Ingin Kukatakan Sesuatu

Chevin Memohon Belas Kasihan!



Chevin Memohon Belas Kasihan!

0Ketika melihat putrinya menangis tersedu-sedu, air mata Sean pun jatuh begitu saja di wajahnya hingga menetes ke rambut panjang hitam Sisi.     
0

Sean sudah pernah mengikuti pengalaman pelatihan medan perang dan menyaksikan kematian yang tak terhitung jumlahnya dengan matanya sendiri, menjadi menantu yang tinggal di rumah mertua selama tiga tahun, dan mengalami pengkhianatan yang dilakukan oleh Giana berkali-kali. Bahkan, kematian dan pengkhianatan tidak bisa membuat Sean meneteskan air mata. Namun, melihat putrinya seperti ini, Sean menangis.     

Sean menyeka air mata Sisi dengan kedua tangannya. Dia mendapati kaki Sisi tidak memiliki kekuatan sama sekali. Dia melepas kaus kaki Doraemon kecil berwarna merah dengan cekatan, lalu mendapati jari-jari kaki putrinya ini juga agak bengkak dan ada memar di betisnya.     

Sean memandang Sisi dengan lembut. "Putriku sayang, beritahu Ayah, apa yang terjadi?"     

Sisi menangis dan berkata, "Om Chevin menyuruhku berlatih bela diri. Dia mengajariku melakukan kuda-kuda dan menyuruhku melakukannya selama setengah jam. Setelah berdiri sebentar, kakiku sangat sakit sampai aku tidak bisa berdiri."     

"Dia bilang Ayah orang tidak berguna, jadi anak yang dilahirkan juga tidak berguna," kata Sisi lagi, "Ayah bukan orang tidak berguna! Ayah bukan orang tidak berguna!"     

Sean mengepalkan tangannya erat-erat. Dia tidak sabar ingin mencabik Chevin menjadi berkeping-keping.     

Sean memandang Sisi dan berkata, "Agar dia tidak memandang rendah dirimu, kamu bersikeras melakukan kuda-kuda hingga sekarang kakimu kram, ya?"     

Sisi mengangguk. "Aku tidak bisa membiarkan orang lain memandang rendah ayahku!"     

Sean tidak pernah berpikir bahwa Sisi sekarang dalam situasi seperti ini hanya untuk membuktikan pada Chevin bahwa ayahnya, Sean Yuwono, bukan orang tidak berguna. Sisi menanggung penderitaan seperti itu karena Sean.     

"Sisi!"     

Sean merengkuh Sisi dalam pelukannya. Pada saat ini, air matanya semakin mengalir deras.     

Sean hanya baru mulai memedulikan dan merawat Sisi selama setengah bulan, tapi di masa lalu, dia sudah absen dari hidupnya selama tiga tahun! Bagaimana bisa Sean mendapatkan cinta dan penghormatan Sisi yang seperti ini?     

Sisi berkata pada Sean, "Ayah, aku ingin pulang. Aku tidak ingin tinggal di sini. Orang-orang di sini sangat galak. Bisakah Ayah membawaku dan Ibu pergi dari sini?"     

Sean mengangguk. "Kita cari Ibu sekarang, lalu kita langsung pergi."     

Sean menggendong Sisi keluar. Ketika mendengar suara teriakan Maureen dari atas, dia segera membawa Sisi menaiki tangga.     

Tak disangka, di lantai tiga terdapat pengawal keluarga Laksono. Begitu Sean muncul, dua pengawal datang.     

"Siapa kamu?!"     

Tadi Sean mengalahkan sepuluh orang seorang diri. Meskipun dia bilang bahwa sebagian besar energinya sudah habis, sekarang seluruh adrenalinnya kembali aktif ketika melihat putrinya ditindas.     

Sean menendang mereka berdua satu per satu tanpa perlu menurunkan Sisi ke lantai sama sekali. Kemudian, Sean mendorong pintu dan masuk. Dia mendapati ibu Chevin sedang menarik pakaian dan rambut Maureen.     

"Dasar gadis kurang ajar! Belum bergabung dengan keluarga Laksono kami, bisa-bisanya kamu memanggil selingkuhan liarmu masuk ke rumah kami? Gadis murahan tidak tahu diri! Hari ini aku benar-benar akan memberimu pelajaran!"     

