HE ISN'T MYBROTHER

Tentang Semua Kegilaan Jenny



Tentang Semua Kegilaan Jenny

0"Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?"     
0

Kedua pasangan suami-istri muda itu saling menatap yakin pada jalan mereka saat ini. Semua sudah di sini, mereka tidak akan menyerah.     

"Kami akan memulai semuanya dari awal, Ma," sahut Delon. Wanita paruh baya itu hanya diam mengehela napas panjangnya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.     

"Rachel pasti rindu Mama," lirih perempuan dua puluh tahun itu, menghamburk ke dalam pelukan wanita empat puluh tahun lebih itu.     

Martha mengangguk di atas bahu sang putri. Perasaannya juga sehancur seperti suaminya. Tapi, ia tidak mau melihat putrinya bersedih berkelanjutan dan berdampak pada kondisi mentalnya. Apalagi ia baru tahu jika hubungan mereka telah terjalin cukup lama di belakang mereka. Ini tidak akan mudah, jika ia sama menentang hubungan Delon dan Rachel.     

"Jaga diri. Mama tidak bisa selalu menghubungimu. Kamu tau sendiri papamu selalu menugaskan body guard bayangannya untuk memantau Mamaa," ujarnya lembut sembari mengusap punggung Rachel. Kelopak mata tua itu seakan tak sanggup membuka, merasakan betapa menderitanya Rachel dibenci Jeno.     

"Iya, Rachel tau itu. Semoga papa akan tau bagaimana perasaanku yang tak bisa dipisahkan dengan Kak Delon, Ma," balas Rachel berdoa untuk kesadaran ego ayahnya. Ia ingin bisa hidup bersama kembali setelah Jeno menerima kehadiran Delon yang bukan lagi anak angkat Jeno melainkan sudah menjadi suami dari Rachel.     

Martha mengangguk kembali dalam pelukan itu. Lalu, mengendurkan pelukan sang putri. "Mama akan mencoba membujuk. Kalian hiduplah dengan rukun." Delon dan Rachel mengangguk serentak.     

Hati mereka berdua juga teramat sakit meninggalkan kedua orang tua yang telah merawat mereka dari kecil, kini sebentar lagi harus berjauhan berbeda negara. Situasi seperti ini tidak pernah Rachel bayangkan, apalagi menjalaninya.     

Martha kembali menutupi mata indahnya dengan balutan kaca mata hitam besar dengan topi besar pantai yang sama, hingga menutupi wajah tua cantik itu.     

Wanita paruh baya itu melambaikan tangannya di bawah sejajar dengan dress yang ia pakai, hanya untuk memberi ucapan selamat jalan kepada kedua anaknya itu.     

Delon mengusap bahu sang istri lembut dengan bola mata yang tak henti-hentinya menatap kepergian sang mama angkat. Jangan ditanya bagaimana kondisi Rachel. Perempuan itu tak henti-hentinya menderaskan anak sungai matanya.     

"Berjanjilah akan membawaku ke sini lagi," lirih Rachel masih dengan satu pandangan kedepan.     

"As your wish, Sayang," balas Delon dengan mencium pucuk kepala Rachel lembut.     

Kehidupan baru dimulai dari pernikahan sederhana yang hanya diwakili oleh Martha dan Dinu.     

"Papa masih belum menyangka, jika kalian menjalin hubungan." Suara itu tiba-tiba memecah kesedihan mereka. Di sana juga masih ada Dinu. Pria paruh baya itu begitu bahagia bisa dilibatkan dalam urusan sesekral ini untuk anak kandungnya.     

Tapi, sesungguhnya ia masih belum mengira, jika hubungannya dengan Jeno akan menjadi besan, bukan lagi sahabat seperti dulu. Benar-benar sebuah kebetulan yang membuat ia tak menyangka. Tapi, dalam kebahagian ini, Dinu belum bisa memberikan kebahagian yang sesungguhnya untuk Delon.     

"Aku sudah mencintai Rachel semenjak akulah yang menjaganya. Aku sangat berterima kasih, Papa bisa menyempatkan hadir dalam pernikahanku," ungkap Delon yang sudah melepaskan pelukannya di pundak Rachel, lalu sedikit mengubah jarak kakinya menghadap pria paruh baya itu.     

Dinu menepuk-nepuk bahu putranya dengan haru dan bahagia. Ada sorot pedih dan lara yang pria tua setengah abad lebih itu tahan. Bibir berkerut itu belum mampu mengatakan yang sebenarnya.     

"Papa—"     

"Tidak perlu. Katakan, jika sudah waktunya, Pa. Aku selalu menungu penjelasan itu." Delon menyela cepat. Ia tahu apa yang akan keluar dari bibir tua itu.     

