tapi, lelaki itu justru tak pernah melihatnya sebagai seorang istri. Selalu saja melihat dirinya sebagai seorang penyelamat. Cinta bahkan tidak pernah ia rasakan.     

"Kenapa kamu tidak pernah mencintaiku, Pa? Kenapa hanya Delon dan menantumu saja yang kau ingat? Bagaimana jika mereka mati ... apa kau akan berkata apa?"     

Dinu membereskan seluruh baju yang telah ia masukkan ke dalam koper besar. Sepertinya seluruh sisa hidupnya tak bisa ia jalani bersama dengan Marina. Napas naik-turun juga ikut sebagai penanda dirinya yang sudah tidak bisa menemani Marina kembali.     

Kedua mata tajam Dinu menatap lekat pada secarik kertas di mana sudah ia bubuhi tanda tangannya.     

"Seharusnya ini tidak perlu terjadi. Tapi, semua ini yang kau yang meminta. Aku tidak perlu kaya dan hanya untuk mengorbankan kebahagian Delon ... kau dan anakmu tak pernah menghargai ku. Selalu saja membuat diriku dibenci oleh anakku sendiri," ucap Dinu pada secarik kertas yang telah ditanda tangani oleh Marina juga.     

Dinu menggegam secarik kertas tersebut, membawanya pergi bersama dengan koper yang telah dia tarik seiring dengan kaki yang terus melangkah.     

Kertas perceraian itu adalah syarat di mana Marina ingin mengakui kesalahannya di hadapan Delon dan Rachel. Tapi, nyatanya Istrinya masih diselimuti ego dan keserakahan.     

Lelaki paruh baya itu mulai menuruni anak tangga dengan wajah memerah, seluruh urat menegang berkumpul di wajah. Ia mengeraskan rahang saat mendengar suara tangis itu semkain pelan dan berganti dengan suara kaki yang berlari ke arahnya.     

"Pa, kamu mau ke mana?" tanya Marina gusar. Suara sesenggukan masih terdengar begitu jelas di telinga lelaki paruh baya tersebut.     

Dinu tidak menatap keberadaan Istrinya di sana. Tatapan itu masih saja lurus tajam ke depan, meski ia merasa cengkaram kuat di lengan tangannya.     

"Kau sudah terlalu menyakitiku. Kau menyakiti kedua cucuku juga hingga di ambang kematian ... apa menurutmu itu wajar?" ujar Dinu dengan nada dinginnya.     

Hati Dinu telah membeku untuk Marina. Wanita itu sudah beberapakali mengingkari apa yang telah dia janjikan pada Dinu. Berubah dan tidak akan mengulangi lagi. Namun, semua itu sepertinya hanya hisapan jempol saja.     

"Tidak ... tidak boleh! Kamu tidak boleh meninggalkanku," tolak Marina. Ia sudah mencintai Dinu melebihi dirinya, Marina tidak mungkin bisa hidup tanpa lelaki itu.     

Dinu mengangkat satu sudut di bibirnya. Tangan yang dipegang Marina langsungnia hempas kasar hingga membuat wanita dengan dua mata sembab itu terdorong mundur.     

"Jangan sentuh aku lagi. Kau bukan istriku lagi, aku sudah menalakmu! Sekarang, kita serahkan seluruh berkas pada pengadilan ..."     

"Tenang, seluruh yang kau minta dan anakmu akan kuturuti. Kecuali perusahaan, itu upahmu mengalamatkan diriku." Ulang Dinu dengan penuh penekanan sembari menunjuk tegas ke arah wajah Marina.     

Dinu kembali melangkah kembali untuk meninggalkan rumah yang sempat menjadi istannya dengan mendiam Istrinya dan juga Delon. Tapi, ia tidak menyesali apa pun. Karena rumah besar ini hanya sebuah bangunan, kenangan yang sesungguhnya ada dalam hatinya.     

Kenangan yang akan ia bawa hingga raganya terkubur tanah di samping makam Istrinya.     

"Pa, aku tidak mau bercerai. Aku tidak sungguh-sungguh menanda tangani surat perceraian itu! Kumohon kembalilah!" teriak Marina sekuat mungkin. Berharap jika Dinu akan berbalik dan memeluk dirinya lagi.     

Tangisan semakin menderu saat melihat punggung tua itu melewati batas ambang pintu dengan mudahnya tanpa memperdulikan hati Marina yang begitu sedih mendengar perpisahan itu benar-benat terjadi.     

"Papa! Jangan pergi," ucap wanita paruh baya itu yang sudah terjatuh kembali di atas lantai. Tubuhnya begitu lemas mempercayai kenyataan yang terjadi.     

Sedangkan Dinu sudah melaju dengan mobil putihnya menembus padatnya jalanan kota bersama dengan supirnya. Dinu bingung mau ke mana, sedangkan dirinya sudah tidak memiliki rumah. Apa dia harus tinggal di hotel atau pergi ke rumah Delon?     

Tapi, apa dirinya masih mempunyai muka untuk bertemu kembali dengan luka yang telah ditorehkan Marina pada kedua cucunya?     

"Tuan Besar, kita akan pergi ke mana?" tanya sang Supir dengan nada hormat, mereka sudah memutar-mutar mengelilingi kota padat penduduk tersebut. Tapi, masih dirinya tidak mendengar perintah dari sang Tuan Besar.     

Dinu menoleh ke arah kaca mobil. Di sana ia melihat langit nampak gelap dengan kilatan yang menghiasi.     

"Kita ke kantor polisi." Suara Dinu yang lirih masih bisa terdengar di telinga Supir tersebut. Dan membuat kepalanya mengangguk.     

"Baik, Tuan Dinu. Apa Anda ingin makan terlebih dulu?" tanyanya yang melihat Tuannya selalu telat makan jika bertengkar dengan Istrinya.     

Dirinya juga selalu tidak tega melihat Dinu dibenci anak kandungnya dan justru dimanfaatkan oleh Istri serta anak tiri Tuan Besarnya.     

"Apa ada restauran yang murah di sini?" tanya Dinu yang memang tidak tahu. Karena dirinya sudah tidak pernah lagi makan di luar.     

Biasanya dirinya hanya akan makan dari masakkan pelayan dan Marina yang selalu memasakan dirinya. Tapi, sejak Rian meracuni otak Marina. Istrinya selalu pulang malam dan membawa berbagai belahan mahal.     

"Ada Tuan Besar. Dan pasti akan mengenyangkan, tidak perlu memikirkan saya. Saya akan membayar untuk porsi makan saya sendiri," tanggapnya membuat Dinu menerbitkan senyum simpul.     

"Terima kasih. Kau pasti tahu semua yang terjadi. Aku tidak bisa lagi membayarmu, kau bisa pergi dan cari pekerjaan yang lain," ujar Dinu penuh penyesalan.     

"Tapi, Tuan Besar mau ke mana? Bisakah saya tetap bekerja dengan Tuan saja?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.