HE ISN'T MYBROTHER

Sialan Nino! Kissing Live!



Sialan Nino! Kissing Live!

0Monica terdiam. Ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk menjawab pertanyaan Nino. Hanya satu pertanyaan yang berputar pada pikirannya saat ini. Kenapa yang dikatakan Nino sama persis dengan apa yang ia rasakan seminggu yang lalu dan saat ini?     
0

"Lo udah bikin gue kacau, Mon. Gue pikir itu cuma sementara aja. Karena sebulan ini kita berdua tanpa yang lain. Tapi, gue ternyata salah. Lo tahu, gue kesiksa harus ngelampiasin ke jalang ..."     

"Mereka juga masih ngga bisa ngalihin otak gue. Gue bersyukur, gue bisa nurunin jalang itu di pinggir jalan, karena gue bisa ketemu Lo," sambung Nino dengan pandangan yang kini beralih pada manik mata hitam indah perempuan yang kini berada di dipangkuannya.     

"Lo, salah, itu bu—"     

"Itu, cinta. Gue udah nyangka itu cinta," jawab cepat Nino dengan mengulas senyum lebar, mengusap lembut pipi putih Monica.     

Monica memutar bola matanya jengah. Ia beniat ingin menyangkal perkataan Nino. Mana mungkin seorang Nino—penakhluk para perempuan- itu mengatakan cinta? Cinta pada jengkal paha maksudnya?     

Ia bahkan merutuki perasaannya yang begitu salah menyukai Nino tanpa perempuan itu sadari. Jika, ada seseorang yang berbaik hati bisa menghilangkan perasaannya pada Nino. Monica akan senang hati meminta bantuan seseorang itu.     

"Hahaha. Ngawur, Lo! Ayo, anterin gue pulang. Gue ngga tau daerah mana ini. Kalau gue tahu, pasti gue ngga akan minta bantuan, Lo," ungkap Monica yang berusaha melepaskan diri dari pangkuan Nino. Tapi, lelaki itu menjawab dengan menggeleng.     

Hei? Dia menolak?     

"Gue tahu Lo cuma agak pusing saja. Gue pikir, Lo masih bisa berpikir sehat."     

"Lo, itu Nino ... seorang Nino ngga mungkin jatuh cinta. Tenang, gue ngga kan bilang ke siapa pu—"     

Bola mata membulat saat mendapati bibir Nino sudah mengecupnya dalam tanpa bergerak di sana. Bahkan hanya kedua bola matanya yang terbuka. Ia melihat kelopak mata Nino terpejam dengan begitu tenang tanpa paksaan di sana.     

Monica semakin tidak paham dengan apa yang ia rasakan saat ini. Hati berdebar, dan detak jantungnya bergerak tak beraturan. Bibir mereka memang tidak saling bergerak, tapi tangan Nino perlahan meraih tangannya untuk digerakkan di depan dada bidang lelaki itu. Sedangkan tangan Nino, dia letakkan di depan dada Monica.     

Monica semakin terbelak saat mengetahui detak jantung Nino begitu sama dengan dirinya. Di dalam sana seakan ada seseorang yang sedang berlomba memukul-mukul dengan ritme yang begitu cepat.     

Nino mengulas senyum tampannya disela deratan bibir mereka. Monica juga tidak mampu menolak, tubuhnya benar-benar telah membuat dirinya malu setengah mati.     

Tidak berapa lama, Nino melepaskan bibirnya dengan diakhiri kecupan basah di permukaan kulit lembut tersebut.     

"Masih ngga mau ngaku? Lo suka gue kan?" Pertanyaan Nino yang tiba-tiba itu membuat tubuh Monica menegang. Ia juga bukan perempuan kemarin sore, yang tidak tahu arti degub jantung tak beraturan. Tapi, apa dirinya harus mengatakan sejujurnya? Lalu, bagaimana jika, Nino mempermainkan dirinya?     

Ah... Tidak! Ini tidak boleh! Monica takut. Ia tidak mau bermain-main seperti itu.     

"Mimpi sana yang jauh! Gu–ue ...." Monica mencari alasan dengan memutar pandang ke semua arah. Dibalik keindahan danau ini, suasana juga begitu sepi. Ia akan mempergunakan alasan tersebut. "Takut. Gue takut ada bintang buas di sini," sambungnya dengan berpura-pura bergidik.     

