Anak Angkat

Tentang Lizzy



Tentang Lizzy

0"Iya, keluargamu akan menjadikanku sebagai tumbal! Aku mohon tolong aku, Kak Satria!" tukas Lizzy sambil memegang lengan tangan Satria dengan erat.     
0

"Tapi bagaimana caranya?" Satria turut panik, dia tidak tahu harus berbuat apa?     

Dia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.     

Lalu dia teringat para gadis kecil yang dibunuh dan diambil hatinya untuk persembahan oleh sang ayah.     

Tentu saja Satria tak rela akan hal itu.     

Lizzy gadis manis bermata biru dan rambut pirang, wajahnya begitu polos, tengah ketakutan menunggu nasib. Satria memeluk Lizzy.     

"Lizzy, jangan takut, aku yakin jika Ayahku itu sedang berbohon," ujar Satria kepada Lizzy.     

"Tapi dia itu akan membunuhku, Kak!"     

"Sstt... jangan berisik, dan percayalah jika kau baik-baik saja,"     

"Bagaiamana aku bisa tenang, mereka akan membunuhku, kedua orang tuaku juga tak bisa menolongku, aku akan mati," gadis kecil itu mulai putus asa.     

"Kau, masuk ke kamar dulu aku akan berbicara kepada Ayahku, semoga saja dia mau mendengarkan permintaanku," ucap Satria.     

"Terima kasih, Kak," Lizzy bersembunyi di dalam kamar Satria.     

Lalu anak lelaki itu menghampiri sang ayah.     

Ceklek!     

Dia membuka pintu ruangan sang ayah.     

"Ayah, aku ingin berbicara sesuatu kepada Ayah,"     

"Apa yang akan kau bicarakan?"     

"Tentang, Lizzy,"     

Wijaya mengernyitkan dahinya, ada apa dengan gadis itu?" Wijaya duduk di atas sofa.     

"Apa benar jika, Ayah, akan membunuh Lizzy?"     

"Kenapa bertanya begitu?"     

"Karna Lizzy bilang kalau Ayah akan membunuhnya?"     

"Haha! Anak perempuan itu rupanya sudah berbicara kepadamu?"     

"Iya, Ayah? Katakan kepadaku, jika kau itu akan menjadikan Lizzy sebagai adikku! Bukan sebagai tumbal ritual kita!" desak Satria.     

"Hey, Nak! Tidak bisa begitu! Karna kita akan menggunakannya untuk persembahan kita di malam bulan purnama nanti!"     

"Aku mohon, Ayah, biarakan gadis itu hidup! Aku suka kepadanya! Aku ingin adik perempuan!" pinta Satria.     

Dia terus merayu sang ayah agar tidak membunuh Lizzy, Satria sangat menyukai Lizzy. Dia itu sangat ingin memiliki teman bermain, dia bosan sendirian.     

Sebenarnya Wijaya tidak mau menuruti permintaan Satria, tapi Wijaya merasa kasihan dengan putranya yang menginginkan teman, akhirnya Wijaya memperbolehkan Lizzy tetap hidup dan menjadi teman Satria.     

"Baik, Nak! Ayah akan menuruti permintaanmu, Nak! Tapi dengan satu syarat!"     

"Apa itu, Ayah?"     

"Kau, akan tahu nanti ketika dewasa!" ujar Wijaya.     

Setelah itu Satria kembali bermain dengan Lizzy, tapi semakin lama sikap Lizzy terlihat berbeda, dia tidak seperti Lizzy yang pertama kali ia lihat, sekarang gadis itu menjadi pemurung dan jarang bicara, malah hampir tak pernah bicara. Dia selalu menurut saja ketika diajak bermain oleh, Satria, tapi semakin lama sikapnya bertambah aneh, pandangan gadis itu kosong, wajahnya memucat.     

"Lizzy, kau mau bermain ayunan?"     

"...."     

"Lizzy, kenapa kau tak mau bicara?"     

"...." Satria sampai lelah mengajak Lizzy bicara, tapi tak ada sedikitpun respon dari Lizzy. Satria mengajak Lizzy naik ke lantai atas dan dia membiarkan Lizzy masuk ke dalam kamarnya.     

Setelah itu, terdengar suara Arumi dan Charles yang mendatangi rumah Wijaya, mereka mencari Lizzy.     

"Tolong, Paman! Kembalikan putriku!" pinta Arumi dengan derai air mata.     

"Tidak bisa, Arumi, karna putrimu sudah kujadikan tumbal untuk ritual tadi malam! Kau lupa ya kamu tadi malam adalah malam bulan purnama?" ujar Wijaya.     

