HE ISN'T MYBROTHER

Hati Masih Bertaut



Hati Masih Bertaut

0Antoni benar-benar dibuat marah oleh seseorang yang menelponnya secara misterius. Hal ini memang tidaklah kejadian yang baru. Namun, yang mengetahui permasalahan dirinya dan Delon. Hanyalah Antoni dan Delon, tidak ada orang lain.     
0

Lalu siapa pemilik nomor yang dirahasiakan tersebut?     

"Cari tahu siapa yang baru menelponku. Jangan pernah lewatkan informasi sekecil pun," perintah Antoni tak terbantahkan pada sang anak buah yang baru saja masuk.     

Anak buah Antoni langsung mengambil benda pipih yang baru saja dilempar di atas meja.     

"Baik, Tuan Antoni. Kami akan segera memberi laporan," katanya hormat. Lelaki bertubuh kekar itu membungkukkan tubuh, kemudian pergi dari ruang Antoni untuk kembali menjalankan perintah selanjutnya.     

Antoni membuka satu dari dua dokumen yang baru saja diletakkan di mejanya. Lelaki mulai membaca dengan mendetail apa saja informasi yang ia lewatkan beberapa bulan lalu setelah dirinya melakukan panggilan video Dengan Regan serta Max.     

Lelaki itu menggeleng saat melihat seorang wanita terlihat tertawa lepas dengan Max. Api membara dalam tubuh Antoni bergejolak, kedua tangan itu kembali mengepal erat.     

"Jadi, kau dengan Max, Anita? Pantas saja kau seperti wanita yang tak pernah kukenali," gumam Antoni yang sudah bisa lagi menahan amarahnya.     

Seluruh barang yang berada di meja kerjanya telah berada di atas lantai dengan kondisi yang mengenaskan. Antoni membanting seluruh apa yang ia lihat. Dan foto Anita bersama dengan Max telah ia sobek menjadi dua bagian.     

Napas Antoni tak terkontrol. Wajah memerah dan degub jantung yang tak beraturan menambah kemurkaan Antoni. Ia menatap lekat foto Anita tanpa Max, senyum seringai menatap wajah ayu tersebut.     

"Kau akan tahu bagaimana rasanya kehilangan, Anitha."     

***     

Di lain tempat ada dua orang yang sedang melupakan atas nama prinsip dan keputusan untuk menunggu. Suara decapan membuat ruangan itu semakin hangat dan romantis.     

Anin yang berniat hanya menyapa Max dalam tidur, justru ikut terjatuh dalam pelukan hangat Max karena tarikan yang dilakukan lelaki tampan itu. Kedua mata mereka beradu. Seakan ingin mengatakan kerinduan yang sudah lama terpendam dalam hati.     

"Max kau sudah bangun? Kenapa nggak bilang? Ayo makan," ujar Anin yang ingin segera lepas dari pelukan Max. Ia benar-benar malu untuk bisa berada di dalam pelukan tersebut.     

Lelaki itu menggeleng, setelah mengingat apa ya g telah ia dengar tadi. Ia semakin tahu bagaimana perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Hanya situasilah yang membuat Anin tidak ingin menerima dirinya.     

"Aku tidak ingin makan." Jawaban singkat itu terdengar begitu lirih di telinga Anin. Namun, masih terdengar begitu jelas.     

Wanita cantik itu menaikkan satu alis mendengar jawaban dari Max. Padahal ia begitu jelas mendengar jika lelaki itu mengatakan lapar, meski telah makan di luar.     

"Ayolah aku sudah menghangatkan untukmu. Kamu harus mencobanya," tambah wanita itu dengan memaksa. Tapi, jawaban gelengan kepala masih ia terima dari Max.     

Anin mencoba memberontak dari pelukan Max. Ia juga mendorong dada bidang lelaki tersebut, namun Max tetap saja menahan dirinya untuk tidak bergerak.     

"Aku ingin memasukkan lagi makanannya kalau kamu nggak mau makan."     

Anin mentap tumpul pada bola mata biru yang seperti sedang menertawakan dirinya yang kesal.     

Max melepas satu tangannya untuk memasukkan anak rambut wanita cantik di depannya. Senyum tampan itu mengembang seiring dengan lirikan ekor mata dari Anin.     

"Aku akan menunggumu, Anin. Aku berjanji akan setia padamu," ucap Max yang semakin membuat wanita itu mengernyitkan kening.     

