Anak Angkat

Hari Kelulusan



Hari Kelulusan

0"Benarkah?!" Mesya tersenyum lebar, "Kak David, tidak jadi pergi?!"     
0

Arumi menganggukan kepalanya.     

"Iya, Sayang," jawab Arumi.     

"Tapi, apa alasannya, Bu?" tanya Mesya.     

"Alasannya, karna perang sebentar lagi," jawab Arumi.     

"Maksudnya?" Mesya masih tidak mengerti dengan ucapan ibunya.     

Perlahan Arumi menceritakan alasan dia membatalkan kepergian David ke luar negeri. Hal ini dikarnakan kedatangan Wijaya tadi.     

Mereka takut jika David pergi, maka mereka akan kehilangan satu kekuatan, dan tidak mampu melawan Wijaya.     

Keluarga mereka memang tidak bisa dibunuh oleh orang lain, tapi keluarga Wijaya bisa dengan  mudah membunuh keluarga Arumi.  Namun sebaliknya, Arumi tidak bisa membunuh keluarga Wijaya.     

Wijaya satu level di atasnya, karna  dia keturunan pertama dari keluarga Diningrat, sementara Arumi adalah keturunan kedua, karna ayahnya sudah meninggal.     

Satu-satunya cara untuk mengalahkan pamanya, hanya dengan merebut kitab itu.     

Tapi mereka tidak bisa merebutnya begitu saja, atau mencurinya secara diam-diam karna pengamanan dikediaman Wijaya sangatlah ketat.     

Sekali saja mereka ketahuan ingin merebut kitab itu, maka nyawa mereka yang akan menjadi taruhannya.     

"Bu, apa mereka benar-benar sekuat itu? Bukankah kita ini sudah cukup kuat? Bahkan tak ada  orang lain yang berani melawan kita?!" protes Arthur.     

"Memang tidak ada, Sayang! Tapi berbeda dengan keluarga Wijaya! Mereka jauh di atas kita!" tegas Arumi,     

"Tapi aku tidak percaya akan hal itu, Ibu! Aku yakin jika kita bisa melawannya, bahkan aku sendiri pun mampu melawannya!" tegas Arthur.     

"Hay, Nak! Jangan gegabah! Kau belum pernah melihat mereka sekalipun, jadi sebaiknya kau harus waspada, Arthur!" imbuh Charles.     

Memang  satu kali pun Arthur belum pernah melihat wajah Wijaya, bahkan saat Wijaya mengambil Lizzy.     

Saat itu Arthur masih terlalu kecil, dan lagi pula dia juga sedang tak berada di rumah. Dia tidak percaya jika Wijaya itu teramat kuat.     

"Percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ayah-mu, Arthur! Jangan berani membantah, ini demi kebaikanmu dan keluarga kita!" tegas Arumi.     

Arthur pun akhirnya memilih diam, dia tak lagi berbicara sok berani, dia tidak mau kalau sang ibu akan marah kepadanya.     

Sudah cukup hukuman yang mereka berikan terhadapnya semalam, bahkan luka lebam bekas siksaan dari Charles juga masih membekas di sekujur tubuhnya.     

Ini adalah kenyataan yang benar-benar menyebalkan bagi Arthur.     

Lain halnya dengan David, karna dia bisa selalu bersama Mesya dan selalu menjaganya.     

David tersenyum dengan puas, dia juga melirik kearah Arthur, seakan mencemooh kekesalan Arthur.     

Mungkin jika di ruang ini tidak ada Arumi dan juga Charles, David sudah menertawakan Arthur dengan puas. Karna akhirnya kemenangan berpihak padanya.     

Rencana Arthur untuk mencelakai Mesya gagal.     

"David, Mesya, tolong jangan memanfaat hal ini untuk kesenangan kalian! Ingat, jika selamanya kami tak pernah setuju dengan perasaan kalian yang saling mencintai!" tegas Arumi.     

"Apa yang diucapkan oleh Ibu-mu itu benar! Kalian berdua tidak boleh memiliki perasan cinta selain cinta persaudaraan, karna kalian tinggal dalam satu keluarga!" tegas Charles.     

Mesya, dan David, terdiam saling melirik. Lagi-lagi mereka harus membuang perasan mereka.     

Keluarganya tetap tak mau merestui hubungan mereka, meski David tak jadi pergi.     

