Anak Angkat

Dikekang



Dikekang

0"Bukankah hidup, Kak Satria, itu sangat sempurna? Kakak punya segalanya, harta, kekuasaan, dan tentunya semua orang takut dan hormat kepada, Kakak," ujar Mesya.     
0

Satria segera menyangkal ucapan Mesya.     

"Tak banyak yang tahu tentang apa yang kursakan, Mesya. Mereka hanya mengira jika hidupku sempurna, mereka tak tahu jika sesungguhnya hidupku penuh  dengan kekangan," jelas Satria.     

Mesya terkejut mendengar hal ini, ternyata bukan hanya David dan dirinya yang merasa terkekang dengan segala peraturan keluarganya, tapi ternyata juga Satria.     

"Kak Satria, apa aku boleh bertanya?"     

"Ya, silahkan,"     

"Kak, bagaimana perasaan, Kakak setelah membunuh orang?"     

"... kenapa bertanya seperti itu?"     

"Aku hanya ingin tahu saja,  sebenarnya Ibu pernah bilang kepadaku, jika dulu dia dan keluarganya adalah penganut aliran sesat, dan diharuskan membunuh orang serta memakan dagingnya," Mesya menatap Satria dengan sungguh-sungguh, "dan Ibu juga berkata, bahwa keluarga Tuan Diningrat, yang sampai saat ini masih menganut kepercayaan itu,"  ujar Mesya.     

Satria agak sedikit keberatan untuk menjawab pertanyaan Mesya.     

Melihat raut wajah Satria, membuat Mesya menyadari hal itu.     

"Eh, tapi kalau, Kakak, tidak berkenan untuk menjawab pertanyaanku tidak masalah kok,"  Mesya berusaha untuk membuat keadaan Satria tetap merasa nyaman didekatnya. Mesya harus bersabar untuk mendapat informasi tentang keluarga Diningrat. Agar Satria tak curiga.     

"Kau bertanya kepadaku seperti seorang polisi yang sedang mengontrogasi tahanannya?"     

"Maaf, Kak Satria, aku tidak bermaksud seperti itu, dan aku tidak akan memaksa, Kak Satria, untuk mengatakannya kepadaku. Itu adalah urusan keluarga  Kakak, mungkin aku harus diam dan tidak boleh ikut campur," ucap Mesya.     

Melihat wajah Mesya yang tampak ketakutan, membuat Satria merasa yakin jika Mesya itu benar-benar hanya ingin tahu tentang dirinya, dan tidak ada niatan untuk memata-matai kelurganya.     

Lagi pula, sekarang Mesya itu kekasihnya jadi hal yang wajar jika dia ingin tahu banyak hal tentang keluaragnnya.     

"Sejak tadi, Kak Satria, diam saja, apa Kakak, marah kepadaku?" tanya Mesya.     

"Ah, tidak kok, aku tidak marah sama sekali hanya saja aku agak keberatan bila harus menjawab pertanyaanmu," jawab Satria.     

"Tidak apa-apa, aku bisa mengerti, Kak. Mungkin aku saja yang terlalu penasaran," ujar Mesya.     

"Tapi demi gadis yang sangat kucintai, aku rela mencerirakan semuanya untukmu," ujar Satria.     

"Benarkah?" Kedua bola mata Mesya berbinar.     

"Iya, aku akan menceritakan semuanya kepadamu, tapi dengan satu syarat,"     

"Apa syaratnya, Kak?"     

"Syaratnya kau harus merahasiakan semua ini dari siapapun, termasuk keluargamu," tegas Satria mewanti-wanti Mesya.     

"Tentu saja, Kak, aku akan merahasiakan ini semua dari keluargaku buktinya saja hubungan kita sampai sekarang masih kurahasiakan dari mereka," tukas Mesya.     

"Baiklah, kalau begitu aku percaya kepadamu, Mesya. Dan aku mohon kau jangan sampai menghianati kepercayaanku ini," tukas Satria mewanti-wanti Mesya.     

"Tentu saja, Kak! Kau bisa memegang ucapanku," jawab Mesya meyakinkan Satria.     

"Baik, aku akan menceritakannya sekarang, dan aku harap kau tidak akan meninggalkanku setelah mendengar semua ceritaku ini,"     

Mesya tersenyum menanggapinya.     

"Tentu saja tidak, aku menerima, Kak Satria, apa adanya. Aku tidak peduli dari keluarga apa, Kakak ini, dan sekelam apa kisah hidup Kakak," jawab Mesya.     