Anin semakin bingung dengan arah pemikiran Max. Tidak biasanya lelaki itu mengatakan kata setia, apa karena kejadian tadi? Apa Max benar dalam ucapannya?     

Dengan cepat Anin menyadarkan kembali ingatannya tentang permasalahan yang belum usai. Ia harus segera menyelesaikan, sehingga ia bisa menata hidup.     

"Aku tidak pernah percaya dengan kalimat itu. Cepat lepaskan aku. Kau ingin kupukul, hah?" seloroh Anin masih berusaha lepas dari lelaki tampan tersebut.     

Max menulusupkan tangan kanannya untuk masuk ke dalam tengkuk wanita yang dicintainya.     

"Aku bersungguh-sungguh. Jangan merasa kuat, jika kau memang tidak bisa melakukan itu. Maafkan diriku yang dulu ... aku berniat menunggumu hingga kau siap menerimaku lagi. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukan itu ..."     

"Aku ingin sekarang. Aku ingin kau menjadi milikku, Anin. Berjanjilah kau akan menjadi Istriku," sambung Max seraya menarik tengkuk itu Anin untuk menyentuh bibirnya.     

Anin seakan seperti terhipnotis, ia bahkan tidak menolak setiap sentuhan permukaan bibir tebal yang telah mengajarkan Anin segala hal dalam bercinta.     

Lelaki tampan itu menekan tengkuk Anin untuk memperdalam pagutan mereka. Max menelusuri setiap inci permukaan bibir merah lembut membuatnya selalu tergoda setiap saat.     

"Euhmmh... Ma-Max," lirih Anin saat bibirnya dihisap kuat oleh lelaki itu.     

Max sudah terbawa gairah yang tak tertahan. Ia sangat merindukan apa pun yang ada dalam Anin. Sangat sulit baginya untuk kembali berkomunikasi dengan Anin. Tapi, karena kasus ini akhirnya dirinya bisa kembali merengkuh kekasih hatinya.     

Lidah mereka saling membelit dan tangan Max dengan licahnya sudah melepas tali kimono Anin.     

Tangan kekar itu masuk ke dalam celah kain yang terbuka. Desahan Anin sudah tak bisa tertahan lagi. Ia benar-benar telah jatuh ke dalam sentuhan dan keahlian Max.     

Max melepaskan ciuman panas mereka sejenak meski Anin sedang membalasnya juga tak kalah panas. Ia melihat sorot mata sayu dan bercampur kecewa yang diperlihatkan Anin padanya saat ini.     

"Apa aku boleh menyatukan tubuh kita? Aku sangat merindukanmu ... aku ingin anakku terlahir darimu, Sayang," pinta Max yang takut jika Anin akan menolak dirinya kembali setelah tubuh mereka sama-sama menginginkan sentuhan satu sama lain.     

Tangan Anin melepaskan kedua tangan kekar Max yang melingkar di pingganya. Ia perlahan bangkit dari pelukan Max.     

Max sudah tidak punya harapan lagi. Ia akan menerima keputusan yang diambil Anin kali ini. Mungkin saja perpisahanlah yang terbaik untuk mereka saling melupakan.     

Setelah Anin sudah berdiri dari tubuh Max. Kini lelaki tampan tersebut juga ikut mendirikan tubuh, untuk duduk di pertengahan tempat tidur dan segera mengancingkan kembali kemeja yang telah dilepas oleh Anin.     

Anin mengulas senyum cantiknya saat melihat wajah Max tertunduk. Lelaki itu bahkan tidak sadar apa berada di depan tubuhnya.     

"Max, kamu ke mana?"     

"Pulang, maaf aku tidak bisa makan di sini. Sepertinya aku ada pekerjaan yang belum terselesaikan," jawab lelaki itu tanpa mengangkat kepala. Tapi, ia merasa aneh saat tempat tidur itu bergerak seakan ada seseorang yang sedang perlahan menaikki.     

"Kenapa pulang, bahkan aku belum mengandung anakmu."     

Suara itu membuat Max melebarkan kedua mata, ia hanya tinggal mengancingkan satu lagi. Tapi, mendadak ia urungkan saat melihat tubuh indah tanpa sehelai benang itu terpapang jelas di kedua iris biru lautnya.     

"Aku luluh dalam sekejap mata. Apa kamu berpikir aku seperti wanita murahan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.