Tapi Mesya dan David, masih bersyukur akan hal ini, setidaknya mereka masih bisa tetap bersama dan saling menjaga.     

Tak peduli meski hanya sebagai saudara.     

"Kenapa kalian diam, apa kalian sudah paham dengan ucapanku?" desak Arumi.     

"Iya, Bu, kami paham," jawab David dan Mesya secara kompak.     

"Bagus, dan sekarang kalian kembali ke kamar masing-masing!" suruh Arumi.     

Ketiga anak muda itu mulai keluar dari ruang rahasia.     

Arthur melirik tajam kearah David, dengan tangan yang mulai mengepal siap menghantam.     

"Tahan emosimu, jika kau tidak ingin mendapat masalah baru," lirih David dengan raut wajah meledek Arthur.     

Meski tangannya sudah mengepal dengan raut wajah yang penuh Emosi, tapi tak sedikitpun Arthur berpindah tempat.     

Dia masih berdiri tegak menahan amarah.     

Karna apa yang diucapkan oleh David itu benar, jika dia membuat keributan lagi, maka dia akan mendapat masalah baru. Dan kedua orang tuanya akan  menghukumnya.     

David tersenyum melirik kearah Arthur, dia menepuk-nepuk pundak adiknya dengan pelan.     

"Kau pasti bisa menahan emosiku, Adikku Sayang," ucap David dengan raut meledeknya.     

"Sial!" umpatnya dengan daru nafas yang kencang.     

***     

"Kak David, kenapa malah mentertawakan, Kak Arthur?" tanya Mesya yang nampaknya agak keberatan dengan sikap David ini.     

"Biarkan saja, sekali-kali kita yang menertawakan dia, biar dia tahu rasanya ditertawakan  atas kesulitan," jawab David.     

"Tapi, Kak—"     

"Sudahlah. Kau tak perlu kasihan kepadanya, coba kau lihat wajah Arthur sekali lagi," David menunjuk kearah Arthur dengan dagunya, "tidak ada lagi senyuman tengil yang menjadi ciri khasnya," ucap David.     

Mesya juga menengok kearah Arthur.  Dan putra kedua dari keluarga Davies itu masih berdiri tegak dengan  wajah kesalnya, dia masih balum berpindah tempat.     

"Sudahlah, Mesya. Lupakan bocah sialan itu! Dan jangan sekalipun kau iba terhadapnya, karna apa yang ia rasakan saat ini adalah buah dari perbuatannya sendiri," pungkas David.     

Setelah itu dia menarik tangan adiknya untuk segera masuk ke kamar, kebetulan sekali letak kamar David dan Mesya satu arah.     

"Ayo, sebelum Ibu memarahi kita karna tidak segera masuk ke kamar!" sergah David.     

"Baik, Kak," jawab Mesya.     

***     

2 bulan kemudian, hari kelulusan itu telah tiba.     

Semua anak kelas 3 SMA berkumpul di lapangan basket.     

Mereka sedang merayakan hari ke kulusan mereka tak terkecuali dengan Marry.     

Gadis itu turut larut bersama dengan teman-teman yang lainya. Mereka saling mencoret-coret seragam sekolah.     

Ini adalah momen berharga bagi mereka. Tapi tidak dengan David.     

Di saat yang lain sedang asyik merayakan hari kelulusan mereka, tapi David malah memilih duduk santai dengan wajah yang datar.     

Tak ada sedikit pun raut bahagia. Baginya hari ini pun tak jauh beda dengan hari biasanya.     

Marry melihat kearah David.     

"Kenapa, Mar? Kau tidak mengajak temannya itu untuk bergabung?" tanya salah satu teman Marry.     

"Kenapa bilang begitu? David itu, 'kan juga temanmu?"     

"Ah David, itu hanya mau berteman denganmu saja, Marry, dia tidak mau berteman dengan kami!"     

"Kanapa bicara begitu!"     

"Memangnya kenapa kalau aku berbicara begitu? Memang iya, 'kan kalau dia itu orang yang aneh, memang ada teman sekelas kita yang pernah mengobrol dengannya?" tanya gadis itu, dan Marry pun hanya terdiam.     

"Tidak ada, 'kan?" gadis itu tersenyum tipis, "hanya kau Marry, teman satu-satunya yang pernah diajak bicara oleh David, jadi kau ajak saja dia berkumpul bersama kita! Lagi pula biar ini menjadi kenangan terindah untuknya, selama berada di sekolah ini," ucapnya.     

