Ingin Kukatakan Sesuatu

Penjemputan yang Megah!



Penjemputan yang Megah!

0Melihat ekspresi Martin, sepertinya dia benar-benar tidak sabar untuk pergi ke rumah Sean dan bertemu keluarga Sean.     
0

Sean pun mengangguk. "Oke. Ketika sampai di sana, saya akan membawa Ayah dan Sisi ke rumah saya dulu, lalu kembali untuk menjemput Maureen."     

Tidak lama kemudian, pesawat lepas landas dan naik ke ketinggian sepuluh ribu kaki.     

Jet pribadi keluarga Susetia sangat mewah. Agar tidak mengganggu keluarga Susetia, Mega dan Belinda sengaja pergi ke area lain. Mereka tidak duduk bersama Sean dan yang lainnya. Ketika tiba di kursi dan duduk, mereka juga mengobrol sambil minum kopi.     

Mega bertanya, "Belinda, menurutmu kenapa Jingga bersikeras mengajak kita berkumpul di Inggris? Aku masih harus bekerja dan banyak yang harus aku urus di kantor. Aku bahkan harus mengundur beberapa acara makan malam di detik-detik terakhir."     

"Bukankah dia selalu ingin kita datang ke sana untuk melihat betapa baiknya orang yang dinikahinya? Orang seperti dia ini materialistis. Begitu menikah dengan keluarga kaya di Inggris, dia terus pamer. Tapi, dia memanggil kita pergi bersama ke Inggris, terutama karena ingin melihat suami Maureen sebenarnya kaya atau tidak, kan?" kata Belinda.     

Mega mengangguk. "Iya, iya! Aku juga merasa begitu! Jingga selalu bilang kalau suami Maureen pembohong! Dia juga bilang kalau dia dan suaminya sudah menyelidiki kalau di Inggris sama sekali tidak ada keluarga kaya raya bernama keluarga Yuwono."     

"Awalnya Jingga berencana pulang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan Maureen dan Chevin tanggal 1 April, tapi setelah mendengar bahwa pengantin laki-laki digantikan oleh Sean, dia tidak jadi datang," tambah Mega.     

Belinda mengangkat dagunya dan melihat lapisan awan putih di luar jendela pesawat. "Aku juga merasa Sean tidak seperti orang kaya. Setelah menikah, dia terus tinggal di rumah keluarga Susetia. Baik rumah maupun mobil, semuanya dibeli Maureen dengan uangnya sendiri. Sebagai suaminya, dia tidak mengeluarkan uang sepeser pun."     

Mega menyesap kopinya, lalu berkata, "Ketika tiba di Inggris, semuanya akan ketahuan. Pada hari pernikahan, bukankah kakak tertua Sean bilang kalau dia memberikan semua industri bar di Inggris pada Maureen? Nanti saat kita pergi ke bar, kita akan tahu sebenarnya Maureen ratu bar Inggris atau bukan!"     

Belinda tersenyum. "Tidak heran Jingga ingin membawa kita ke bar untuk bersantai. Kelihatannya dia juga ingin mencari tahu latar belakang Sean. Haha. Sebentar lagi akan ada pertunjukan bagus."     

Keduanya mengobrol sebentar, lalu mengenakan penutup mata dan tidur. Dalam perjalanan kali ini, pesawat terbang selama 16 jam sebelum akhirnya tiba di London.     

———     

Pada saat tiba di tempat tujuan, hari sudah gelap.     

"Oh, mau pergi ke rumah Ayah!" seru Sisi sambil melompat-lompat kegirangan.     

"Hati-hati jalannya."     

Sean meraih tangan kecil Sisi dan perlahan membawanya menuruni pesawat lewat tangga. Orang-orang lainnya juga membawa tas mereka dan berjalan perlahan.     

Begitu turun dari pesawat, langsung terlihat lebih dari belasan Rolls-Royce di depan yang menjemput! Rolls-Royce serba putih, masing-masing bernilai lebih dari 20 miliar, dan semuanya adalah edisi terbatas!     

Mega dan Belinda benar-benar terkejut ketika melihatnya.     

"Ya Tuhan! Ada begitu banyak Rolls-Royce putih! Mungkinkah semua Rolls-Royce putih di dunia ada di sini?"     

"Ini sangat spektakuler! Keluarga Yuwono memang benar-benar luar biasa!"     

Martin turut berkata dengan gembira pada Sean, "Sean, kakekmu terlalu sopan, sampai-sampai mengutus begitu banyak mobil mewah untuk menjemput kita!"     

Sean sedikit mengernyit. Itu karena dia tahu bahwa menurut gaya kakeknya yang rendah hati, kakeknya itu tidak mungkin mengutus begitu banyak Rolls-Royce, terlebih lagi yang berwarna putih, untuk datang menjemput.     

Maureen ikut tersenyum bahagia karena merasa sangat dihargai. Dia mengeluh pada Sean, "Kamu ini! Kemarin kamu bilang kakekmu akan menjemput kita dengan rendah hati, tapi ternyata kamu membohongiku."     