"Paman! Apa yang kau lakukan terhadap putriku? Apa salah putriku?!" teriak Arumi dia sampai membuat keributan di tempat itu. "Hey! Arumi! Tolong jaga sikapmu!" bentak Wijaya.     

"Tapi, Paman, sudah keterlaluan? Dia itu putriku satu-satunya!"     

"Maah, Arumi, tapi aku memhutuhkan jiwanya!" ucap Wijaya.     

"Kau kejam, Paman!" teriak Arumi sambil menunjuk-nunjuk kearah Wijaya.     

Charles juga memegang kearah baju Wijaya dan hendak menghajarnya, tapi beberapa bodyguar datang dan mencegah perbuatan Charles.     

Mereka memegang tangan tangan Charles, agar tidak lagi berbuat onar di tempat itu.     

"Sudah kubilang jika putrimu sudah kujadikan tumbal, kalian tidak bisa berbuat apa-apa lagi, jadi sebaiknya kalian pergi, kalau memang kalian masih sayang dengan nyawa!" ancam Wijaya.     

"Bagaiamana, Paman, menyuruhku pergi begitu saja! Kau bahkan tidak menunjukkan jasad putri kami?!"     

"Jasad putrimu sudah kubakaran setelah ritual selsai!" jawab Wijaya.     

"Kau sangat kejam, Paman! Kau bukan manusia!" umpat Arumi.     

"Haha aku memang, Iblis! Oleh karna itu sebaiknya kalian jangan bermain-main denganku! Kalau kau masih di sini dan mengharap putrimu kembali, maka jangan salahkan aku jika akan mengambil putra-putramu yang lain" Wijaya mengancam lagi.     

Seketika Arumi dan Charles terdiam.     

"Ingat, kalian tidak akan bisa membunuhku ataupun menghancurkanku, tapi aku dengan mudah menghabisi kalian!" ujar Wijaya dengan sombong.     

Arumi pun memilih untuk pergi meninggalkan rumah sang paman, dan pulang dengan tangan hampa, tanpa membawa Lizzy. Mereka mengira jika putrinya sudah tewas.     

Satria melihat kepergian Arumi dan Charles dari lantai atas, dia tak bisa berbuat apa-apa, padahal ingin sekali dia beteriak dan mengatakan jika Lizzy masih hidup dan tengah ada bersamanya. Sayangnya dia hanya anak kecil yang harus menuruti perintah sang ayah.     

Kalau dia sampai berteriak memberitahu Arumi jika Lizzy masih hidup maka dia akan mendapatkan masalah, sudah pasti Wijaya akan menghukum Satria.     

Dia hanya memandang kepergian Arumi dan Charles dengan tatapan nanar.     

Sejak saat itu Arumi dan Charles tak lagi berani mendatangi kediaman Wijaya.     

***     

"Ayah, kenapa Lizzy, diam saja?"     

"Ah, dia memang harus dibuat seperti itu jika kau ingin dia tetap hidup,"     

"Memangnya kenapa harus begitu, Ayah?"     

"Ayah, sudah menjual jiwanya dengan iblis, dia menjadi gadis yang linglung selamanya," jelas Wijaya.     

"Kenapa, harus begitu, Ayah?"     

"Karna kalau dia tetap normal, maka anak ini bisa lari kapanpun ada sempatan!"     

"Ayah, biarkan dia normal kembali, Ayah. Aku tidak apa-apa jika harus berpisah dengan Lizzy, aku kasihan jika harus melihat Lizzy seperti ini,"     

"Tidak bisa, Satria! Lizzy tidak akan bisa kembali sampai dia dewasa dan harus diadakan ritual dan persembahan untuk mengembalikan jiwanya!"     

"Apa itu artinya Lizzy, akan seperti ini hingga dia dewasa?"     

"Tentu saja, Nak, dan itu bisa selamanya jika tidak dilakukan ritual dan tumbal untuk mengembalikan jiwanya," jelas Wijaya.     

"Ayah, kenapa jahat! Kasihan Lizzy! Dia itu gadis yang baik, kenapa harus di berikan kepada Iblis?!" Satria mulai murka.     

Tapi sang ayah malah mengancamnya.     

"Kau anaku satu-satunya, jadi tolong jangan membuat Ayah, kecewa! Ayah tidak suka dengan sikap lembuatmu itu, karna kau ini laki-laki, tak pantas bersikap seperti itu!"     

"Tapi—"     

"Diam, dan kembali ke kamarmu! Atau kau akan mendapatkan hukuman!" ancam Wijaya.     

Akhirnya Satria kembali ke kamar, dan dia kembali bermain bersama Lizzy walau Lizzy hanya diam saja.     

