Anak Angkat

Perintah Orang Tua



Perintah Orang Tua

0Berkat Mesya akhirnya Wijaya meninggalkan rumah keluarga Davies. Kini Arumi kembali bernafas dengan lega.     

"Terima kasih, Sayang, berkat kau, si Tua Bangka itu akhirnya pergi," ucap Arumi.     

"Iya, Nak! Kau memang anak pembawa keberuntungan bagi keluarga kami," imbuh Charles.     

David juga turut bangga kepada Mesya, dia benar-benar gadis yang pemberani, lain halnya dengan Arthur, yang lagi-lagi cemburu terhadap Mesya. 'Terus saja, semua orang memuji Gadis Manja itu, aku benar-benar muak mendengarnya,' bicara Arthur di dalam hati, wajahnya terlihat sangat kesal. Selalu saja Mesya yang dipuji-puji dan dibanggakan. Tak pernah sedikit pun dia yang di banggakan.     

***     

"Ayah, memangnya kenapa Ayah, sangat membenci, Bibi Arumi? Memangnya apa salahnya?" tanya Satria kepada sang Ayah.     

"Berapa kali Ayah, harus mengatakan kepadamu, jika Ayah tidak mebiarkan keturunan Subroto itu hidup di dunia ini!" ucap Wijaya.     

"Apa salahnya, jika mereka masih hidup? Toh mereka itu masih saudara kita?"     

"Diam, kau, Satria! Mereka memang saudara kita, dan Subroto adalah saudara kandungku, tapi aku sangat membenci pria itu!" ujar Wijaya.     

"Tapi kenapa? Apa Salahnya jika mereka tetap hidup?" tanya Satria sekali lagi.     

Sebenarnya Wijaya sangat kesal mendengar pertanyaan dari Satria, meski begitu dia terpaksa menjelaskan tentang alasan kepada Satria.     

Bahkan Wijaya juga menceritakan sesuatu yang belum ia ceritakan kepada putranya ini.     

Tentang kebenciannya kepada Subroto, Kakak kandungnya itu.     

Dulu ketika mereka masih tinggal dalam satu atap, di kediaman keluarga Diningrat, dua kakak-adik itu tidak pernah akur mereka selalu saja bersaing dalam segala hal. Bahkan dalam urusan percintaan. Subroto Dan Wijaya, memperebutkan seorang gadis yang bersama Ayuni, yang pada akhir Ayuni malah memilih menikah dengan Subroto.     

Keluarga kecil mereka terlihat sangat harmonis, dan hal itu membuat Wijaya menjadi iri.     

Selain itu Subroto, sebagai anak sulung dari keluarga Diningrat, di percaya oleh keluraganya yang akan menjadi pewaris dan pemimpin aliran sesat yang dianut oleh keluarga Diningrat, dan kitab kini yang selama ini menjadi pedoman hidup mereka telah diserahkan kepada Subroto, dan dialah yang akan menjadi satu-satunya orang yang berjalan mengatur, dan memiliki level tertinggi dalam keluarga Diningrat.     

Tentu saja hal itu membuat Wijaya semakin iri. Dia sangat membenci sang Kakak, karna bukan  hanya soal wanita saja yang dia dapatkan tapi juga soal kekuasan dalam keluraganya ini.     

Dia benar-benar tak rela melihat Subroto hidup bahagia dalam kemewahan dan seluruh kekuasan yang ia miliki.     

Wijaya ingin di dunia ini hanya dia satu-satunya manusia abadi yang akan memimpin sekte ini. Dan keluarga Subroto harus ia habisi.     

Wijaya sudah merencanakan ini jauh-jauh hari, dia sudah melakukan ritual sesaat, untuk menambah kekuatannya. Dan dia juga sudah mencuri kitab kuno dari tangan Subroto secara diam-diam, di saat kakaknya itu sedang lengah, dah secara diam-diam dia mempelajari isi dalam kitab itu. Wijaya pun sampai bertapa selama beberapa hari. Setelah memahami isi kitab dan tahu cara membunuh Subroto tanpa membuatnya reinkarnasi lagi, barulah dia mendatangi keluarga Subroto dan di situlah dia membantai satu per satu kelurga Subroto, termasuk Ayuni istri Subroto. Rasa cintanya terhadap wanita itu sudah berubah menjadi sebuah kebencian, karna penolakannya yang pernah dilontarkan wanita itu.     

Dia mencekik wanita itu dengan cara mengikat leher Ayuni dengan sebuah tambang, dalam keadaan  sekarat Wijaya memperkosa wanita itu.     