Pada saat ini, seorang wanita yang angkuh keluar dari Rolls-Royce putih yang dipimpinnya. Wanita itu sangat mengagumkan. Dia mengenakan kacamata hitam, gaun pendek, dan sepatu hak tinggi merah muda.     

"Hei! Bukankah itu Jingga?"     

Ketika wanita itu turun dari mobil, Mega dan yang lainnya mengenalinya. Itu teman kuliah Maureen, Jingga Pangalila!     

"Hah… Ternyata belasan Rolls-Royce ini bukan diatur keluarga Yuwono, melainkan Jingga."     

Baru kemudian semua orang tahu bahwa pemandangan spektakuler ini tidak ada hubungannya dengan Sean.     

"Hai, teman-teman." Jingga melangkah maju dengan sepatu hak tingginya sambil melepas kacamata hitamnya, lalu melambai pada Maureen, Mega, dan Belinda. Dia terlebih dulu memeluk Maureen dan memujinya, "Sayang, lagi-lagi kamu kurusan! Bagaimana caranya kamu menjaga bentuk tubuhmu tetap bagus begini?"     

Maureen tersenyum dan menjawab, "Tubuhmu jelas-jelas lebih bagus dariku. Sesudah menikah, suamiku terus memberiku makan hingga naik beberapa kilo."     

Jingga tersenyum, lalu memeluk Mega dan Belinda juga.     

"Jingga, apa kamu yang menyiapkan Rolls-Royce ini?" tanya Mega.     

"Iya! Aku menyuruh suamiku menyiapkannya. Aku bilang kalau aku mau menjemput teman-temanku di bandara," jawab Jingga dengan bangga. Ketika melihat Martin dan Sisi, Jingga juga tersenyum dan melambai, "Halo, Om. Sisi sayang, kamu masih ingat Tante cantik?"     

Ketika melihat orang-orang yang turun dari pesawat, tiba-tiba Jingga bertanya, "Maureen, yang datang cuma sesedikit ini? Mana ibu dan kakekmu? Marvin? Matthew? Mereka tidak ikut kemari?"     

Maureen menggelengkan kepalanya. "Tidak, mereka tidak kemari. Maaf, seharusnya aku memberitahumu sebelumnya. Aku jadi membuatmu buang-buang begitu banyak uang untuk menyiapkan mobil sebanyak ini."     

Jingga tersenyum. "Lihat apa yang kamu katakan. Buang-buang banyak uang apanya? Seolah mobil-mobil ini aku sewa saja. Semua mobil ini punya suamiku! Tidak apa-apa. Aku akan menyuruh mereka menyisakan dua mobil dan menyuruh mereka membawa pulang yang lainnya."     

Maureen tersenyum. Temannya yang satu ini memang cukup menarik. Dia buru-buru menarik lengan Sean dan memperkenalkan Jingga, "Jingga, kenalkan. Ini suamiku, Sean Yuwono."     

Karena Jingga tidak pergi ke pernikahan Maureen, dia dan Sean belum pernah bertemu.     

Sean berinisiatif menyapa, "Halo."     

Jingga bahkan memanggil Sean dengan sangat akrab, "Hai, suami sayangku."     

"..." Sean terdiam, lalu bertanya dengan sangat canggung, "Kamu memanggilku apa?"     

Jingga menjelaskan sambil tersenyum, "Maureen adalah sayangku, sementara kamu adalah suaminya, jadi bukankah aku memanggilmu suami sayangku?"     

"Eh…"     

Sesaat Sean tidak bisa berkata-kata. Wanita ini cukup menarik.     

"Ngomong-ngomong, Maureen, aku sudah memesan tempat duduk di Churchill Bar. Ajak saja Om dan suamimu ikut," kata Jingga.     

"Tidak perlu. Kalian bersenang-senang saja. Om dan Sean akan kembali ke rumah Sean untuk bertemu orang tuanya," kata Martin.     

Sebenarnya Maureen ingin ikut bersama-sama ke rumah Sean dan mencari waktu untuk bertemu Jingga keesokan harinya, tetapi Jingga bersikeras mau bertemu malam ini.     

Jingga tidak memaksa, "Oh, baiklah kalau begitu. Sean, kamu tinggal di mana? Bawa saja Rolls-Royce-ku. Aku akan meminta sopir untuk mengantarmu pulang."     

"Terima kasih, tapi tidak perlu," tolak Sean, "Kakekku tahu aku datang, jadi seharusnya sebentar lagi akan ada yang menjemput kami."     

"Begitu?"     

Jingga tidak terburu-buru untuk pergi. Dia juga ingin melihat bagaimana suami yang dinikahi Maureen, yang disebut-sebut sebagai keluarga Yuwono, akan menjemput ayah Maureen.     

Tidak lama kemudian, sebuah mobil hitam yang sangat biasa-biasa saja datang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.