Anak Angkat

Bicara Dengan Marry



Bicara Dengan Marry

0"Sudahlah, Charles, biarkan anak itu hidup, karna kalau sampai dia mati yang ada Mesya akan kembali frustasi dan melakukan percobaan bunuh diri lagi," ujar Arumi.     
0

"Tapi, Sayang, kita ini juga butuh hiburan," tanggap Charles.     

"Cari orang lain saja, yang tidak ada hubungannya dengan Mesya!" tegas Arumi.     

Akhirnya Charles pun menuruti ucapkan sang istri.     

Karna di sini Arumi lah yang paling berkuasanya, dalam keluarga ini Arumi adalah seorang ratu yang harus mereka turuti segala keinginannya.     

"Ayolah, Bu... turuti saja apa kata, Ayah," rengek Arthur.     

"Tidak!" tegas Arumi.     

"Baiklah," Arthur pun menyerah, karna sekeras-keras apapun dia berusaha tetap saja ibunya tidak akan menyetuji ucapannya. Semua akan sia-sia dan Arthur tidak mau melakukan kl hal yang sia-     

David melirik kearah Arthur, dengan raut kemenangan.     

Arthur segera memalingkan wajahnya dengan sinis.     

'Lihat saja, David, aku tidak akan menyerah untuk mencelakai Mesya, mungkin saat ini kau bisa melindunginya, tapi setelah kau pergi ke luar negri, jangan harap kau bisa membantu Mesya,' bicara Arthur di dalam hati.     

Dia meraih pisau dan garpu, lalu Arthur memotong dagingnya terlalu kencang, hingga terdengar suara 'ting' begitu keras dan membuat yang lain melihatnya.     

"Hey, pelan-pelan, Sayang," ujar Arumi.     

"Iya, Bu, maaf ...." Sahut Arthur.     

Dalam hati David benar-benar puas atas kekalahan Arthur, tapi dia sadar jika dia tetap harus waspada kepada adiknya ini.     

Dan dia tidak boleh lengah Saam sekali, dia harus mengawasi Arthur dengan sungguh-sungguh.     

"Baik semuanya, kalian sudah selesai makan, ayo kita berangkat, Ayah takut kalau kalian berdua akan telat," ujar Charles.     

David berdiri dari tempat duduknya, begitu pula dengan Arthur mereka berdua sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah sekarang.     

"Kalian hati-hati ya," ujar Arumi, dan dia mengecup kening putra-putranya satu per satu.     

Ketika mencium David, David berbisik di telinga Arumi.     

"Bu, tolong jaga baik-baik, Mesya," lirihnya.     

"Kau ini bicara apa, David, tidak kau beritahu pun sudah pasti Ibu akan menjaganya," sahut Arumi.     

Arthur pun menggelengkan kepalanya melihat tingkah Arthur yang sangat posesif kepada Mesya.     

'Dasar, Pria Bodoh, kau pikir aku akan mencelakainya sekarang? Tentu saja aku akan mencelakainya saat kau pergi nanti!' batin Arthur.     

Dia memicingkan ujung bibirnya ke samping, yang menggambarkan sebuah kebencian dan hinaan.     

"Ayo cepat! Sudah siang ini!" sergah Charles.     

***     

Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah, kedua kakak beradik itu pun menuruni mobil itu. Tak terlihat sedikitpun keakraban di antara mereka.     

Sama sekali tak terlihat jika mereka itu satu keluarga.     

Saat memasuki kelasnya, David berpapasan dengan Marry.     

"Ma—"     

Marry segera berlalu mendahului David, dia duduk di bangkunya.     

Dia sama sekali enggan memandang wajah David selalu saja Marry memalingkan wajahnya.     

Bahkan setiap ada kesempatan untuk saling memandang, Marry berusaha untuk menghindari tatapan langsung dengan David.     

Tentu saja, Marry sangat takut terhadap David.     

Masih teringat betul kejadian yang menimpa Denias, dan sampai sekarang kondisi tulang iganya pun juga masih terasa nyeri di saat-saat tertentu.     

Kalau bukan karna paksaan dari sang ibu, mungkin hari ini juga, Marry sudah pindah dari sekolah ini.     

'Kenapa sih, David, terus melihat kearahku?' bicara Marry di dalam hati.     

Tubuhnya gemetaran dan dia menundukkan kepalanya.     

"Marry, kenapa sih kau sekarang lebih sering terlihat murung?" tanya teman sebangku Marry.     