Saat itu Subroto mendengar suara bising di dalam kamar pribadinya, dan dia mendapati Ayuni sudah mati karna kehabisan nafas.     

"Kau, benar-benar, Iblis!" teriak Subroto kepada Wijaya.     

"Haha! Inilah yang kau dapatkan karna selamani ini kau telah menindasku!" ujar Wijaya dengan bangga.     

"Hay! Siapa yang sudah menindasmu, Bedebah!" umpat Subroto.     

"Bahkan kau tidak merasa sudah menindasku, Subroto?!" teriak Wijaya, "kau sudah merebut Ayuni, dan sudah merebut kekuasaan sekte keluarga kita!" jelas Wijaya.     

"Itu, sudah menjadi takdir karna aku memang anak tertua di keluarga Diningrat, aku menikah dengan Ayuni pun, itu juga takdir dan aku dipercaya menjadi satu-satunya pewaris kitab itu juga karna aku adalah anak yang lebih tua dan dapat dipercaya, sementara kau ...?" Subroto memicingkan mulutnya, "kau itu hanya anak ingusan yang tak pantas memimpin keluarga Diningrat!"  cerca Subroto.     

Dan mendengar hal itu membuat Wijaya kembali murka, dia langsung menyerang Subroto.     

Sebilah pisau ia gunakan untuk menyerang Subroto     

"Kau akan mati sekarang!" teriak Wijaya.     

Na'as, Subroto tidak membawa satu pun senjata.     

Jlub!     

Pisau dari tangan Wijaya berhasil mendarat di bagian perut Subroto.     

Subroto langsung menjauh.     

"Hari ini adalah waktu terakhirmu di dunia, Subroto!" ujar Wijaya dengan sombong.     

Subroto mengedarkan seluruh pandangan untuk menemukan pedang atau apapun yang bisa ia gunakan untuk menyerang Wijaya, tapi sayangnya benda-benda tajam yang sering ia taruh di kamarnya mendadak hilang.     

Rupanya benda itu sudah di singkirkan oleh Wijaya.     

"Subroto! Apa yang sedang kau cari? Tidak ada lagi satu pun benda yang bisa kau gunakan untuk menyerangku!" ujar Wijaya.     

"Dasar, Bedebah!" umpat Subroto.     

"Haha! Katakan selamat tinggal kepada dunia, Subroto!" Wijaya kembali menyerang kakaknya, tapi kali ini Subroto berhasil menghindar.     

Wijaya jatuh tersungkur, dan pisau yang ada di tangannya terlepas, Subroto tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, dia segera berusah untuk merebut pisau itu.     

Pisau itu berhasil ia ambil.     

"Haha! Pisau ini sudah ada di tanganku, Wijaya! Kau jangan berpikir bisa membunuhku dengan mudah!" ucap Subroto dengan sombong.     

Kini Subroto berjalan mendekati Wijaya, dan bersiap untuk menyerangnya.     

"Terima ini!" teriak Subroto sambil mengacungkan pisaunya bersiap untuk menghunjamkan kearah Wijaya.     

Wijaya tampak santai dan tak ada sedikitpun perlawanan, rupanya dari balik tubuhnya dia juga memegang satu pisau lagi, pisau milik Subroto yang tadi ia sembunyikan di bawah kolong tempat tidur.     

Subroto semakin dekat jarak mereka tak sampai satu meter, dan mata pisau di tangan Subroto sudah bersiap untuk menghunjam tubuh Wijaya tapi ....     

Jlub!     

Wijaya lebih dulu mendaratkan pisau tepat di perut kakaknya.     

"Wijaya...."     

"Haha! Sudah kubilang jika hidupmu di dunia ini hanya tinggal hari ini saja!" ujar Wijaya sambil tertawa dengan puas.     

"Aku, akan datang lagi suatu hari nanti ...." Ancam Subroto.     

"Kau tidak akan bisa hidup kembali, Subroto! Aku sudah membaca semua kelemahanmu, dari kitab ini. Bahkan kau juga tak menyadari jika aku yang sudah mencuri kitab kuno itu!" ucap Wijaya.     

"Biadap—"     

Crok!     

Jlub!     

"Mati kau!" Wijaya membelah bagian dada kakaknya dan mengambil bagian organ jantung.     

Wijaya memakan jantung Kakaknya dengan lahap.     

"Dengan begini kau tidak akan bisa bangkit lagi, jantungmu sudah kumakan Subroto!" ucap Wijaya dengan puas.     