Dinu mengangguk seraya menatap bersalah pada putranya, di persekian detik, pandangan bola mata hitam lemah itu beralih pada sosok yang sedang memakai dress putih gading cantik sedang menatapnya juga. Dinu melanghkahkan kaki tuanya tiga langkah dari jarak sang putra.     

"Rachel, apa kamu pernah berpikir jika pertemuan awal dan kedua ini akan berakhir seperti ini?" tanyanya dengan mengusap lembut pucuk kepala perempuan berrias sederhana itu.     

Rachel menggeleng dengan senyum melengkung dibibirnya. Dinu tertawa kecil di sela tangis. "Papa juga begitu. Bahkan aku sudah merasakan, jika putraku sangat memperlakukanmu berbeda sejak awal. Dan aku bersyuklur, jika perempuan itu kamu," sambung Dinu lembut.     

"Apa yang dikatakan Martha benar. Lakukanlah peran baru kalian. Jangan pikirkan masalah di sini, biar Papa yang mengatasinya. Jika, waktunya tiba, Papa akan menyusul kalian, sekedar menengok cucu Papa nantinya."     

"Papa!" ujar Rachel bersuara, malu. Pipinya yang tertutupi bedak sudah memerah semu mendengar perkataan Dinu.     

Dinu kembali tergelak. "Kembalilah, sebelum para body guard Jeno menemukan kalian. Papa sudah menyiapkan semuanya. Beberapa hari lagi kalian akan menuju ke Amerika. Lanjutkan kehidupan kalian di sana." Dinu memegang kedua bahu Delon dan Rachel, lalu di persekian detik ia melepaskan, melangkah pergi dengan pelukan terakhir dari Delon. Pelukan yang lebih hangat dari pertemuan awal mereka.     

"Kak ..." panggil, lirih Rachel saat ia melihat bola hitam itu menahan air mata.     

Delon memutar kepalanya, lalu meraih tangan Rachel. "Ini bukan akhir, Rachel. Inilah awal dari perjuangan kita," kata Delon yang langsung diangguki sepaham Rachel.     

Mereka berdua menutuskan untuk pulang ke apartemen selama beberapa hari harus mengurus segala surat izin pindah kuliah Rachel. Tentunya kehidupan mrereka akan berubah drastis semual sejak saat ini.     

***     

"Delon harus mati!" pekinya dengan mengulas benda berkilau terang, berujung runcing.     

"Jangan Gila, Jenny! Kita masih diburu papamu, jangan buat kondisi kita semakin susah," sahut seseorang yang sudah mengepulkan asap dari cerutunya. Badannya begitu polos tanpa busana apapun, hanya sebuah potongan kain berbentuk segitiga hitam yang menutup bagian bawah pusakanya.     

Jenny menyeringai sanyumnya. Sejak kapan orang tua itu mampu membuat Jessy takut? Jika, seleuruh dunia menetangnya saat ini juga, Jenny tak akan pernah takut.     

Membunuh adalah kesukaannya sejak kecil. Apapun yang membuat wanita itu benci, pasti akan lenyap dengan tangannya sendiri.     

Jika, dulu kedua orang tuanya tidak melihat dirinya yang akan mencekik Rachel dengan tangannya sendiri, mungkin perempuan itu tak akan dengan lancang merebut milik Jenny. Yang seharusnya memang menjadi milik dia seorang.     

"Kau adalah dokter bodoh, Alen!"     

Pria itu tertawa trebahak, dengan sudut mata yang tertarik, dari mulutnya masih saja mengeluarkan kepulan asap cerutu.     

"Penampilanmu bahkan lebih bodoh dariku, Jenny. Kamu selalu liar dalam segala hal ..."     

"Membodohi semua orang dengan penyakit bohonganmu. Di belakang mereka, kau, bergoyang hebat di atasku. Dasar wanita gila. Di mana-mana selalu mencari yang lebih memuaskan," sambung Alen yang sudah melangkahkan kakinya ke arah perempuan yang juga tidak menggunkan sebenang helai pun sama. Senyumnya masih tertukir pada pisau dengan ujung berkilat, mengusap sisi tajamnya dengan begitu menggila.     

"Aku suka wanita gila sepertimu, Jenny."     

Kedua mata Jenny tiba-tiba mendelik. Tubuhnya terangkat dengan dorongan kuat dari bawah sebuah benda tumpul. Tawa dan desisi keras langsung menggaung di rungan kamar besar itu.     

Alen menyeringai senyumnya, saat pusaka itu kembali menghantam Jenny dengan posisi wanita itu berada dipangkuannya. Kecepatan balasan dari Jenny benar-benar membuat Alen menggila, dia suka wanita kasar seperti Jenny, wanita berdarah dingin yang mampu membuat hasratnya selalu menggebu-gebu.     

"Harusnya Delon yang berada di bawahku. Hahaha!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.