HE ISN'T MYBROTHER

Semua Belum Berakhir



Semua Belum Berakhir

0"AAWKHH ...!"     
0

"Tuaan Antoni! Lenganmu tertembak. Darahmu keluar begitu banyak."     

"Jangan pernah macam-macam dengan kami, Tuan Anton! Apa kau pikir aku akan tinggal diam melihatmu mengacung senjata? Kali ini kau kalah lagi."     

Regan sudah kembali membidik senjatanya pada sasaran yanga bergerak maju ke arahnya. Bahkan tembakkan sudah melintasi di samaping kepala Regan. Bukannya ketakutan, Regan menarik satu lagi senjatanya yang berada di pinggang, melemparkan pada Delon yang bergerak mendekat.     

"Tangkap, Boss!"     

Delon menangkap dengan sempurna. Lalu anak buah Delon kemabali menyebar setelah Regan sudah tidak lagi sendiri. Jika, Delon di sana pasti tidak aakan pernah selamat. Meskipun, itu penembak profesional.     

Suara tembakkan menderu di di telinga tidak ada habisnya. Seakan ini adalah permainan yang wajar saja dilakukan. Padahal, sudah banyak korban yang berjatuhan akibat pertempuran senjata itu. Delon dan Regan saling membidikkan pada berbagai serangan pada anak buah Antoni.     

Dan sang pemimpin pun perlahan mendirikan tubuhnya kembali. Meskipun tangan kanannya telah tertembus timah panas Regan itu tidak membuat Antoni akan merelakan pertempuran ini benar-benar akan berakhir kekalahan pada kubunya.     

"Serahkan pistolmu!" Antoni merebut paksa senjata itu dari tangan anak buahnya yang sedang menatih tubuh kekar itu.     

"Tuan Antoni sebaiknya jangan menyerang lagi. Anak buah kita sudah banyak yang ditembak oleh anak buah Tuan Delon, Tuan. Tubuh Anda ju—"     

"Diam! Aku tidak mau terkalahkan dengan cara seperti ini. Jika, aku terluka. Maka, dia juga harus terluka!"     

Antoni sudah kembali mengarahkan senjatanya dengan bergetar ke arah Delon. Karena rasa sakit yang mendera di luka tembakkan itu membuat Antoni sedikit goyah menetapkan arah pada sasarannya.     

"Tepat, sekarang!"     

"Tuan Delon arah jam sembilan!" teriak anak buah Delon bertepatan pada melesatnya timah panas yang sudah dilepaskan oleh Antoni.     

Delon menoleh ke arah jam sembilan yang di sana sudah ada Antoni. Sedangkan Regan masih sibuk melakukan perlawanan pada anak buah Antoni yang seakan tak ada habisnya.     

"Aaaggghh!" Delon meringis kesakitan saat kemejanya sudah berubah warna memerah darah.     

Tapi, berbeda dengan Antoni yang merengut kesal, melihat targetnya kurang sesuai. Seharusnya Delon bisa mati sekarang dengan tembakkannya. Karena tangannya yang kesakitan, ia tidak bisa menembus jantung Delon.     

"Kau tidak apa-apa, Boss? Darahmu begitu banyak walau peluru itu hanya mengenai kulit dadamu. Benar-benar gila! Beruntung tidak menembus jantungmu," ujar Regan yang merobek kemeja Delon melihat luka itu membentuk seperti jalan dengan darah yang senantiasa keluar.     

"Sialan, meleset! PERGI!" ucap Antoni yang langsung menarik anak buahnya untuk mundur sebelum dia benar-benar kehilangan anak buahnya semakin banyak hanya karena keahlian anak buah Delon.     

Anak buah Antoni pun langsung berjalan mundur setelah mendapat ultimatum sang pemimpin. Dengan langkah tertatih, Antoni menatap tajam ke arah Delon. Seakan serangan ini tidak akan berakhir dengan seperti ini saja.     

DOR ...!     

Regan menembak untuk yang terakhir saat melihat anak buah Antoni masih ada yang mencoba mengarahkan bidikkannya pada pungunggung Delon. Dengan tangan yang terampil, Regan melesatkan timah pananya di depan dahi. Sehingga tubuh anak buah Antoni mati di tempat.     

"Dasar kecoaa!" Regan meniupkan ujung pistolnya dengan gerakkan yang begitu apik. Seakan dirinya adalah seorang 'koboy.'     