Nino yang melihat ekspresi wajah ketakutan Monica malah tertawa terbahak. Baru kali ini perempuan itu ketakutan setahu Nino, Monica adalah perempuan yang tak pernah mengenal rasa takut. Terbukti, sekarang ia menyukainya. Dia perempuan yang berbeda dari perempuan lainnya yang pernah Nino temui.     

"Jangan sok lemah. Gue tahu Lo! Jangan buat alasan buat ngingkarin hati Lo ke gue," ujar Nino yang semakin mendekatkan wajahnya semakin dekat dengan wajah Monica.     

Monica yang merasa nyawanya terancam, ia langsung menutup kedua wajah yang sudah memerahnya dengan kedua buku tanganny. Ia tidak melihat kedua mata hitam legam itu. Jantungnya terasa ingin melompat dari tempat.     

"Lo menang! Iya, Lo menang, Nino! Gue emang suka sama Lo! Sekarang Lo puasa!" teriak tertahan Monica karena menutup wajahnya dengan buku tangannya. Ia benar-benar tidak Melihat Nino yang pasti akan menertawakan dirinya.     

Nino yang mendengar pengakuan itu mengangkat kedua alis tebal hitamnya. Sekali lagi senyum itu terbuka lebar tanpa halangan.     

Monica membatu. Ia merasakan kedua punggung tangannya telah terasa basah kembali. Namun, ciuman itu begitu lembut. Bahkan ia tidak sadar, kapan kedua buku tangannya sudah terbuka.     

"Kita pacaran kan?"     

Pertanyaan Nino, hanya dibalas dengan pandangan manik mata Monica bingung.     

Lelaki itu menggeleng dengan masih mengulas senyum tampannya menarik tengkuk Monica. Lumatan itu kembali terjadi setelah sekian lama mereka berpisah. Jika, dulu Nino melakukan karena tergoda dengan bibir merah itu. Sekarang, ia lebih menyukai sang pemilik.     

Monica yang awalnya terkejut, memilih menikmati dan terhayut seperti biasa. Nino begitu ahli memainkan lidah bertemu dengan lidahnya. Bahkan tak henti-hentinya bibir bawah dan atas Monica digigit, dihisap, dan dicecap. Hingga merubah tampilan bentuk bibir itu.     

"Eeuughh ... Nino," lenguhan itu kembali terdengar jelas saat bibir tebal itu mendesak leher Monica hingga meninggalkan beberapa bekas merah di sana. Tanda cinta seorang Nino—playboy tobat–yang telah menemukan rumah.     

'Lo harus jadi milik gue, Mon. Gue ngga bisa harus kehilangan Lo lagi. Lihat, betapa cintanya Lo sama gue, saat seperti ini aja, Lo masih inget nama gue,' batin Nino yang begitu senang perasaannya terbalas.     

Nino mulai mencium setiap inci tulang selangka Monica tanpa ada bosannya. Bahkan tangan itu sudah bergerak untuk mengusap gundukan Monica dengan gerakkan lembut, tapi sukses membhat jemari lentik itu menjambak rambut belakang Nino.     

Selama pergulatan panas. Mereka tidak menyangka, jika ada sebuah dering ponsel yang mengganggu. Mereka berdua mengabaikannya. Tapi, saat dering kedua mata sayu Monica mencoba terbuka dan melihat bukan ponselnya yang menyala. Sedangkan Nino sudah menurunkan sisi bra kanan Monica dengan cepat. Bagaikan bayi besar, lelaki itu memberikan sentuhan lidah pada ujung sensitif Monica.     

Dan karena ulah Nino membuat tubuh Monica tersentak. Jemari lentik perempuan itu reflek menekan icon hijau. Terdengar suara dari ponsel Nino, tapi Monica masih belum sadar siapa yang menelpon. Hingga ponsel itu ia genggam beraturan searah dengan berbagai serangan yang ia rasakan dari Nino.     

"Kalian mau jelasin apa, hah?"     

"Nino, Lo jangan deket-deket sahabat gue!" teriak Rachel yang membuang keduanya tersadar dari lamunan panas mereka berdua.     

"Lo dengar apa kata istri gue? Cepat pulang!" tambah suara dingin yang kini membuat Nino merinding. Ia memang paling takut dengan suara besar sang bos.     

Nino meletakkan dagunya di atas bahu Monica seraya menoleh ke arah perempuan yang kini masih ia peluk dengan begitu erat tanpa Rachel dan Delon ketahui.     

Nino menarik dagu Monica. Lalu, kembali melumat bibir itu dengan lembut di hadapan sambungan panggilan video antara Rachel dan Delon.     

"Euhh... Ni–no, Lo ...."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.