Marry terdiam sesaat, dia kembali melirik kearah David.     

Benar apa yang dikatakan oleh temannya ini.     

Harusnya David, itu ikut berkumpul dengan teman-teman yang lainnya.     

Agar dia juga merasakan indahnya masa SMA.     

"Terima kasih ya," Marry menepuk pelan pundak temannya itu.     

"Terima kasih untuk apa?"gadis itu mengernyitkan dahinya.     

Dan Marry pun malah sudah menjauh.     

"David!" panggil Marry.     

David menengok sesaat.     

"Kau tidak ingin bergabung bersama kami?" tanya Marry.     

"Tidak," jawab David datar.     

"David, ini hari kelulusan kita, harusnya kau ikut merayakannya bersama kami, kau, 'kan juga lulus, aku melihat ada namamu di papan pengumuman!" ujar Marry.     

"Aku tidak peduli," tukas David.     

"Hey, kenapa bisa begitu?"     

"Tentu saja bisa," jawab David.     

"Kau tak merasa bahagia sedikitpun atas kelulusanmu itu, David?"     

"Tidak,"     

"Hah? Tapi apa alasannya?!"     

"Kenapa kau bertanya kepadaku seperti wartawan?" protes David.     

"Maafkan aku, David. Tapi kau sendiri pernah bilang, jika selama berada di SMA, kau ingin memiliki teman yang setidaknya pernah kau ajak bicara, lalu mengapa kau sekarang malah menjauh dari kami?" sindir Marry.     

"Aku rasa satu teman yang sudah pernah kuajak bicara saja sudah cukup, dan itu kau, Marry," jawab David.     

"Jangan seperti itu, David, kau itu harus membaur bersama kami," bujuk Marry.     

"Tidak, Mar, kau tahu jika aku berbeda dengan kalian,"     

"Di mata kami kau itu manusia yang sama dengan kami, David,"     

"Tapi, bagaimana jika mereka tahu tentang diriku?" tanya David.     

"Mereka, tidak akan ada yang tahu tentangmu, David. Jadi kau santai saja, mari rayakan hari bahagiamu bersama kami!" ajak Marry.     

"Tapi aku tidak merasa bahagia, Marry!"     

"Kalo begitu kau ini benar-benar aneh, David!" cerca Marry.     

"Bukankah, semua orang juga menganggapku aneh?" sahut David.     

"Astaga, David, kenapa bicara begitu? padahal aku ini sedang berbicara serius kepadamu, apa yang membuatmu tak bahgia dengan hari kelulusammu?" tanya Marry sekali lagi dengan wajah yang penasaran.     

"Kalau aku lulus dari sekolah ini, aku takut tak bisa menjaga, Mesya," jawab David.     

Seketika Marry terdiam, dia mendengarkan penjelasan David dengan seksama.     

Satu-satunya orang yang selalu ada dalam pikiran David hanyalah, Mesya.     

Bagi David lulus atau tidaknya sekolah, sama sekali tak berarti apa-apa baginya.     

Karna pada akhir dia hanya akan tetap menjadi pembunuh.     

Marry benar-benar tak menyangka dia bisa seakrab ini dengan David. Entah dia harus merasa bangga atau merasa miris karna bisa berbicara sedekat ini dengan David.     

Kenyataannya David adalah pria tampan yang berasal dari keluarga pembunuh berantai yang kejam.     

Marry juga tidak menyangka dia bisa setenang ini berbicara dengan orang yang berbahaya seperti David.     

***     

"Hay, Kak David! Hay, Kak Marry!" sapa Mesya dengan wajah yang riang, dia datang besama Romi.     

"Selamat ya, atas kelulusan kalian," ucap Mesya.     

"Terima kasih, Mesya!" ujar Marry, dia memeluk Mesya dengan rasa penuh bahagia.     

"Ini untuk, Kak Marry," ucap Masya, dia memberikan sesuatu untuk Marry.     

"wah kau juga membawakanku hadiah?" tanya Marry, dan Mesya pun mengangguk.     

Lalu Mesya juga menyodorkan sebuah kado kepada David.     

"Ini untuk, Kak David, selamat ya, Kak," ucap Mesya dan tanpa ragu dia memeluk kakaknya. Setelah itu David meraih kadonya, dan tepat di saat David lengah, Mesya mengecup wajah David.     

"Astaga!" ucap kompak Marry dan Romi, yang syok malihatnya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.