HE ISN'T MYBROTHER

Kau Sudah Sadar Anita?



Kau Sudah Sadar Anita?

0"Bagaimana, Ma? Apa mau Sarah sudah menelpon Mama?"     
0

Wanita paruh baya yang sedang terduduk di bangku samping brankar Rachel akhirnya harus menghela napas panjang. Jarum Jam sudah menunjuk ke angka empat pagi.     

Dan lihat, putrinya sama sekali tidak memejamkan mata semenjak kepergian Sarah hingga detik ini. Hanya pertanyaan itu yang selalu Rachel ulang.     

"Tidurlah, Sayang. Sarah memang belum mengabari tapi mama yakin sebentar lagi, dia akan mengabari kita," tutur wanita paruh baya itu mengusap lembut lengan tangan putrinya.     

Sejujurnya Martha pun juga tak bisa pergi untuk melelapkan mata. Ia juga resah, ingin mendapatkan kabar scepat mungkin dari Sarah tentang keadaan Nino seperti apa.     

Namun, ia meyakini keadaan yang dialami Nino memukul sahabatnya begitu dalam. Dan hal itu tak akan mudah untuk diterima begitu saja.     

Martha harus bisa lebih sabar menanti kabar itu. Orang-orang di sana pasti juga sedang sangat cemas dengan keadaan Nino.     

"Rachel tidak bisa tidur, Ma. Ini semua karena Rachel. Kalau Rachel nggak lumpuh pasti kak Delon nggak akan menyuruh mereka semua buat nangkap orang itu ..."     

"Ini salah Rachel! Ini salah Rachel!" Lanjutnya dengan menangis tersedu sembari mencengkram kuat sprai tempat rawatnya dengan kuat.     

Martha mendirikan tubuh setelah mendengar suara Isak tangis putrinya. Ia pun tak kuasa menahan rasa sedih yang menyelimuti hatinya dan hati Rachel. Mereka tidak bisa melakukan apa pun, selain berdoa dan menjalani semua takdir ini.     

"Mama juga sulit menerima keadaan ini, Sayang. Tapi, sesulit apa pun Mama. Mama akan selalu berada di sampingmu. Jangan salahkan dirimu ... kau tahu, kau tidak sen—"     

"Sayang!" Suara itu membuat Martha memutar kepala. Namun, tidak dengan Rachel. Perempuan itu masih tetap terisak, ia tidak menyadari suara pelan itu sampai di gendang telinganya.     

Martha mengulas senyum saat melihat lelaki tampan itu sudah perlahan mengikis jarak di antara mereka bertiga. Wanita paruh baya itu meneliti seluruh penampilan menantunya yang sangat memprihatinkan. Pakaian yang lelaki itu pakai tersobek di berbagai sisi. Apalagi wajah itu penuh dengan luka goresan baru.     

"Kamu kenapa?" tanya Martha dengan bahasa isarat, hanya membuka mulut tanpa bersuara. Tapi, Delon hanya menjawab dengan gelengan kepala.     

Martha menghela napas panjang kembali. Lalu mengangguk paham. Tanpa lelaki itu berkata, ia tahu jika Delon dan Nino dalam satu situasi yang sama.     

Dirinya mengangguk, lalu menyerahkan kursi itu kepada sang pemilik yang sesungguhnya.     

Delon mengangguk kembali seraya mengulas senyum simpul tampan sudut luka di sisi bibir. Lelaki itu mulai mendudukkan dirinya di sana, mendengar dengan seksama namanya yang terus saja dipanggil oleh istrinya tercinta. Delon terkekeh kecil. Bagaimana bisa dirinya akan pergi lebih jauh jika Rachel selalu tak berhenti memikirkan dirinya.     

"Apa kamu tidak mengantuk? Kenapa terus saja menangis?" tanya Delon yang sontak langsung membuat perempuan cantik itu menghentikan tangisnya.     

Wajah yang tadi memiring ke kanan untuk menghindari tatapan Martha. Kini dia luruskan kembali. Iris coklat itu bergerak ke arah iris hitam legam.yang sedang menatapnya lekat.     

"Aku sangat mengantuk, Sayang. Apa aku bisa tidur bersamamu?"     

Pertanyaan itu semakin membulatkan apa yang sedang ia lihat. Dan itu nyata, bukan hanya sekedar bayangan yang diciptakan oleh pemikiran Rachel karena terlalu memikirkan Delon sedaritadi.     

