HE ISN'T MYBROTHER

Mencoba Menerima Keadaan



Mencoba Menerima Keadaan

Delon menghela napas panjang. Napasnya terasa tercekat di dada. Kedua iris mata hitam itu juga tak henti menatap iris coklat teduh milih istrinya.     

"Kamu sudah mendengarnya?" tanyanya, Rachel mengangguk dan langsung menunduk. "Kamu tidak akan apa-apa, Sayang. Percaya padaku."     

Kalimat penguatan untuk istrinya memang sengaja ia keluarkan berharap Rachel yang biasa ia kenal tanpa mengenal putus asa. Kini Delon melihatnya berbeda, perempuan itu nampak rapuh dengan sudut mata mencuri pandang ke arah kedua kaki yang terpujur luruh di sana.     

"Aku akan apa-apa. Aku tidak akan bisa menggendong Nathan dan Nefa lagi. Dan aku juga tidak bisa lagi menjadi istrimu yang sempurna, Kak. Hikss!"     

Rachel menangis terisak dengan posisi yang sama. Ia tidak bisa menerima keadaan dirinya yang akan lumpuh dan hanya bisa terduduk di atas kursi roda.     

"Sayang, dengar aku ... kita akan melakukan apa pun untuk bisa membuatmu berjalan." Delon terduduk di pinggiran brankar. "Kamu istri yang sempurna, Sayang. Aku sungguh beruntung mendapatkanmu." Lanjutnya.     

Delon menarik kepala istrinya yang sedang menunduk ke dalam pelukannya. Ia tidak ingin Rachel merasa sendiri menghadapi semua masalah sepelik ini.     

Tubuh perempuan itu bergetar hebat. Dengan kedua tangan mencakar kemeja belakang suaminya, melampiaskan apa yang telah terjadi padanya.     

"Aku tidak bisa merasakan kakiku, Kak. Apa aku akan lumpuh selama hidupku? Kenapa aku mengalami ini," ucap Rachel sekali lagi di sela tangisnya.     

Delon mengecup kepala belakang istrinya dengan bola mata berkaca-kaca. Tubuh kecil itu ia dekap dengan erat. "Maafkan aku, Sayang. Seandainya aku tidak mengukir masa kelam, mungkin ini semua tidak akan terjadi padamu," bisik lelaki itu dengan nada bergetar.     

Rachel tidak membalas. Ia hanya bisa diam dengan kondisi kedua kakinya yang tidak bisa lagi seperti manusia normal pada umumnya.     

"Maafkan aku, Sayang. Maaf," tutur lemah Delon sekali lagi. Ia mulai mengurai pelukannya saat mendapati gerakkan tubuh istrinya sudah mulai tenang.     

Lelaki itu menatap dalam bola mata coklat basah perempuan yang ada di depannya. Dada Delon masih saja terasa sesak melihat bola mata itu. Seakan dunia runtuh dalam sekejap mata.     

"Aku akan selalu mencintaimu seiring dengan aliran darah kita mengalir, Chel. Kamu cinta pertama dan terakhirku. Aku akan mati dalam pelukanmu." Delon mengangkat kepalanya, menderatkan kecupan basah di sana.     

Rachel menerbitkan senyum cerah di sela bibir pucat pasinya. "Aku akan membunuhmu sampai kamu meninggalkanku, Kak! Aku akan membawa anak-anakku. Kamu tidak boleh menengoknya. Jahat 'kan aku?"     

Delon terkekeh kecil mendengar perkataan Rachel. Meski tanpa ancaman itu pun, lelaki tampan itu tak akan pernah melakukan hal sebodoh itu. Rachel dan kedua anaknya adalah harta terbesar untuk seorang Delon. Nyawa dalam hidup yang tak akan pernah bisa terganti oleh apa pun.     

"Aku berjanji dan bersumpah demi janji pernikahan kita."     

Tepukan riuh membuat Delon dan Rachel berjengit. Mereka berdua mengulas senyum semakin lebar saat mendapati suara teriakan Nefa menghiasi ruang rawat tersebut.     

"Yeee... Mama dan Papa bersama lagi!"     

"Nefaa sayang Mamaaa!"     

"Nathan juga syang Mama!"     

Anak kembar Delon dan Rachel saling berseru mengungkapkan kebahagian mereka. Rasanya sulit untuk mempercayai kebahagian mereka terukir semakin kuat dengan adanya kecelakaan mamanya. Namun, Inilah yang terjadi.     

'Tenang, Pa. Nathan akan mencari siapa pemilik topeng itu.'     

Delon terlihat mengusap lembut kedua pipi Rachel. Tatapan mereka sama sekali tidak bisa lepas satu sama lain.     

