Anak Angkat

Berbaikan



Berbaikan

"Marry, aku hanya meminta pertolonganmu, aku tidak ingin membahas tentang Salsa," ucap David.     

"Tapi, Salsa itu sahabatku, setidaknya dulu kau bilang kepadanya kalau kau tak menyukainya karna kau sudah menyukai Mesya," ujar Marry.     

"Aku menolak Salsa, bukan karena aku menyukai Mesya, tapi karna aku peduli dengannya, kau tahu jika aku sampai menjadi kekasihnya, yang ada temanmu itu dalam bahaya!" tegas David.     

Sejenak Marry terdiam.     

"Kau mengerti apa maksudku? Aku yakin  kau paham, karna Marry yang kukenal bukanlah orang yang bodoh, dan aku berbicara begini, karna aku juga ingin  setelah keluar dari sekolah ini nanti, setidaknya aku memiliki orang yang pernah  kuajak bicara seperti ini," tukas tukas David, lalu pria itu berdiri dan hendak meninggalkan Marry.     

"Tunggu!" teriak Marry.     

David menghentikan langkahnya sesaat.     

"Ada apa?" tanya David.     

Marry berdiri lalu mendekati David.     

"Yah, aku akan tetap berteman baik dengan Mesya," ucap Marry.     

David pun tersenyum.     

"David, tapi aku mohon, tolong jangan biar adikmu Arthur menggangguku lagi," pinta Marry.     

"Baiklah, Marry, aku akan pastikan Bocah Tengil, itu tidak akan mengganggumu," jawab David.     

"Terima kasih," Marry menganggukan kepalanya.     

"Sama-sama," jawab David seraya berlalu pergi meninggalakan Marry.     

Baru kali ini Marry melihat David tersenyum, walau hanya sedikit.     

Bahkan seperti ada kebanggan tersendiri diajak bicara begini oleh David.     

"Pantas saja Salsa  sangat menyukainya, ternyata kalau di lihat dari dekat begini, David memang terlihat sangat tampan, apa lagi kalau sedang tersenyum," gumam Marry.     

"Sebenarnya, pria setampan itu tidak cocok menjadi seorang pembunuh,"     

Perlahan Marry juga meningalkan kelas itu.     

Sesampainya di kantin, dia turut ikut berkumpul dengan teman-teman yang lainnya.     

Berkat David yang menemuimu tadi membuat Marry sedikit merasa terlepas dari beban.     

Kini dia bisa tertawa dengan  riang seperti biasanya.     

***     

Mesya tampak sedang bosan berada di dalam kamar sedirian.     

"Ah, ternyata berada di kamar saja itu tidak enak ya? Huft... meski di sekolah aku hanya berteman dengan  Romi saja, tapi rasanya jauh lebih baik dari pada sendirian bergini," gumam Mesya.     

Mesya pun bangun dari atas kasurnya dan mencoba untuk mencari kegiatan lain yang bisa menghilangkan rasa bosannya.     

"Ya Tuhan, kenapa nasibku malang sekali, bahkan satu-satunya orang yang masih mau berteman  dengan hanya Romi, dan Kak Salsa, serta Kak Marry, sudah meninggalkan aku," Mesya berbicara sendirian, meratapi nasibnya.     

"Sayang, kau sudah bangun?" tanya Arumi seraya membawa nampan berisi segelas susu dan roti. Wanita paruh baya itu masuk kedalam kamar Mesya.     

"Kau sudah mersa mendingan?"     

"Sudah, Bu. Jahitan dileherku sudah tidak sakit, jadi aku besok sudah boleh sekolah, 'kan?" tanya Mesya.     

"Tentu saja boleh jika kau memang sudah benar-benar sembuh, Sayang. Tapi dokter bilang lukamu akan sembuh total sekitar satu minggu lagi," ucap Arumi.     

"Yah, masih lama sekali... aku bosan, Bu...." Mesya mendengus kesal sambil menunduk penuh kecewa.     

"Sabar, Sayang, Ibu akan selalu ada untukmu, selama kau sakit,"     

Lalu Arumi mengajak putrinya duduk di atas kasur.     

"Bu ... aku boleh bertanya sesuatu?"     

"Iya, katakan saja apa yang ingin kau tanyakan,"     

"Bu, seperti apa putra dari Wijaya Diningrat itu?"     

"Kenapa kau menanyakan hal itu?"     

"Ya karna aku sangat penasaran, Bu, kenapa kita tidak melawannya secara terang-terangan saja, dan kenapa pula  harus menunggu aku dewasa barulah melawannya dengan cara menjodohkan aku dengan putranya?"     