"Kak ... apa kamu di sini? Bagaimana keada—"     

"Bagi tempat sedikit. Jangan bilang suster, nanti aku yang dimarahin," ujar Delon yang sudah berada di atas brankar bersama Rachel. Lelaki itu sedikit mengangkat tubuh istrinya untuk membagi tempat untuk dirinya.     

Sudah sebulan lebih ia tidak bisa merasakan pelukan istrinya yang selalu Delon rindukan setiap malam. Mencium dan memeluk Rachel adalah kekuatan untuk dirinya melawan dunia.     

"Kamu kesakitan, Sayang? Apa aku menyentuh lukamu?" tanya Delon yang dijawab peremouan cantik itu dengan gelengan kepala.     

Rachel justru mempererat tangannya yang melingkar di tubuh kekar suaminya. Wajah cantik itu juga dimasukkan ke dalam leher tegas Delon. Rachel pun sama merindukan lelaki tampan itu.     

"Aku bersyukur kamu baik-baik saja, Kak. Tapi, kenapa kamu bisa secepat ini pulang?" Rachel bertanya dengan mata memejam. Menghirup dalam-dalam aroma mins dari dalam tubuh suaminya.     

Delon yang tadi sedang memejamkan mata untuk menetralkan rasa lelahnya malam ini, akhirnya dirinya harus membuka mata kembali saat pertanyaan istrinya membuat ingatan Delon kembali terbuka oleh suara lari sepatu saat kedua matanya tak bisa terbuka tadi di tengah hutan.     

"Aku mengalami seluruh peristiwa yang begitu sulit kuterima, Sayang," jawab Delon seraya mengusap lembut kepala belakang istrinya.     

Rachel sedikit mengangkat kepala setelah mendengar jawaban Delon. "Apa termasuk dengan keadaan Nino?"     

Delon mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan Rachel. Seharusnya ia ada di sana sebelum Anita memberikan perlawanan kepada Nino. Ia dulu hanya sebatas tahu jika Anita pernah belajar untuk memainkan pisau. Dan ia tidak menyangka jika dengan sekali lemparan bisa mengenai tubuh Nino.     

"Lalu bagaimana keaadan Nino? Apa Monica marah padaku, Kak?"     

Delon menoleh ke arah Rachel, memberi kecupan basah di kening itu. "Hanya sementara. Itu semua wajar, karena suaminya terluka. Aku yakin kamu akan melakukan itu jika aku terluka," balasnya.     

Rachel bergeming. Ia kembali meletakkan kepala di atas bidang kekar itu. Pikirannya sudah melayang jauh memikirkan Nino dan Monica. Rachel hanya bisa berharap Monica tak akan membencinya, meski itu akan terasa sulit.     

"Jangan dipikirkan, Sayang. Aku yakin Nino akan kuat. Dia lelaki hebat yang pernah kutemui," tambah Delon membuat Rachel mengangguk dan perlahan bisa memejamkan mata. Diikuti Delon yang tak lupa memberi kecupan selamat tidur untuk sang istri. Ia pun perlahan ikut melelapkan mata seiring dengan tubuh lelahnya.     

Martha sudah tidak bisa melihat adegan manis itu karena ia sudah terlelap di atas sofa. Sejak Delon datang Martha bisa bernapas lega untuk menyerahkan sang putri.     

Sedangkan di sisi lain. Tubuh Anita berada di sebuah tempat tidur besar dengan beralas spray abu-abu. Kedua tangan dan kaki itu terborgol dengan erat. Seakan seorang tahanan penting yang tak boleh sampai lolos.     

Wanita sedikit menggerakkan kelopak matanya. Kening itu juga terlihat berkerut saat merasakan cahaya lampu begitu terang membuat matanya sedikit terganggu. Karena Anita tidak pernah menyukai cahaya terang.     

Kedua kelopak mata itu terbuka perlahan dan ia melihat samar pemandangan sebuah ruang bernuansa biru laut dihiasi dengan berbagai lukisan.     

"Aagghh!" Suara lirihan itu keluar karena merasakan kulit tangan Anita tergesek dengan tajamnya besi di pergelangan tangannya.     

"Apa-apaan ini? Kenapa aku ditahan seperti ini?" Monolog wanita itu yang mencoba memberontak tapi sayangnya, tubuh itu tak bisa lagi bergerak.     

Suara sepatu hills mendekat membuat Anita mengangkat kepala seraya masih mengerutkan kening.     

"Kau sudah bangun, Anita?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.