HE ISN'T MYBROTHER

Ryan dan Rencananya



Ryan dan Rencananya

0"Kenapa manja begini? Aku masih marah denganmu. Aku tidak tertarik juga dengan segala rayuan dari lelaki sepertimu," kata Rachel yang membuang wajah dari tatapan sang suami dengan mengulum senyum.     
0

"Baiklah. Aku akan tidur dengan mereka, tapi jangan salahkan aku kalau tiba-tiba mati lampu. Semua menjadi gelap dan aku tidak akan memelukmu seperti ini ... kamu jangan menangis. Karena kamu tahu, pasti pintu sudah kamu tutup, aku tidak bisa masuk."     

Rachel menaikkan kedua alisnya menatap pelukan Delon yang memang semakin menguat di tubuhnya, bahkan kepala lelaki itu semakin manja untuk menggelamkan wajahnya di dada Rachel.     

Rachel berdecih membalas perkataan Delon. "Aku yang memelukmu. Kamu selalu saja bersembunyi seperti ini," sahut Rachel denagn nada kesal. Sedangkan Delon langsung terkekeh dengan apa yang dikatakan istrinya.     

"Hahaha. Aku lupa, Sayang. Istriku memang selalu bisa membuatku tenang dan tidak ketakutan. Aku benar-benar tidak sia-sia ikut membesarkanmu, jika hasilnya secantik dan sebesar ini," balas lelaki itu dengan masih menenggelamkan wajahnya manja.     

Tubuh Rachel adalah tempat ternyaman bagi Delon untuk melampiaskan segala suasana hatinya. Hanya dengan memeluk seperti ini emosi yang berada di dalam hatinya kembali mereda. Seakan Rachel adalah obat mujarab dari tubuh Delon.     

Rachel mengulurkan tangannya membelai lembut kepala belakang Delon. Membiarkan suaminya bermanja berada di sana dengan celoteh-celotehan yang begitu jelas Rachel dengar.     

"Aku memang bukan produk gagal. Banyak orang tua yang menginginkan aku menjadi putri mereka, tapi papa malah mengusir kita ... aah, papa pasti akan menyesal." Napas Rachel terhela panjang merasakan betapa tragis cinta yang ia jalani tanpa restu dari papanya sendiri. Apa suatu saat nanti Jeno akan benar-benar merestui hubungan mereka? Batin Rachel begitu sedih.     

Rachel begitu rindu sosok kedua mata hitam itu yang memandangnya dengan begitu lembut seraya mengusap pucuk rambutnya. Seperti saat Rachel pertama kali izin untuk bisa kembali masuk bersekolah. Setelah penjagaan yang begitu ketat dari Jeno untuk menjaga keselamatan di rumah besar Mauren.     

Karena pada saat itu musuh Jeno sangat banyak untuk menyerang dan mendapatkan perusahaan Jeno. Sehingga Rachel juga terpaksa harus berbulan-bulan berada di dalam rumah dengan Jeno yang selalu memberinya pembelajaran yang Rachel tidak pahami. Bahkan, sesekali materi bisnis Jeno berikan kepadanya.     

Rachel begitu rindu saat-saat itu.     

Delon mengangguk sepaham dengan istrinya. "Jangan sedih, suatu saat nanti kita pasti bisa berkumpul dengan papa. Papa hanya butuh waktu saja menerimaku. Sekarang apa yang harus kita pilih? Kita tetap pindah ke luar negeri atau tetap berjuang di sini demi restu papa?" tanya Delon yang seketika membuat lidah Rachel kelu. Pertanyaan ini kembali terucap dari bibir Delon setelah sekian lama.     

Pertanyaan Delon sulit untuk Rachel jawab. Sesungguhnya ia tahu bagaimana sifat dari papanya yang akan begitu sulit menerima keadaan Delon yang tidak sebanding dengan keluarganya, jika Dinu masih belum mendaftarkan Delon ke dalam daftrar nama keluarga aslinya.     

Tapi, jika mereka tetap pergi ke Amerika. Itu sama saja lari dari Jeno, namun papanya akan selalu menangkapnya dan memisahkan Rachel dari Delon. Sejauh apapun mereka berdua untuk lari, pasti Jeno tidak akan menyerah.     

"Aku tidak tahu, Kak. Semuanya sulit, aku belum bisa mengatakan apapun saat ini." Delon mengangguk kemabali dalam pelukan Rachel.     