"Sampai kapan tatap-tatapan terus? Waktunya makan tuh!" seru seseorang yang berada di belakangnya.     

Delon membulatkan mata, mengarahkan pandangan ke arah jam dinding yang terpasang di dinding atas brangkar istrinya. Jarum jam menunjukkan waktu dua siang. Waktu makan siang Rachel benar-benar sudah terlewat.     

"Sayang, maafkan aku. Ayo makan dulu, kamu harus makan yang lembut dulu. Karena kamu baru sadar," kata Delon yang membuat Rachel menutup mulutnya.     

Lelaki itu mengulurkan tangan untuk mengambil makanan yang sudah berada di atas meja dorong, diletakkan di samping brankar Rachel.     

Delon menaikkan kedua alisnya melihat ekspresi yang ditunjukkan perempuan di depannya. "Harus makan. Tidak ada alasan, Sayang. Lihat tubuhmu semakin kurus karena hanya diisi cairan itu," ujarnya memaksa.     

Delon tahu jika Rachel akan menolak karena bubur bukanlah makanan kesukaan perempuan itu. Namun di sela wajah yang memaksa, ia diam-diam terkekeh kecil melihat wajah menggemaskan istrinya.     

"Nggak mau, Kak. Itu pasti nggak enak. Apa aku boleh makan buah aja?" tawar Rachel, berharap jika permintaannya akan disetujui oleh suami tampannya.     

Delon menggeleng. Istrinya butuh asupan, meski hanya satu dua suap saja.     

"Kamu makan dulu, Sayang. Nanti kamu boleh makan buah lagi."     

Rachel semakin memundurkan kepala. Kedua iris coklat itu tertancap lekat pada sendokan yang tengah berada di udara.     

"Tapi Kak ...."     

Sedangkan di sisi lain Nathan menarik tangan Nino untuk menemani dirinya untuk pergi ke kamar mandi. Meski sempat menolak dengan alasan malas, akhirnya ia juga harus mau menuruti anak Bossnya itu.     

"Lama banget. Kamar mandi di dalam kamar rawat mamamu 'kan ada. Kenapa harus keluar begini sih?" gerutu lelaki yang sedang menyender malas pada di sisi tembok. Sesekali ia melihat wajah tampannya yang sudah berhasil mencuri perhatian seluruh wanita.     

Nino menggeleng dengan senyum geli. Beribu wanita cantik dan seksi yang mengejar dirinya. Tapi hati itu justru hanya bergerak pada Monica yang terkenal akan kegalakkannya.     

Meski wajah istrinya yang tak kalah cantik dengan Rachel maupun Sellyn.     

"Gue memang udah jadi suami bucin." Nino semakin terkekeh mengingat semua hal yang terjadi pada rumah tangganya.     

Di siis lain, Nathan bahkan tak memperdulikan apa yang sedang dilakukan dan ocehkan lelaki dewasa di luar sana. Jemari kecil itu terus saja bergerak dengan pantulan ribuan nomor dan huruf alphabet yang berkumpul menjadi satu.     

"Kau tidak akan pernah bisa lari. Jangan pikir anak seorang Delon hanya bisa menangis dan mengompol di atas celana," gumam bocah laki-laki itu dengan senyum seringai di bibir kecil merahnya.     

Sebenarnya Nathan tidak mau lagi menyentuh alamat hacker yang ia pelajari tanpa sengaja dari Nino dan Regan. Ia takut jika papanya akan curiga dan memeriksakan dirinya yang aneh karena bisa menembus suatu alamat IP tanpa diketahui jejak dari perangkat yang Nathan pakai.     

"Kau kebangsaan campuran, Indonesia? Wah semakin mudah saja bagiku mwnyeretmu ke kantor polisi. Tidak akan jujirkan siapa pun menyentuh mamaku," tambah Nathan dengan nada menajam. Jemari itu juga semakin gencar memeriksa keberadaan pemilik Ip yang telah ia masuki.     

"Nathaan!"     

Teriakan itu membuat Nathan mengangkat kepala, pandangan serius itu teralih pada gedoran pintu yang terjadi berulang kali.     

"Woy, sudah selesai belum? Katanya cuma pipis? Kenapa niatan awalmu jadi berubah?"     

"Kamu nggak apa-apa kan?"     

Nathan mempercepat jemarinya seiring gedoran pintu terdengar begitu menderu. Kedua mata itu terlihat serius dengan sesekali menatap ke arah pintu yang bergerak.     

"Aku dobrak! Kamu jangan di balik pintu!" teriak Nino kencang.     

BRAK!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.