"Terima kasih Mesya, kau mau mengerti tentang diriku," Satria tersenyum kepadanya Mesya, "sebanaran aku tidak bahagia sedikitpun dengan kehidupanku ini, aku tidak suka membunuh orang! Tapi Ayah selalu memaksaku, sejak kecil aku dididik dengan penuh kedisiplinan dan juga kekerasan,"     

"Kekerasan? Apa mereka juga sering memukul, Kakak?" tanya Mesya yang penasaran.     

"Iya, sejak kecil aku selalu saja mendapatkan hukuman berat jika aku berbuat salah atau bertingkah di luar kemauan Ayah," jelas Satria.     

"Ini saksinya," Satria menujukkan bekas luka yang ada di lengan tangannya, "ini bekas goresan besi panas dari tangan Ayah," jelas Satria.     

Mesya sampai tercengang mendengarnya.     

"Kenapa, mereka sampai melakukan hal itu? Memangnya kesalahan apa yang sudah, Kak Satria, lakukan?"     

"Huft ...." Satria mendengus berat, "aku tidak mau membunuh kepala sekolahku," jelas Satria.     

Mesya masih merasa penasaran, dia bertanya lagi.     

"Ada masalah apa dengan, Kepala Sekolah, itu?"     

"Kepala Sekolah, itu sempat mengancam Ayah, untuk membongkar semua tingkah kejam keluarga ku!"     

"Oh, ya sudah jangan diteruskan lagi, Kak, aku sudah tahu cerita yang selanjutnya?"     

"Maksudnya?" Satria tampak heran.     

"Ah maksudnya aku sudah tidak tahan lagi mendengarnya, pasti akan berujung dengan tindakan sadis seperti teman SD, Kak Satria, yang terbunuh itu," sangkal Mesya berusaha untuk menyangkal, agar Satria tak curiga kepadanya.     

"Begitu ya?" Satria menyapa kaku kearah Mesya.     

'Rupanya kehidupan Kak Satria, sama persis dengan kehidupanku dengan Kak David, dan Kak Arthur, mereka dituntut menjadi anak yang patuh dan akan mendapat hukuman apa bila melakukan kesalahan, atau bertingkah tak sesuai kehendak orang tuanya,' bicara Mesya di dalam hati.     

"Apa, Kak Satria, tidak ingin keluar saja dari kehidupan yang sekarang?" tanya Mesya.     

"Tentu saja aku menginginkanya! Kadang melihat orang-orang bisa tertawa lepas dan saling mengasihi itu, membuatku iri," jawab Satria.     

"Lalu kenapa, Kakak, tidak berusaha untuk keluar saja?"     

"Tidak semudah itu, Mesya,"     

"Tapi, apa alasana? Kakak, tanggal pergi saja dari keluarga Diningrat!"     

"Ada banyak alasan yang membuatku tak bisa keluar dari keluarga ini, salah satunya Ayahku, dan Ibuku," jelas Satria.     

Mesya pun langsung terdiam, dan dia tak bertanya lagi, karna pada intinya dia sudah tahu, jika kisah Satria sangat mirip dengan David.     

Awalnya dia berpikir jika Satria itu sama dengan Wijaya Diningrat, seorang yang tamak dan juga kejam, tapi ternyata Satria itu orang yang berbeda.     

Dia hanya orang yang baik dan terjebak di sebuah keluarga yang sangat kejam.     

Mesya merasa bersalah karna sudah salah paham terhadap Satria.     

Setelah itu Mesya teringat dengan Lizzy, dia ingin tahu apa tanggapan Satria tentang kematian Lizzy.     

"Kak, aku boleh bertanya tentang Lizzy?"     

"Lizzy, kau juga mengenal, Lizzy?"     

"Tentu saja, Kak, Ibu juga bercerita tentang Lizzy,"     

"...." Satria memasang raut datar.     

"Eh, tapi kalau, Kak Satria, keberatan aku tidak akan memaksa Kakak untuk bercerita tentang Lizzy," ujar Mesya.     

"Tentu saja, boleh," jawab Satria, tapi sorot matanya tampak sayuh, dan seperti ada guratan kesedihan yang tersimpan.     

"Jujur, aku turut bersedih, saat mengingat gadis kecil itu," Dan perlahan mobil berhenti tepat di depan restoran.     

"Kita mengobrol di sini saja,"     

Lalu Satria menceritakan tentang Lizzy  kepada Mesya.     

Saat itu Satria hanyalah anak lelaki yang sejak kecil dilatih menjadi pria tangguh, dan tentunya menjadi orang yang sangat kejam. Bahkan  sejak umur 7 tahun Satria sudah diprintahkan untuk membunuh orang. Korban yang pertama adalah seorang anak lelaki teman sekelasnya yang pernah mem-bully Satria.     

