HE ISN'T MYBROTHER

Monica Hamil?



Monica Hamil?

0"Aku nggak mau resign. Coba kamu pikir sekali lagi, Sayang. Kamu hanya sedang marah aja," bujuknya. Nino masih berusaha untuk meyakinkan istrinya.     
0

Monica mengangkat sendok ke arah mulut Nino. Ia bahkan tak berniat membalas perkataan laki-laki yang berada di depan Monica. Suara denting sendok bertatap dengan mangkuk membuat suasana pagi itu menakutkan.     

Nino masih memberikan pandangan lekat pada sosok perempuan di depannya. Berharap Monica membatalkan apa yang telah dia katakan.     

"Sayang, kamu marah?" tanya Nino menelisik. Sedangkan Monica hanya membalas dengan deheman malas. "Aku udah kenyang," katanya meminta untuk tidak disuapi lagi.     

Kali ini Monica menghela napas dalam, lalu mengangkat pandangan ke arah suaminya. "Jelas kamu kenyang, Sayang. Ini lihat, mangkoknya udah habis, terus kamu mau makan apa lagi kalau nggak stop?"     

Nino melebarkan senyum lebar tanpa rasa berdosanya saat Monica memperlihatkan mangkuk bubur itu telah bersih.     

"Nggak kerasa, Sayang. Kamu ini galak banget. Mending tadi suster aja yang nyuapin aku," gerutu lelaki itu seraya mengusap sudut bibirnya yang terasa masih ada sisa makanan yang menempel.     

Monica bangkit dari duduknya untuk meletakkan mangkuk kosong itu di atas meja dorong. Tangan itu dengan cekatan membuka obat yang harus diminum suaminya.     

"Iya, nggak apa-apa. Besok suruh aja suster itu yang nyuapin kamu," kata Monica kembali membalik tubuh dengan dua tangan penuh memegang gelas air minum dan beberapa butir obat.     

Monica menyerahkan satu obat pertema kepada suaminya. Dan Nino menerima dengan biasa. "Beneran nggak apa-apa, Sayang? Kamu nggak marah? Aku berarti boleh pilih suster yang cantik dong?" Pertanyaan memberondong itu diarahkan pada Istrinya yang membalas dengan senyum simpul.     

Perempuan itu kembali memberi obat terakhir setelah melihat obat pertama telah terjun bebas dengan sukses di dalam tubuh suaminya.     

"Besok pagi setelah kamu bangun, jangan lupa ambil surat di atas nakas," ucap Monica sembari mendorong meja makan untuk berada di tempat aman. Karena sebentar lagi ia yakin akan ada suster yang mengambil kembali meja tersebut     

Nino mengerutkan kening di sela mulutnya yang mengembung karena dipenuhi air minum.     

"Iya, lihat. Terus tanda tangan, kita cerai."     

Nino membulatkan mata dan mendadak air yang berada di dalam mulut itu keluar, membasahi baju pasiennya. "Apa cerai!? Nggak, nggak! Aku nggak mau! Kamu mainnya nggak lucu, Sayang!"     

Monica menggeleng melihat kelakuhan Nino. Iris mata hitam legam itu memutar mencari kain yang tidak digunakan. Tapi, sialnya Monica tidak menemukan apa-apa di ruang rawat suaminya.     

"Lihat bajumu basah. Ayo ganti dulu," kata Monica yang dibalas lelaki tampan itu dengan gelengan. "Nanti masuk angin. Terus ada semut gigit kamu. Emang mau?" tambahnya yang mencoba memaksa untuk melepas kancing baju pasien itu.     

Nino hanya diam saja saat Istrinya mulai melepas kain yang menempel di tubuhnya. "Jadi, nggak jadi 'kan? Aku tadi cuma tanya aja, Sayang. Eh, ternyata jawabannya membuat lukaku semakin sakit," celoteh Nino memperagakan dirinya yang sedang merintih kesakitan.     

"Iya, makanya jangan main-main berani minta tolong perempuan lain kalau Istrimu masih hidup," balas perempuan bernada kesal.     

Nino menunduk seraya mengangguk-angguk takut. Ia sudah seperti anak kucing yang selalu mengikuti ibunya. Mungkin ini juga adalah karma untuk lelaki itu karena dulu Nino pernah mengatakan jika dirinya tak akan menjadi seorang Delon yang selalu takut pada istri.     

"Tapi, untuk masalah pekerjaan ... aku nggak main-main. Aku nggak mau kayak gini lagi, No. Aku hampir nggak bisa hidup kalau kamu nggak bisa selamat ..."     

