HE ISN'T MYBROTHER

Kamu Sedang Memuji Lelaki Lain



Kamu Sedang Memuji Lelaki Lain

0Anin bingung dengan apa yang ia dengar. Perkataan Max seakan seperti obat bius untuk Anin. Ia mengerjabkan mata berkali-kali untuk memudarkan pesona lelaki yang berada di depan hidung mancungnya.     
0

"A-apa?" Hanya pertanyaan itu yang mampu keluar dari mulut Anin. Selebihnya, otak perempuan itu kosong.     

Max yang sedaritadi menatap lekat kedua iris mata indah wanita di depannya. Kini wajah itu berpaling ke kanan. Dan segera melepaskan pelukan pada pinggang Anin.     

"Maaf, aku bersifat kurang ajar padamu," ucap laki-laki itu sembari membenarkan letak berdirinya sedikit menjauh dari tubuh Anin.     

Wanita itu menurunkan pandangan seraya berdehem pelan untuk menyegarkan tenggorakannya yang kering.     

"Tidak apa-apa. Apa kita bisa berangkat sekarang?" tanya Anin sembari menunjuk dengan ibu jari ke arah pintu keluar dengan posisi tubuh membelakangi pintu.     

Max mengarahkan pandangan ke arah di mana Anin menunjuk, sedetik kemudian lelaki itu mengangguk. "Ayo, sepertinya kau sudah lelah," balasnya.     

Anin mengulas senyum cantiknya membalas perkataan Max. Ia berjalan di belakang lelaki tampan itu dengan perasaan kembali hangat seperti dulu. Andai seluruh masalah dan perselingkuhan itu tak pernah terjadi. Mungkin saja mereka sudah menikah.     

Wanita itu menggeleng kasar di sela kakinya berayun, ia seperti orang bodoh memikirkan masa lalu yang seharusnya ia sudah kubur dalam-dalam. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, tidak ada kata kedua untuk pasangan peselingkuh.     

Namun, sepertinya hati dan tubuh Anin berkata lain untuk prinsip hidup yang telah ia tanam sejak kecil. Max adalah kekuatan dan kelemahan untuk dirinya. Dan tak mungkin Anin bertahan untuk itu semua. Ia akan lebih terjerumus semakin dalam, jika kembali merajut kasih.     

"Ada apa?" Pertanyaan itu membuat langkah kaki Anin terhenti seketika. Wajah yang sedaritadi menunduk dalam lamunan, kini berubah tegang dihadapkan wajah tampan Max.     

Anin menggeleng untuk kesekian kali. "Aku hanya memikirkan kakakku," jawab bibirnya begitu saja. Semoga lelaki itu tidak bisa menebak apa yang telah ia pikirkan sepanjang lorong kantor ini.     

Max mengangguk, lalu kembali memutar tubuh tanpa bertanya lebih lanjut. Sedangkan Anin sudah menghembuskan napas panjang untuk melegakan hatinya.     

'Beruntung aku kali ini. Lain kali aku tidak boleh mengingat semua. Dia hanya sebatas teman,' batin Anin menyadarkan kembali siapa dirinya dan Max sekarang.     

Di sebuah kamar mewah yang hanya ditemani lampu temaram terdapat dua pasangan yang saling berpelukan untuk memberi kehangatan satu sama lain. Walau jarum jam masih terus saja berjalan tanpa peduli permintaan sejuta umat untuk memutar kembali waktu. Termasuk dirinya, Rachel.     

"Kamu tahu apa yang paling terpenting di hidup ini, Sayang?" tanya seseorang bernada berat yang sekarang sedang membelai kening lembut perempuan cantik di dalam dekapannya.     

Perempuan itu menggeleng dengan tatapan yang masih lekat memandang iris hitam legam menenangkan di depan pantulan iris coklat matanya.     

"Orang tua. Aku memang masih kesal dengan papa Dinu dan mama Marina. Tapi, aku tetap menganggap sebagai orang tuaku. Meski, seluruh kepercayaanku telah hilang."     

Rachel menelusupkan tangan kanannya ke dalam pelukan mereka yang beradu ketika tangan itu sedaritadi hanya mengusap punggung kekar laki-laki tampan itu.     

"Aku tahu. Kau bukan sosok monster yang mereka gambarkan. Akulah yang tahu kau siapa. Kau suamiku, sahabatku, dan kakak yang baik," balas Rachel sembari mengusap rahang tegas yang sedikit ditumbuhi jambang.     