Setelah itu dia berpindah ke kamar Kirani, saudari dari Arumi.     

Dia membunuh gadis dengan cara yang sadis, dia juga memakan jantung gadis itu, seperti memakan jantung Subroto.     

Kirani adalah Kakak dari Arumi.     

Gadis brusia 25 tahun itu memang terkenal gadis yang penuh dengan ambisi. Dia adalah gadis yang sangat di andalkan dalam keluraga Subroto, berbeda dengan Arumi yang hanya gadis polos dan penakut. Bahkan Arumi tak pernah mau mengikuti ritual-ritual sesat dalam keluarganya. Untuk memakan daging manusia saja, Arumi harus dipaksa dulu.     

Bagi Wijaya Arumi bukanlah gadis yang berbahaya dari keluarga Subroto.     

Dan kebetulan juga saat itu Arumi juga sedang tidak berada di tempat.     

Setelah membunuh keluarga itu, Wijaya langsung membakar rumah Subroto.     

Melihat asap yang mengepul, mengelilingi rumah Subroto, membuat Wijaya merasa senang, dia tertawa puas penuh kemenangan.     

Sementara itu Arumi keluar dari dalam lemari.     

Dia mendapati kakaknya sudah tewas. Rupanya sejak tadi dia sengaja bersembunyi saat mendengar perkelahian ayahnya dan pamanya, hingga sang paman masuk kedalam kamar Kirani dan membunuhnya.     

Arumi sangat takut, dia sangat menyesal karna tak bisa menyelamatkan keluarganya, tapi kalau pun mencoba menyelamatkan juga tidak akan mungkin berhasil, yang ada nyawanya juga akan melayang.     

Arumi mulai sesak nafas karna asap yang mengepul mengelilingi kamar itu.     

Arumi berusaha untuk keluar dengan sekuat tenaga.     

Dia menerobos kobaran api dengan bantuan selimut tebal yang sengaja ia basahi dengan air galon.     

Wijaya sempat melihat Arumi yang keluar dari dalam rumahnya.     

"Ternyata dia masih hidup?" ucap Wijaya.     

Tapi dia tak mau mengejar Arumi karna dia merasa jika Arumi tidak akan berbahaya bagi hidupnya.     

Wijaya tidak mau membuang-buang waktu.     

Setelah itu Wijaya menikah dengan seorang wanita yang bernama Widya, lalu memiliki anak yang bernama Satria Diningrat, yang kini menjadi kebanggaanya dan akan menjadi pewarisnya kelak.     

***     

"Ayah, jujur sebenarnya aku tidak tertarik dengan ilmu warisan leluhur kita! Aku sudah bosan membunuh orang, Ayah! Aku ingin hidup tenang dan normal seperti yang lainnya," ucap Satria.     

"Kau ini bicara apa, Satria?!" bentak Wijaya, "kau adalah keturunanku yang harus mewarisi seluruh ilmu dan tradisi leluhur kita!"     

"Tapi, apa yang akan kudapat dari semua ini, Ayah?"     

"Apa yang kau dapat? Tentu saja kau akan dapat segalanya! Kekayaan, wibawa, awet muda dan tentunya hidupmu akan abadi serta tidak akan ada yang bisa membunuhmu!" ucap Wijaya dengan tegas.     

"Tapi, kupikir tidak perlu mendapatkan semua itu? Aku butuh hidup tenang, kalau pun aku harus mati itu adalah hal yang lumrah, kan, Ayah?"     

'Plak!'     

Wijaya menampar wajah putranya dengan keras.     

"Kau itu benar-benar sudah gila, Satria! Mati-matian Ayah merebut kitab itu agar kau kelak bisa menjadi pewaris keluarga ini!"     

"Lalu apa yang akan Ayah, dapatkan setelah ini?" ucap Wijaya.     

"Tentu saja kepuasan! Aku bisa memimpin sekte ini dan bisa menyerahkan kepada keturunanku!" ucap Wijaya.     

"Hanya itu?"     

"Hanya itu kamu bilang?"     

"Iya, memangnya apa lagi yang akan kau dapat dari semua ini, Ayah?!"     

"Diam kau, Satria! Kau itu adalah keluarga Diningrat! Kau harus menjadi anak yang penurut! Jangan menjadi anak yang penurut!" perintah Wijaya.     

Satria menundukkan kepalanya, dia memang tidak mau mengikuti perintah orang tuanya, tapi dia juga tidak boleh melawan orang tua.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.