"Tidak apa-apa. Kita akan tahu jawabnnya setelah kamu menyelesaikan ujianmu."     

***     

Suara dentuman musik keras begitu menggema di setiap sudut ruangan, lampu kerlap-kerlip juga menghiasi malam ini dengan suara tawa yang begitu terdengar menambah suasana menjadi malam yang begitu indah bagi penikamat dunia malam seperti mereka yang bergerak lincah di atas dance floor.     

Di sudut meja ada seseorang dengan memegang gelasnya berisikan cairan coklat tua dengan potongan es batu kecil di dalamnya. Dia tertawa keras terkadang berteriak mengumpat meluapkan apa yang membuat hatinya hari ini begitu kesal.     

"Dasar tua bangka brengsek!"     

"Hahaha. Dia udah tua, tapi masih membuat hati orang sakit hati!" Imbuhnya dengan tertawa.     

Tepukan di bahu Ryan. Membuat lelaki itu menoleh dan mendengarkan tawa yang kini membuat ia mencebikkan bibirnya.     

"Hahahaha. Tenang, Bro! Lo nggak harus ngumpati bokap lo seperti itu. Tinggal racunin aja beres kan?" sahut seseorang yang kini bersama dengan Ryan menikmati malam ini dengan kanan-kiri ditemani wanita bayaran yang berada di club tersebut.     

Ryan langsung meneguk minuman yang ada di gelasnya dengan sekali teguk seraya memandang ke arah temannya yang kini sibuk bermain lidah dengan wanita di samping lelaki itu.     

"Apa lo pikir gue nggak pakai cara itu juga buat ngelenyapin tua bangka itu?"     

"Dia seperti mempunyai nyawa sembilan ..."     

"Berkali-kali gue coba bunuh dia, tapi mama gue memang terlalu bodoh buat nyelamatin si tua bangka itu. Padahal kalo dia mati seluruh harta dan perushaan menjadi milik gue," Ucap Ryaan dengan amarah memburu.     

Lelaki itu masih begitu kesal dengan Dinu yang sekarang mempunyai bukti dari dirinya yang diam-diam mengambil dana perusahaan cabang untuk bermain dengan para wanita dan berjudi.     

Ryan mengingat benar, ia sudah melakukan penggelapan dana tersebut dengan begitu bersih dan berhati-hati. Bahkan, keadaan cabang juga tidak menunjukkan adanya kecurigaan yang mampu membuat orang di luar perusahaan curiga, apalagI Dinu. Itu terasa mustahil, jika Ryan pikirkan ulang.     

Tapi, kenapa lelaki paruh baya itu bisa memiliki bukti dari Ryan yang menggelapkan uang dengan begitu terperinci? Ini akan menjadi bomerang untuk dirinya, jika sampai di tangan mamanya. Kepercayaan dan pembelaan wanita paruh baya itu pasti tidak akan lagi bisa ia dapatkan untuk membela dirinya di hadapan Dinu, jika lelaki paruh baya itu berani menunjukkan kepada Marina.     

Sial ini memang sial! Lelaki tua bangka itu memang mulai mencari masalah dengannya. Harusnya saat Dinu masih koma, ia tidak perlu menyuruh mamanya untuk menolong Dinu.     

"Aaagghh... kau sangat seksi, Sayang ..." lirihnya saat bibir wanita yang berada di samping teman Ryan berpindah di lehernya.     

Lelaki itu langsung mengalihkan pandangan ke arah Ryan yang masih saja tidak merespon dari sentuhan yang diberikan wanita yang berada di kedua samping kanan-kirinya.     

"Bokap lo emang hebat. Jangan serang lelaki tua itu ... lo harus serang anaknya yang akan menjadi pewaris tunggal. Kalo dia hilang, pasti lo yang akan dapat harta warisan si tua bangka itu."     

"Benar, apa yang dikatakan Tuan Bryan, Tuan. Coba Tuan Ryan bunuh anak kandungnya pasti semua harta akan langsung berada di tangan Tuan. Dan bisa memberi kepada kita ... bukan?" kata salah satu wanita yang berada di samping Ryan masih mengusap dada bidang Ryan dengan gerakan sensual yang membuat lelaki itu memejam.     

"Itu hal yang sangat mudah. Mumpung dia masih menjadi miskin dan belum dimasukkan lelaki tua bangka itu ke dalam daftar keluarga. Ini akan memudahkanku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.