Delon mengulas senyum simpul tampannya. "Aku harap kamu pun begitu. Meski mama dan papa terlihat begitu jahat di mata orang lain, tapi jangan pernah kamu pandangan mereka seperti itu," sambung Delon tak lupa memberi kecupan basah di kening istrinya.     

Rachel terdiam, ia kembali berkutat pada ingatan tadi sore setelah ia menerima panggilan dari Martha. Hatinya hancur, seseorang yang ia kagumi akan seluruh sikap dan kesetiaan terhadap apa pun kini membuat luka sedalam ini.     

Perampasan harta adalah sesuatu hal yang Rachel benci. Mereka tidak akan tahu bagaimana seseorang itu memperjuangkan, mempertahankan, dan mempersiapkan untuk seseorang yang mereka kasihi.     

Tetapi, kenapa segampang itu seorang sahabat menusuk dari belakang. Tanpa memikirkan bagaimana tali tipis yang mereka jalin menjadi tali kuat selama bertahun-tahun. Dan lebih parahnya, hal itu dilakukan oleh kakek dilanjutkan oleh kedua orang tuanya.     

Dosa apa yang membuat kelaurga Rachel menjadi seperti ini. Beruntung ia memiliki Delon yang selalu menjadi tumpuan kesedihan Rachel setelah beberapa masa pilu telah mereka lalui bersama.     

"Aku hanya kecewa, Kak. Mereka memberiku makan dari hasil yang tak bisa kumaafkan. Apa mereka pikir selama ini aku selalu menyukai hal mewah yang mereka beri padaku?" tanya Rachel yang terselubung makna kekecewaan.     

Delon menarik tubuh istrinya semakin dalam, membenamkan wajah cantik yang tertinggal bekas luka jahitan di beberapa inci kening dan dagu.     

"Mereka tidak mau melihatmu susah. Lihat umur mereka sudah berapa dan umurmu berapa. Mereka berjuang keras mendapatkanmu, Sayang. Tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya susah ataupun menderita ..."     

"Jika pilihan Anin sudah jatuh pada hukum Negara. Kita harus bisa memberi kekuatan bagi mereka. Apa kamu mau?" Lanjut Delon yang kembali memaksa wajah cantik itu memberi jawaban saat ini juga.     

Rachel menerbitkan senyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putih rapinya.     

"Mau. Aku akan meminta maaf besok karena suamiku sangat bawel."     

Jawaban Rachel membuat hati Delon lega setika. Beban yang bertumpuk dalam relung hatinya kini perlahan memudar. Jika Rachel sudah memaafkan dan mau mendukung Martha dan Jeno, ia akan sekuat tenaga untuk mencari celah maaf dari Anin.     

"Sebawel apa aku? Bahkan anak-anak lebih menyukaiku saat mandi," jawab Delon dengan percaya diri tinggi. Sekarang Rachel sudah kembali ke dalam dekapan suaminya. Merapatkan tubuh, tanpa ada cela sedikit pun.     

"Karena kalian selalu menghabiskan sabunku."     

Delon yang menutup kelopak mata sembari membalas dengan tawa nyaring. Ia memang selalu membiarkan kedua anaknya bereksperimen dengan jumlah busa yang mereka ciptakan sendiri.     

Karena hal itu bisa membuat daya otak anak-anaknya meningkat. Meski, pada akhirnya ia harus mendengar omelan melengking di gendang telinganya.     

"Kak, apa hubungan Anin dan Max? Kenapa aku merasa mereka punya hubungan lebih?" tanya Rachel dengan ingatan kembali memutar kepada pengakuan Max dan Anin.     

Delon menggeleng kepala, dirinya juga baru tahu hubungan mereka berdua saat berada di kamar rawat Istrinya. Apalagi saat ia melihat Max datang justru bersama dengan Anin.     

"Yang kutahu Max bukan pecinta satu wanita. Kau tahu sendiri siapa Max saat pertama kali melihat dia di rumah Regan. Tapi, sayangnya kamu lupa waktu itu karena terlalu lama koma," tanggap Delon sesuai dengan yang ia lihat.     

Rachel mengangguk-angguk membenarkan apa yang dikatakan suaminya. Ia bahkan hampir lupa telah mengalami sebuah kecelakaan hebat.     

"Max tampan, wajar saja dia menjadi Playboy bukan?"     

"Kamu sedang memuji lelaki lain. Dan aku masih hidup di sini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.