Ingin Kukatakan Sesuatu

Sean, Kamu Bajingan!



Sean, Kamu Bajingan!

0Terdapat keheningan dalam kegelapan.     
0

"Maureen, kamu….... belum tidur??" tanya Sean dengan lembut.     

Maureen berbalik menghadap Sean dan berkata, "Sayang, kamu tahu? Aku menunggu hari ini selama tiga tahun. Aku berfantasi menjadi istrimu setiap hari dan mimpiku adalah menikahimu."     

"Aku tidak berani memohon padamu untuk mencintaiku seperti kamu mencintai Chintia. Aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin menjadi seperti wanita biasa yang dicintai suaminya dan memiliki kehidupan… yang normal. Sayang, tolong jangan abaikan aku, ya?" pinta Maureen.     

Maureen tidak bodoh. Mana mungkin dia tidak tahu tadi Sean sengaja mengabaikannya selama dua jam?     

Sean merasa sangat serba salah. "Maureen…"     

Maureen berkata dengan dengan tampang yang menyedihkan, "Sayang, aku belum pernah mengalami kebahagiaan menjadi wanita seutuhnya di hidupku. Aku sudah berusia 26 tahun dan aku tidak ingin menunggu sampai aku berusia 30 tahun…"     

Sean terkejut dan merasa kasihan pada Maureen. Hal yang membuat Sean terkejut adalah satu-satunya saat di mana Maureen berhubungan dengan seorang pria dalam hidupnya adalah saat berada di Suriah empat tahun lalu. Sementara saat itu, itu bukan kenangan yang menyenangkan bagi Maureen, bahkan menyakitkan.     

Sejak itu, Maureen tidak pernah bertemu dengan pria manapun. Ini memang hal yang menyedihkan bagi seorang wanita yang hampir berusia 30 tahun.     

Bagaimanapun juga, hanya wanita yang sangat jelek yang akan tidak dicintai pria manapun. Tetapi, wanita cantik seperti Maureen seharusnya tidak demikian.     

Sean menghela napas. Apa yang terjadi pada Maureen hari ini disebabkan olehnya. Karena dia sudah menikahi Maureen, satu-satunya hal yang bisa dilakukannya sekarang adalah membuat Maureen bahagia. Meskipun kebahagiaan itu hanya sementara.     

Dalam kegelapan, Sean membelai rambut Maureen dan menciumnya...     

———     

Pada saat ini, ada kilat dan guntur di luar rumah. Tiba-tiba hujan turun.     

Sementara itu, Marvin datang ke rumah Suhendra. Kakek dan cucunya itu mengobrol semalaman.     

Hari ini Marvin dikejutkan dengan aura Tian dan dibuat ketakutan oleh tatapan matanya. Jadi, ketika ke tempat Suhendra, dia berkata, "Kakek, bukankah Kakek selalu ingin tahu rahasia keluarga Yuwono? Tian berusia lebih dari 30 tahun. Dia pasti sudah tahu rahasia keluarganya! Jangan lewatkan kesempatan ini. Sudah susah payah akhirnya dia datang ke teritori kita. Bagaimana kalau kita tangkap dia dan memaksanya untuk mengaku?!"     

Marvin selalu merasa Tian akan membalas dendam untuk Sean karena perbuatannya pada Giana, jadi dia ingin menyerang lebih dulu.     

Suhendra menggelengkan kepalanya. "Dasar anak naif! Kamu kira Tian benar-benar datang sendirian?"     

Marvin tidak mau kalah. "Cih! Meski dia memiliki koneksi di dalam negeri, pasti tidak bisa dibandingkan dengan kita!"     

Suhendra menghela napas. "Nak, kamu tahu sekarang dia tinggal di mana dan dengan siapa?"     

Marvin menggelengkan kepalanya.     

"Keluarga kerajaan Inggris! Dia datang ke sini bersama Pangeran dan Putri! Apa kamu gila? Kamu masih ingin menyentuh Tian?" sergah Suhendra.     

Marvin memukuli dadanya dan menghentakkan kakinya. "Sial! Tian ini memang benar-benar hebat!"     

Suhendra, yang duduk di kursi, berkata sambil tersenyum, "Sekarang Maureen dan Sean sudah menikah. Keluarga kita sudah menjadi besan. Jelas-jelas kita bisa menggunakan Maureen untuk mendapatkan informasi, jadi untuk apa harus membuat kedua keluarga saling bermusuhan?"     

"Marvin, mulai sekarang kamu juga harus memperlakukan Sean dengan lebih baik. Bagaimanapun juga dia sudah menjadi kakak iparmu," Suhendra mengingatkan.     

Marvin memandangi kakinya yang terluka dan mendengus marah. "Aku tidak akan mengakuinya! Aku tidak akan akur dengannya!"     

Suhendra tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa.     

———     

Pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya, Maureen terbangun dalam pelukan Sean.     