"Iya benar, semenjak dia ke luar dari rumah sakit, aku rasa dia terlihat berbeda," ujar teman yang lainnya.     

"Marry, kalau kau ada masalah cerita saja sama kami,"     

"Jangan kau pukul sendiri masalahmu, ayo berbagi dengan kami, siapa tahu kami bisa membantumu,"     

Mendengar teman-temannya sedang memperhatikan dirinya justru hal itu membuat Marry bertambah pusing.     

"Sudah! Tolong jangan bertanya apapun kepadaku!" bentak Marry dengan wajah yang kesal. Dia segera meninggalkan kelas, padahal jam pelajaran sebentar lagi akan di mulai.     

Di tengah perjalanan dia berpapasan dengan Guru mata pelajaran hari ini.     

"Hay, Marry, kenapa kau tidak masuk kelas?" tanya Guru itu.     

Marry pun terdiam sesaat, tapi mulutnya tak bergeming.     

"Ayo masuk ke kelas sekarang, jangan membuat masalah," ujar Guru itu.     

Dia juga menarik paksa tangan Marry.     

"Ayo cepat masuk!" sergahnya.     

Guru itu menarik tangan Marry dengan paksa.     

Dia masuk ke dalam kelas, lalu kembali ke bangkunya, dia sempat melirik David secara diam-diam.     

Semenjak kasus Denias, membuat hidup Marry benar-benar tak tenang.     

Marry selalu dihantui dengan ketakutan akan kematian.     

***     

Bel istirahat kembali terdengar, seluruh teman-teman di kelas mulai keluar secara berebutan, namun David masih terlihat santai dan tak ada sedikitpun niatan untuk pergi ke kantin.     

Dia sering menghabiskan waktu di dalam kelas.     

Tepat di saat itu tiba-tiba saja David teringat dengan Marry, yang saat ini juga belum keluar dari dalam kelas, David ingin berbicara sesuatu dengan Marry.     

David berdiri lalu dia berjalan mendekati Marry.     

"Marry," panggilnya pelan.     

Merry sampai tersentak mendengarnya.     

Dia yang tadinya sedang merapikan buku-bukunya, sampai menjatuhkan seluruh bukunya ke lantai.     

"Ah, sial!" umpatnya.     

Dengan tubuh yang gemetar Marry meraih buku-bukunya yang terjatuh.     

"Biar aku bantu," tukas David.     

"Tidak perlu, aku bisa mengambilnya sendiri!" sengut Marry.     

"Hufft ...." Dengus David.     

Tapi dia tetap membantu Marry mengambil buku-buku itu.     

"Ini bukumu, aku tahu kalau tulang igamu masih sakit, 'kan?" tanya David.     

Marry masih tak mau bicara, wajahnya terlihat memucat dengan keringat dingin yang bercucuran.     

"Jangan takut, aku tidak akan melukaimu," ujar David.     

Marry tak bergeming.     

"Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu, Marry,"     

Seketika Marry memandang kearah David dengan kedua bola mata yang membulat.     

"Kau ingin bertanya apa denganku?!" ketus Marry.     

"Tentu saja soal kejadian yang menimpamu," jawab David dengan santai.     

"Kenapa kau ingin bertanya hal itu kepadaku? Apa kau ingin aku membongkar semua rahasia keluargamu? Atau kau juga ingin membunuhku seperti kau membunuh Denias?!" tanya Marry.     

"Tidak, aku sungguh ingin bertanya kepadamu, kenapa kau tidak pindah saja dari sekolah ini?" ujar David.     

Marry semakin bingung saja dibuatnya.     

Bisa-bisanya David bertanya seperti ini.     

"Kalau orang tuaku tidak memaksaku untuk tetap berada di sini, maka aku juga sudah pindah dari sekolah ini. Kau pikir satu kelas dengan pembunuhan sepertimu itu bisa membuatmu tenang?" Kedua netra Marry mulai berair.     

"Aku berada di sini adalah siksaan, David. Aku mohon biarkan aku hidup, dan tolong bilang kepada keluargamu, bahwa jangan menggangguku," pinta Marry.     

"Kau tahu bukan, jika Denias itu meninggal karna kecelakaan?" ujar David.     

"Yah, benar memang dia mati karna kecelakaan, orang mengira seperti itu, tapi entah mengapa, aku berpikir jika dia itu mati karna dibunuh oleh keluargamu!" tegas Marry.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.