"Kumohon, mengerti aku. Aku nggak mau jadi janda. Ingat, yang mohon-mohon ke orang tuaku itu kamu. Jadi, aku nggak mau tahu, kamu harus hidup sampai kita tua nanti," sambung Monica sedih.     

Perempuan itu tidak bisa lagi membayangkan bagaimana jika Nino benar-benar meninggalkan dirinya. Hidup tak akan lagi sama, jika orang yang kita cintai pergi. Meski, pengganti akan selalu ada. Tapi, satu hal yang tak akan pernah bisa sama yaitu dalam hal mencintai.     

"Kumohon, No!"     

Tubuh Monica bergetar saat kancing terakhir sudah akan terlepas. Namun, jemari itu tak berdaya dalam melepaskan kancing tersebut.     

Nino menghembuskan napas berat. Ia menyentuh tangan Istrinya, ditariknya hingga menyentuh bibir tipis itu.     

"Aku hanya kurang hati-hati, Sayang. Aku nggak akan pernah meninggalkanmu. Percayalah," ucap Nino membuat Monica menggeleng dalam Isak tangisnya. Perempuan cantik itu melepaskan kasar tangan yang digenggam Nino.     

"Kamu yang nggak pernah ngerti aku! Kita nggak lagi pacaran. Kita udah menikah! Aku butuh kamu dan anak kita, tapi apa? Kamu tetap egois!" Monica berlari meninggalkan Nino yang terpaku di sana.     

Lelaki itu membeku seketika saat mendengar perkataan Monica. Ia tidak tahu apakah yang dirinya dengar nyata atau tidak. Namun, gendang telinga Nino benar-benar mendengar jelas jika Monica menyembut anak mereka.     

"Sayaang tunggu, jangan pergi!".     

"Aawhh!" Nino mengaduh kesakitan saat tubuhnya reflek ingin bangkit dari tidurnya. Tapi, ia tidak mampu. Tubuh Nino masih sangat lemah meski ini sudah hari ke tujuh dirinya dirawat.     

"Anakku ... aku mau jadi papa? Hah, benar 'kan itu? Ya Tuhaaan, terima kasihhh!" teriak Nino kencang hingga membuat seseorang yang sedang berjalan di ambang pintu segera berlari ke arah dalam.     

"Heey, gilaa! Lo ngapain, ngagetin aja!"     

"Teriak-teriak kayak nggak punya rumah!" sambungnya lagi sembari berkacak pinggang menatap berkilat pada Nino yang masih bertelanjang dada dengan luka terbalut kain kasa.     

Nino berbinar melihat Kakaknya sudah berada di depan mata. "Cepat susul istri gue, Kak! Gue mohon ... dia lagi marah sama gue, dan Monica hamil. Tolong, bawa Monica kembali ke sini," pinta Nino dengan menangkupkan kedua tangan di depan kepala depan kepala yang tertunduk.     

"Ha? Hamil? Kok bisa?" tanya Regan terkejut.     

Nino mengusap wajahnya frustasi mendengar pertanyaan bodoh Kakaknya. Ingin rasanya ia melempar tiang inpus di atas kepala Regan sampai dia ingat betapa perkasanya seorang Nino.     

"Gue cowok tulen, Kak! Lo kira gue apaan?" seloroh Nino. Ia tak habis pikir dengan ekspresi yang baru ditunjukkan Regan padanya saat ini. "Lo mau bukti? Buka sendiri kalau mau!" tambahnya lagi.     

Regan menautkan kedua alisnya melihat tatapan Adiknya mengarah pada sesuatu yang berada di balik celana panjang pasien lelaki itu.     

"Sialan Lo! Gue juga punya kali, bentar gue kejar demi keponakan baru!" teriak lelaki berkaca mata yang sudah berlari.     

Nino menepuk-nepukkan kedua rahangnya untuk membangunkan dirinya dari kenyataan yang indah ini. Ia tidak menyangka impiannya sedari kecil sudah terwujud, meski ia tak pernah menyangka bisa menikah di umur semuda ini.     

Sedangkan Regan berlari ke arah taman rumah sakit. Ia hanya menurut pada insting kebiasaan sang istri yang mungkin saja sealur dengan Monica karena mereka berdua adalah sahabat.     

Regan menaikkan sedikit kaca matanya yang sedikit mengendur. Lalu, perhatiannya tiba-tiba teralih pada sosok perempuan sedang duduk di bangku putih panjang besi bercat putih.     

"Monicaaa!" teriak Regan sekali lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.