Sebenarnya, Sean sudah bangun lebih awal. Namun, melihat Maureen sedang tidur nyenyak, dia tidak ingin menggerakkan tubuhnya dan membangunkannya.     

Maureen membuka matanya dan menatap Sean dengan senyum bahagia dan malu di wajahnya. Sean memandang Maureen yang mengantuk dan tersenyum.     

"Babi kecil pemalas, akhirnya bangun? Sudah hampir jam 11."     

"Hah? Sudah jam 11?" Maureen sontak terkejut karena biasanya dia bangun pukul enam atau tujuh pagi.     

Sean memandang Maureen yang begitu cantik dan tidak bisa berkata-kata, lalu berkata, "Tidak apa, lagi pula Sisi bersama Ibu. Jika kamu lelah, tidurlah lagi."     

Maureen mengingat apa yang terjadi tadi malam dan tiba-tiba merasa malu. Sebagai seorang wanita, dia berinisiatif mengucapkan kata-kata itu…     

"Itu... Kamu bangun dulu. Aku akan bangun sesudah kamu bangun."     

Maureen merasa agak malu. Ini pertama kalinya Sean melihat wanita yang begitu pemalu, jadi dia bangun lebih dulu untuk mandi. Setelah itu, begitu Maureen selesai mandi dan merias wajahnya, waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12.     

Pada saat ini, mereka berdua pergi ke rumah orang tua Maureen untuk makan siang.     

"Ayah, Ibu."     

"Sean datang rupanya. Ayo cepat masuk. Di luar hujan deras. Tidak kehujanan, kan?"     

Sean menyapa orang tua Maureen sambil membawa hadiah. Martin balas menyapa dengan senyum dan sikapnya masih sangat baik. Tetapi, Lianny berbeda. Dia melirik Sean dan mengabaikan menantu barunya.     

"Sisi."     

"Ibu!"     

Begitu Maureen masuk, dia pergi mencari Sisi dan memeluk Sisi dengan gembira.     

"Sisi, apa kamu menurut di sini tadi malam?"     

Sisi mengangguk dan bertanya, "Ibu, di mana adikku?"     

Maureen bertanya-tanya, "Adik yang mana?"     

"Kak Susi bilang kemarin malam Ibu dan Ayah akan membuat adik laki-laki, Aku ingin punya adik laki-laki," kata Sisi.     

Maureen tidak bisa menahan tawanya. "Anak ini. Mana bisa secepat itu? Jika kamu ingin adik laki-laki atau perempuan, kamu baru akan mendapatkannya tahun depan."     

Semua orang memandang Maureen dan tiba-tiba merasa Maureen sedikit berbeda. Dia menjadi lebih hidup. Wajahnya penuh kebahagiaan.     

Sebagai orang tua, sekali lihat, mereka langsung tahu bahwa putrinya sekarang sangat bahagia. Tidak hanya orang tua Maureen yang ada di sini, tetapi Marvin dan Giana juga.     

Giana berjalan masuk sambil mendorong kereta bayi, lalu tiba-tiba berkata, "Kamu tidak perlu menunggu sampai tahun depan jika kamu menginginkan adik laki-laki atau perempuan. Bukankah ini sudah ada?"     

Setelah itu, Giana memandang Sean dan mengingatkan, "Keduanya anakmu. Apa kamu tidak berencana memperkenalkannya pada putrimu?"     

Sean merasa tidak senang ketika melihat Giana, tetapi apa yang Giana katakan ini memang benar. Sisi adalah anak Sean, dan Birama, bayi laki-laki Giana, juga anak Sean. Sean berharap mereka berdua dapat hidup bersama dengan damai dan saling membantu di masa depan.     

Sean meraih tangan Sisi, membawanya menghampiri kedua bayi, lalu menunjuk bayi laki-laki dan berkata, "Ini adik laki-lakimu."     

Sisi memandang bayi laki-laki itu dengan ekspresi terkejut. "Wow! Ayah dan Ibu melahirkan adikku dengan begitu cepat!"     

"Pfft…"     

Semua orang terhibur oleh Sisi. Sementara itu, Giana terdiam dan tidak ingin berdebat dengan seorang gadis berusia empat tahun.     

"Sean, kemarilah. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu."     

Giana membawa Sean ke lantai dua dan bertanya, "Apa kamu tidur dengan Maureen kemarin?"     

Sean tersenyum dan menjawab, "Omong kosong! Kamu sudah resmi menikah, jadi tentu saja kami akan tidur bersama. Untuk apa kamu menanyakan ini? Memang ada hubungannya denganmu?"     

Giana jelas merasa kesal. "Bajingan! Beberapa hari yang lalu, kamu begitu cinta mati pada Chintia. Tetapi, dalam sekejap mata kamu menikahi wanita lain dan tidur dengannya! Apa kamu pantas untuk Chintia?!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.