HE ISN'T MYBROTHER

Empat Bulan Untuk Semua



Empat Bulan Untuk Semua

0"Akal sehatmu itu di mana, Pa?! Apa kamu bisa dipisahkan dengan anakmu sendiri? Dan tidak mengakui kepada semua orang bahwa Rachel bukan anakmu. Apa kamu sanggup?"     
0

"Apa kamu sanggup, aku tanya!?" kelakar Martha yang sudah tidak lagi bernafsu makan lagi.     

Wanita paruh baya itu mendorong piring putih yang masih berisikan masih dan sebagainya menjauh darinya.     

Jeno terdiam membeku di tempat kepalanya menunduk seakan ia pun tak akan sanggup melakukan itu pada dirinya sendiri, meskipun Jeno sangat menentang hubungan Rachel dan Delon. Tapi, ia tidak benar-benar sanggup tak mengakui bahwa Rachel sebagai putrinya.     

Jeno menyayangi putrinya dengan segenap jiwanya. Keputusan menunduk adalah keputusan yang tepat untuk saat ini menghindari tatapan tajam dari istrinya.     

"Aku tahu, Ma. Makanya aku tanya dulu padamu. Bagaimana baiknya. Karena ini tidak akan mudah. Andai saja Rachel mau menggugurkan saat kandungan itu masih muda. Pasti—"     

"PAAPAAA! Beraninya kau mengungkit ini lagi. Kalau kamu melakukan itu. Apa bedanya kamu dengan pembunuh berdarah dingin di luaran sana?" tandas Martha dengan menggebrak meja makan emosi tinggi.     

"Aku sepertinya sudah tidak bisa lagi mempertahankan pernikahan ini. Kalau kamu mau dengan sekretarismu itu silahkan. Aku sudah lelah menghadapimu," tambah wanita paruh baya itu seraya meninggalkan Jeno yang tersentak dengan perkataan dirinya.     

"Apa itu? Apa dia benar menagatakan hal itu?" Jeno mendirikkan tubuhnya dengan linglung. Ia tidak akan pernah bisa hidup tanpa Martha. Dia bukan sosok laki-laki yang dapat memindah hati kepada siapa pun.     

Martha adalah bukti dari perjuangannya menghadapi orang tua yang begitu kejam menentang hubungannya dengan Martha. Dan kenangan perjuangan itu sudah Jeno pastikan akan terkubur dengan indah bersama dirinya dan Martha kelak.     

"Masa! Kamu tidak benar-benar menginginkan itu kaaan?" teriak Jeno yang sudah menaikkan anak tangga dengan cepat. Ia tahu sekarang istrinya sedang di maana.     

Dengan berlari sedikit kencang melewati berbagai anak tangga juga. Jeno tidak begitu lama sudah sampai di kamarnya. Kedua manik matanya menyebar ke seluruh ruangan kamarnya. Tapi, ia malah menemukan korden balkon melambai lembut mengikuti dorongan angin malam yang begitu menusuk di kulit.     

"Mama ..." panggil Jeno yang perlahan mendekat ke arah korden berwarna gray, menembus dengan perlahan helai demi helai korden tersebut dan benar. Kedua manik hitam itu menemukan sosok wanita yang selalu mengisi hidupnya berdiri di sana.     

"Jangan peluk aku." Suara Martha membuat Jeno yang tadi akan memeluk tubuh itu kembali memundurkan lengan tangannya. Lalu, memilih berjalan dan berdiri di samping tubuh itu.     

"Kamu tidak benar-benar menginginkan itu kan, Ma? Kamu lupa bagaimana kita berjuang?" kata Jeno yang membuat Martha menoleh ke arah pusat suara.     

"Ingat."     

Jeno menghela napas panjang saat mendengar suara dingin itu. "Aku akan membatalkannya, Ma. Aku tidak akan memaksa Rachel."     

Jeno pikir setelah dirinya mengatakan hal ini Martha akan memeluknya dan mengatakan cinta berulang kali. Tapi, nyatanya, istrinya masih memandang lurus ke depan. Seakan sedang ada yang mengganggu pikirannya.     

"Maa... apa kamu benar tidak menyukai keputusanku? Apa aku sudah terlambat?" tanya lelaki paruh baya itu dan Martha menjawab dengan menggeleng pelan.     

"Aku tidak mau hidup bersama dengan suami yang tidak mau berdamai dengan keadaan." Marha membalikkan tubuh, hendak berjalan meninggalkan Jeno di sana.     