"... nanti kau akan tahu sendiri, Mesya," jawab Arumi.     

"Sekarang cepat minum susunya dan beristirahat lagi," ujar Arumi.     

Mesya menuruti apa yang diperintahkan oleh ibunya.     

***     

Satu minggu telah berlalu, Mesya sudah sembuh dari sakit, luka di lehernya sudah mengering, tak ada lagi perban yang menutupi.     

"Halo, Adik Cantik, kau sudah siap sekolah hari ini?"  tanya Arthur.     

"Sudah," jawab Mesya dengan wajah yang kaku dan tak sedikit pun terlihat antusias menanggapi pertanyaan Arthur.     

Dulu memang dia selalu akrab dengan Arthur, bahkan sikap ramah Arthur selalu ia tanggapi dengan senang hati, sebum pada akhirnya dia mengerti jika Arthur tidak sebaik kelihatanya.     

"Ayo kita berangkat sekolah sekarang," ajak Charles.     

Sesampainya di sekolah Arthur berjalan duluan menuju kelas, sementara David masih berjalan beriringan bersama Mesya.     

"Mesya, sepulang dari sekolah nanti aku akan mengajakmu ke suatu tempat," ujar David.     

"Kemana, Kak?"     

"Nanti kau juga akan tahu sendiri,"  David menepuk pundak adiknya sesaat.     

"Yasudah aku ke kelasku dulu ya!"     

"Iya, Kak!"     

***     

Bel istirahat pertama sudah terdengar.     

Seluruh siswa berebutan keluar, mereka mulai menyerbu kantin sekolahan.     

Tak terkecuali dengan Marry, kini dia sudah mulai menjalani hidupnya seperti biasa, menjadi Marry yang ceria dan dapat membaur dengan siapa pun.     

Saat dia duduk bersama dengan teman-teman yang lain, Marry melihat Mesya yang juga sedang duduk bersama dengan Romi.     

Tanpa ragu Marry menghampirinya.     

"Hay, Mesya! Hay, Romi!" sapa Marry.     

"Kak Marry?" Mesya tampak keget melihatnya.     

"Boleh aku duduk bersama kalian?" tanya Marry.     

"Tentu saja boleh!" jawab Mesya dengan antusias.     

Dia merasa senang atas kehadiran Marry saat ini.     

Dia tidak pernah menyangka jika Marry masih mau menghampirinya, dia pikir sejak pertemuannya waktu itu, Marry sudah tidak akan mau lagi berteman dengan Mesya.     

"Kak Marry, apa sudah sehat?" tanya Mesya.     

"Yah, aku sudah mendingan. Hanya terkadang dadaku masih terasa sedikit nyeri," jawab Marry.     

"Lalu bagaimana dengan keadaan, Kak Salsa?" tanya Mesya.     

"Dia baik-baik saja, sekarang sedang sibuk untuk persiapan ujian nasional. Kami masih saling menghubungi walau hanya sekedar untuk menanyakan kabar,"tutur Marry.     

"Ah, syukurlah kalau begitu, hanya saja aku masih merasa bersalah dengan Kak Salsa. Dia pindah dari sekolah ini karna ulah keluargaku," pungkas Mesya dengan raut yang penuh kecewa.     

Marry memegang pundak Mesya.     

"Sudahlah, Mesya tidak usah  menyalahkan dirimu sendiri, lagi pula ini semua bukan salahmu. Tapi salah kelurgamu," pungkas Marry menenangkan Mesya.     

"Terima kasih, Kak Marry, atas pengertiannya, dan terima kasih juga sudah mau menemuiku sekarang,"     

"Iya, Mesya. Kalau David tidak menyadarkanku, mungkin aku tidak akan menemuimu,"     

"Kak David?"     

"Iya, dia yang menceritakan semuanya kepadaku, aku jadi sadar, seharusnya aku tidak menjauhimu, Mesya,"     

"Kak David, memang baik," gumam Mesya.     

"Eh, sudah-sudah! Sedih-sedihnya sudah selesai, sekarang waktunya kita makan!" ujar Romi.     

"Eh, iya, pesanan makananku sudah sampai!" ujar Mesya, "Kak Marry, mau pesan makanan apa? Biar aku yang nembelikan?"     

"Eh, tidak usah, makananku ada di meja sebelah sana, aku pergi dulu ya!" ujar Marry.     

"Yah, Kak Marry, malah pergi," Mesya tampak kecewa.     

"Tidak apa-apa, Mesya, yang terpenting kau sudah berbaikan dengan  Kak Marry,"     

"Iya, Romi, kamu benar,"     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.