Keluarga menyekap anak lelaki itu dan menyuruh Satria untuk membunuhnya. Awalnya ragu, tapi sang ayah terus memaksanya hingga pada akhirnya dia membunuh anak itu.     

"Ayo bunuh saja!" sergah Wijaya.     

"Tapi, aku takut, Ayah! Aku kasihan kepadanya!"     

"Lupakan rasa kasihanmu! Kemarin anak itu sudah berani memukulmu!" ujar Wijaya.     

"Tapi—"     

"Lakukan, Satria! Perlu kau ingat bahwa siapapun yang sudah berani menyakiti kita, maka kita harus membalasnya dengan cara yang lebih menyakitkan!"     

"Tapi Ayah—"     

"Ayo, lakukan!"     

Satria menatap kearah anak itu, seorang anak lelaki yang awalnya sudah menindasnya kini tengah  ketakutan dan memohon ampun kepadanya.     

"Tolong, Satria, lepaskan aku, kumohon jangan melukaiku," pinta anak lelaki itu dengan dengan sorot mata ketakutan.     

Tapi Wijaya, membawakan satu buah pedang berukuran sedang, lalu memberikannya kepada Satria.     

"Ayo gunakan ini!" perintah Wijaya.     

"Tidak, Ayah! Aku tidak mau!"     

"Ayo cepat lakukan atau kau akan mendapatakan  hukuman!"  ancam Wijaya.     

Dia berjalan mendekati putranya.     

"Pikirkan bagaimana dia telah menindasmu kemarin, dan anggap ini sebagai pembalasannya," bisik Wijaya.     

Tapi Satria masih tak mau melakukannya.     

"CEPAT LAKUKAN ATAU KAU YANG AKAN KUBUNUH!" hardik Wijaya.     

Satria sampai tersentak dan setalah itu dia menuruti permintaan sang ayah.     

Sambil memejamkan mata dia membacok leher anak lelaki di hadapannya.     

Crok!     

Tak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulut anak lelaki itu, rintihan kesakitan sama sekali tak terdengar, rupanya dia sudah meninggal saat itu juga, Satria mulai membuka matanya, dan mendapati anak lelaki itu sudah tak bernyawa dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya.     

"Hahaha! Bagus, ini baru putraku!" Wijaya menepuk-nepuk pundak Satria dengan bangga.     

Sejak saat itu, Satria mulai terbiasa membunuh orang. Dan secara perlahan Satria mulai terbiasa membunuh orang. Karna Wijaya terus mengatakan jika  menjadi putranya harus menjadi pria yang kuat dan kejam. Selain itu Satria juga mengikuti ritual-ritual aneh, seperti memakan daging manusia, mempersembahkan gadis kecil dengan di ambil organ hatinya, dan masih banyak lagi.     

Setelah dia berusia 7 tahun, tiba-tiba sang ayah pulang dan membawakan seorang gadis kecil berwajah blasteran.     

Dia adalah Lizzy, gadis itu tampak ketakutan  dalam genggaman tangan Wijaya.     

"Baik, Lizzy, itu Kak Satria, kau boleh bermain dengannya," ujar Wijaya. Mendengar hal itu membuat  Satria merasa senang, Karna ayahnya bilang Lizzy boleh bermain bersamanya.     

Dia pikir ayahnya sengaja mengadopsi Lizzy untuk di jadikan anak angkat. Ini adalah hal yang sangat ia nantikan. Satria memang sangat mendambakan seorang adik perempuan.     

Hidup menjadi anak tunggal membuatnya merasa sangat kesepian.     

Satria langsung menghampiri Lizzy, lalu menarik tangan gadis kecil itu dan mengajaknya pergi.     

"Ayo bermain bersamaku!" ajak Satria.     

Gadis itu tampak ragu-ragu, raut wajahnya masih ketakutan.     

"Ayo cepat kemari!" Satria memanggilnya sambil tersenyum lalu mengajak gadis itu bermain ayunan.     

"Kau, jangan takut aku ini orang baik," tukas Satria.     

"Tapi, orang yang tadi bilang kalau aku akan—"     

"Dia itu, Ayahku!" jelas Satria memotong ucapan Lizzy.     

"Kak Satria, Ayahmu bilang dia akan membunuhku!" ujar Lizzy memberikan tahu Satria.     

"Hah?! Mana mungkin? Dia itu sedang mencarikan adik untukku!" sangkal Satria.     

Lizzy menangis sambil menggelengkan kepalanya.     

"Dia, memisahkanku dari keluargaku dan hendak menjadikanku sebagai tumbal!" ucap Lizzy dengan tubuh bergetar.     

"Apa!?" Satria tampak syok mendengarnya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.