Delon masih menatap mobil Antoni yang bergerak cepat melewati mobilnya. Ia sebenarnya lelah melakukan hal seperti ini. Tapi, apa boleh buat. Antoni sudah kembali mengibarkan bendara peperangan setelah kenangan mereka dulu telah dikubur dengan sengaja. Maka, Delon akan menunjukkan bagaiamana arti 'kejam' sengguhnya.     

"Apa ada informasih tentang anak buah kita yang berada di Belanda?" tanya Delon membuat Regan mengangguk.     

"Laporannya dikirim ke rumak ... ku," balas Regan dengan terbata.     

Bola mata hitam Regan berputar di saat ia lupa di rumah tidak hanya dirinya dan Nino yang tinggal di sana. Bukan ... bukan itu maksudnya. Maksud Regan di sana ada istrinya dan istri bossnya. Sudah pasti laporan itu jatuh pada mereka.     

Delon menghela napas beratnya dengan menepuk bahu kekar Regan dengan hentakkan yang cukup membuat lelaki berkaca mata itu mengerang kesakitan.     

"Apa kau yakin laporan itu akan aman di rumah? Hemm?" tanya Delon dengan menekan kalimatnya. Ia sudah akan menduga jika akan terjadi sesuatu jika dirinya menginjakkan kaki di rumah Regan.     

Di rumah Regan. Setelah Nino berhasil membawa ketiga perempuan itu sampai di rumah dengan selamat tanpa kekurangan apapun. Kini ia memilih untuk mengurung dirinya di kamar, meminta agar tidak ada satu pun yang mengganggu dirinya.     

Nino memang sedang mengerjakan tugas yang diberikan Delon. Tugas yang berkaitan dengan informasi tentang kematian Ricko. Menurut Nino, Ricko tidak mungkin tidak memiliki identitas, meskipun seorang gelandangan sekali pun pasti juga miliki identitas yang bisa diakses Nino.     

Tapi, untuk kasus Ricko begitu aneh. Tidak ada akses yang menunjukkan bocah berumur enam tahun itu tercatat dalam sistem kelahiran enam tahun lalu. Seluruh informasi seakan sengaja ditutup rapat oleh seseorang.     

"Seberapa cerdiknya kalian menyembunyikan identitas anak itu ... gue pasti bisa dapetin," gumam Nino saat mata hitam bulat itu menatap lekat beberapa simbol nomor dan abjad huruf yang tercampur menjadi satu di layar komputernya.     

Nino seakan terlihat begitu jenius jika seperti ini. Pasti semua orang tidak akan pernah menyangka playboy seperti Nino yang sering menghabiskan seluruh malam di tempat tidur bersama para wanita bayaran bisa memiliki IQ begitu tinggi, meskipun tidak setinggi IQ Delon. Namun, untuk seorang Nino, ini cukup bisa dibanggakan.     

Lelaki itu menggeleng kepala saat jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Tiba-tiba ingatannya beralih pada kekasihnya. Sebelum Nino memilih bertapa di dalam kamar. Mungkin untuk beberapa hari.     

Ia sudah meminta jatahnya, mencium bibir Monica dengan begitu panas seakan ciuman itu menuntut hal lebih dari itu. Namun, sayangnya mami Sarah datang saat tangan Nino sudah mulai mengusap lembut perut rata Monica.     

Bibir tebal memerah itu selalu saja begitu membuatnya gila saat mereka mulai saling bersentuhan ditambah saat ludah mereka saling bercampur. Aaggh... rasanya ingin sekali mendobrak pintu kamarnya dan meninggalkan sementara tugasnya. Tapi, jika hal itu sampai terjadi. Nino pastikan dahinya akan jebol oleh timah panas Delon.     

"Dasaar lelaki tuaa gilaa! Harusnya gue indehoy, malah ngerjain tugas ini," gerutu Nino dengan jemari yang masih bergerak lincah.     

Sedangkan di sisi lain Rachel tidak sesuai dengan perkiraan Delon. Perempuan itu tertawa-tawa riang di depan tv bersama dengan mami Sarah, Sellyn, dan Monica.     

Mereka sedang melihat sebuah drama Turki yang begitu mengocok perut. Tak henti-hentinya tawa kencang Rachel menguasai ruangan besar itu. Hingga membuat ketiga orang di sana menggeleng.     

"Emang ibu hamil habis nangis langsung ketawa-ketawa gitu?" sindir Monica yang dibuat bingung dengan kelakuhan Rachel tadi yang sama sekali tidak bisa dia tebak.     

"Apalagi tadi juga gul—"     

"STOP, MALU!" Wajah Rachel bersemu merah mengingat tindakan bodohnya tadi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.