Semakin dewasa, Satria mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan, dia harus sekolah, berlajar ilmu bela diri, serta menuruti ajak sang ayah untuk membunuh orang.     

Lizzy hanya diam sendiri di kamarnya, dia hanya seperti boneka pajangan dalam rumah ini. Dia masih bernafas dan mampu tumbuh menjadi gadis dewasa, tapi jiwanya kosong.     

Wijaya ingin membuang Lizzy karna menurutnya sudah tidak di butuhkan lagi, tapi Satria melarangnya, dia ingin Lizzy tetap hidup walau harus dalam keadaan linglung.     

Akhirnya dia membayar orang untuk merawat Lizzy hingga sekarang.     

***     

Cerita dari Satria membuat Mesya menjadi syok.     

Dia tak menyangka jika ternyata Lizzy masih hidup.     

"Kak, apa aku bisa bertemu dengan Lizzy?" Mesya bertanya dengan penuh antusias.     

"Maaf, Mesya. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu,"     

"Tapi, Kak, aku ingin melihat keadaan Lizzy, Kak!"     

"Tidak bisa, Mesya, itu terlalu berbahaya!"     

"Ah ... baiklah ...." Mesya mengangguk mengerti, tapi wajahnya tampak tak bersemangat.     

Karna dia benar-benar masih ingin bertemu dengan Lizzy. Tapi dia juga tak bisa memaksa Satria untuk mengantarkannya sekarang, ini bisa membahayakan Satria.     

"Mesya, sudah malam. Aku akan mengantarkanmu pulang," ajak Satria.     

"Iya, Kak!" Mesya menganggukan kepalanya.     

Satria membukakan pintu untuk Mesya.     

"Mesya, terima kasih ya?" ucap Satria.     

"Iya, Kak. Aku juga senang bisa pergi dengan Kakak,"     

"Mesya, apa kau benar-benar menyukaiku?"     

"Loh, kenapa, Kak Satria, bertanya begitu kepadaku? Tentu saja aku sangat menyukai, Kakak!"     

"Sekali lagi aku ucapkan teriak kasih. L, Mesya Kehadiranmu hampir mirip dengan kehadiran Lizzy dulu,"     

"Benarkah? Aku heran kenapa orang-orang selalu menyamakanku dengan Lizzy, padahal aku dan Lizzy itu sangat berbeda,"     

"Memangnya siapa saja yang mengatakan kau mirip dengan Lizzy, selain aku?" tanya Satria.     

"Emm ada banyak, pertama, Kak David, Ibu, Ayah ...."     

"Arthur, tidak?"     

Mesya menggelengkan kepalanya, "Entalah aku tidak tahu, dia sama semakin tidak pernah mengatakan hal itu keadaku," ucap Mesya.     

"Kau dan Lizzy itu memang mirip, Mesya," ucap Satria.     

"Mirip? Mirip dari mananya? Wajahku ini asli Indonesia, sedangkan Lizzy itu bule!" tegas Mesya.     

"Ya kau Lizzy, versi Indonesia," ujar Satria.     

"Ah, Kak Satria, bisa saja,"     

"Aku bicara sungguh-sungguh, Mesya,"     

"Yasudah kalau begitu jangan lupa untuk menurunkanku, rumahku sudah dekat, Kak," ledek Mesya.     

"Ah, iya aku hampir saja lupa!"     

Ckit....     

Satria hendak keluar untuk membukakan pintu mobil untuk Mesya, tapi Mesya menghentikannya.     

"Tidak usah, aku bisa membukanya sendiri, Kak!"     

"Baikalah," Satria tetap berada di dalam mobil dan Mesya pun berusaha membuka pintu itu dan dia mulai berdiri tapi Satria menarik tangan Mesya.     

"Tunggu!" ucapnya.     

"Ada apa?" tanya Mesya     

Cup....     

Satria mencium bibir Mesya dengan lembut, gadis itu tak bisa bergerak, hanya bisa pasrah.     

Ini kedua kalinya Satria mencium bibirnya. Saat itu dia merasa sangat terpaksa, dan bahkan dia harus berpura-pura menjadi gadis yang agresif.     

Tapi ciuman yang kali ini terasa berbeda, jantungnya mendadak berdegup dengan kencang. Entah perasan apa ini. Yang jelad rasanya hampir mirip buat David menciumnya dulu.     

'Kenapa perasaan ini hadir kembali? Tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta dengan Kak Satria, aku tidak mau menghiyanati, Kak David,' bicara Mesya di dalam hati lalu dia segera melepaskan ciuman dari Satria.     

"Kak, aku harus pulang sekarang," lirihnya di telinga Satria.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.