Tapi, tiba-tiba langkah wanita paruh baya itu terhenti saat sebuah tangan mencekalnya. "Kamu mau aku seperti apa?"     

"Berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan Delon dan Rachel ... mau sampai kapan kamu memiliki perasaan dendam seperti itu. Bukankah sudah jelas bukan Dinu yang merancang kehancuran perusahaan kita?" jawab Martha yang dengan kasar melepaskan cekalan tangan suaminya pada lengan tangan tuanya.     

***     

"Sayang ... kamu pikir aku apa? Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini," rengek Delon yang semakin pusing menghadapi istri ya dan dua anaknya yang semakin menjadi-jadi mengerjai dirinya.     

Rachel menahan tawa dengan menutup mulutnya. Perutnya sudah semakin besar dan kemauan untuk melihat sisi lain dari suaminya sungguh membuat sensai kebahagian tersendiri di hari-hari Rachel.     

Empat bulan adalah angka yang membuat Rachel menangis haru. Banyak masalah yang perempuan itu lewati dengan menggegam tangan suaminya erat. Rachel berharap sesuatu yang baik akan jatuh pada kedua anaknya kelak.     

Dan sekarang Rachel ingin melihat suaminya menggunakan daster seraya menari jaipong. Ohh... sungguh penampilan yang tidak akan pernah terlupakan untuk seoarang Rachel selama hidupnya.     

Lelaki yang selama ini begitu tegas dan kejam. Bahkan, ia melihat sendiri Delon mempunyai kemampuan menembak dengan begitu hebat harus melanggak-lenggokkan pinggulnya untuk membuat tiga penonton itu merasa puas. Meski tidak semahir penari profesional, tapi Rachel sangat puas.     

"Sini, Sayaang ...." Rachel merentangkan kedua tangannya di udara untuk menyambut suami terhebatnya.     

Delon nampak berbinar saat kalimat itu terucap dari bibir istrinya. Ini artinya, Rachel sudah tidak lagi menginginkan dirinya untuk menari seperti itu lagi.     

Lelaki tampan itu segera berlari dengan masih menggunakan daster milik Rachel dengan wajah yang begitu menggemaskan seperti anak kecil yang begitu merindukan ibunya.     

"Sayang, kamu sudah puas belum? Aku tidak mau anakku ngiler nanti," lirih Delon yang sudah masuk ke dalam pelukan sang istri mencium penuh leher putih terbuka itu.     

Sedangkan Rachel mengusap lembut kepala belakang suaminya yang seperti biasa selalu ingin diperlakukan seperti ini jika menghamburkan ke dalam pelukan dirinya.     

"Puas, sangat puas. Kamu memang selalu hebat, Kak. Aku pikir IQmu harus menurunk pada kedua anak kita. Aku ingin mereka menjadi seorang profesor," jawab Rachel yang membuat Delon mengurai pelukannya dengan menengadah.     

"Kenapa profesor? Aku ingin mereka jadi mereka sendiri. Kita tidak boleh memaksakan mereka ... aku tahu mereka akan sepintar mamanya juga," sanggah Delon yang juga langsung memberi kecupan sayang pada pipi putih Rachel.     

"Apa kamu pikir begitu?"     

Delon mengangguk. "Tentu, Sayang. Apa kamu lupa sebarapa tinggi IQmu ... sayangnya saja kamu pemalas. Hahaha," balas lelaki tampan itu dibarengi dengan tawa ringannya.     

Sedangkan Rachel yang tidak terima ingin langsung memukul lengan bahu suaminya. Tapi, tanpa diduga Delon menangkapnya dan mengarahkan pada sesuatu yang sudah mendesak di bawah sana.     

Wajah Rachel sudah bersemu merah saat tangan Delon menuntun jemarinya untuk memuaskan sesuatu di sana.     

Delon sudah menggeram kuat seraya melumat perlahan bibir tipis Rachel. lalu, perlahan bibir itu mulai turun hingga ke leher jenjang Rachel memberiksan hisapan dan gigitan di sana hingga membuat perempuan itu tak henti-hentinya mendesah karena perbuatan sang suami.     

"Terus, Sayang. Aku rindu jarimu ... Kamu bisa melepaskan," pinta Delon yang dituruti Rachel. Setelah merasakan sentuhan jemari istrinya, Lelaki itu membuka mata. Lalu, menderatkan bibirnya pada kening Rachel.     

"Aku tidak akan meminta lagi, Sayang ... aku tahu kamu lelah."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.