Ibu Chevin memiliki perawatan yang kokoh. Selain itu, dia juga terbilang tinggi. Tingginya 175 cm. Jika tidak, pria tinggi besar seperti Chevin dengan tinggi 190 cm tidak akan lahir.     

Maureen cenderung lemah lembut dan sama sekali bukan tandingan wanita paruh baya yang garang ini. Rambut panjangnya yang indah diacak-acak ibu Chevin, begitu juga dengan pakaiannya.     

"Cari mati!"     

Sean meletakkan Sisi di kursi, lalu segera menghampiri mereka. Dia menarik ibu Chevin yang sedang memegang rambut Maureen dan menyeretnya keluar. Dia ingin membalas si mulut menjijikan ini bagi Maureen, tapi dia tidak ingin memukul orang di depan Sisi.     

Ini berkat didikan kakek Sean. Jika dia ingin Sisi tumbuh sehat dan bahagia, tidak seharusnya Sean mengalami pertengkaran orang dewasa dan kekerasan ketika Sisi masih kecil.     

Sean menarik ibu Chevin keluar, lalu menutup pintu dari luar. Bahkan ketika sudah mendekati kematiannya, Ibu Chevin masih saja tidak mau mengaku salah.     

"Dasar bajingan murahan! Sean, dasar kamu laki-laki liar! Siapa yang mengizinkanmu memasuki rumah kami?!"     

Sean menampar wajah lawannya.     

"Kamu berani memukulku?" Ibu Chevin masih tampak tidak percaya.     

Plak!     

Sean menamparnya lagi.     

"Nak! Selamatkan Ibu, Nak!"     

Plak!     

Sean menampar ibu Chevin lagi dan tamparannya kali ini membuatnya pingsan. Lalu, Sean membuka pintu dan masuk ke kamar. Di sana, dia melihat Maureen sudah memeluk Sisi.     

"Sean, bagaimana kamu bisa datang ke sini?" Maureen bertanya penasaran karena dia sama sekali tidak menghubungi Sean.     

Sean tidak punya waktu untuk menjelaskan. Dia pun berkata, "Maureen, tetap berada di kamar ini bersama Sisi terlebih dahulu. Aku akan turun untuk membereskan beberapa hal. Nanti aku akan menjemput kalian lagi dan pergi dari sini."     

Ketika Maureen melihat tatapan membunuh di mata Sean, dia tahu bahwa Sean bisa datang ke sini. Itu membuktikan bahwa dia sudah menang.     

Maureen mengulurkan tangannya yang ramping, lalu menarik Sean dan membujuknya, "Sean, jangan lakukan hal-hal bodoh. Bawa saja kami pergi dari sini. Jangan sentuh keluarga Laksono."     

Karena Chevin dapat menandingi keluarga Maureen, itu membuktikan bahwa kekuatan keluarga Laksono di Bogor juga sangat kuat. Maureen khawatir begitu Sean menyentuh Chevin, hidup Sean ke depannya akan sulit.     

Sean menjawab dengan datar, "Jangan khawatir. Aku punya perhitunganku sendiri."     

Dengan niat membunuh, Sean turun perlahan. Ketika tiba di ruang tamu di lantai pertama lagi, 800 preman di bawah komandonya telah memusnahkan 2.000 orang keluarga Laksono.     

Sekarang hanya ada belasan orang di depan Chevin yang tersisa di keluarga Laksono. Chevin, ayahnya, dan Bedjo meringkuk di sudut.     

"Tuan! Mau diapakan ketiga orang ini?" John melangkah maju dan bertanya pada Sean.     

Sekarang ada lebih dari belasan orang di depan pihak lawan, sementara 800 orang Sean tidak ada yang terluka. Situasi pertempuran ini tidak diragukan lagi.     

Sean berjalan menghampiri Chevin dan yang lainnya selangkah demi selangkah, lalu menunjuk Bedjo si cabul dan berkata, "Lempar keluar orang menjijikan ini dulu. Ke depannya, aku tidak ingin melihat orang ini lagi."     

"Baik!"     

John mengutus orang untuk segera bertindak. Dalam hitungan detik, beberapa belas orang ini ditangkap satu per satu dan dipukuli hingga jatuh tergeletak di tanah.     

Sementara, Bedjo memohon pada Sean tanpa henti, "Tuan Muda Sean! Saya salah! Tuan Muda Sean! Anggap saja saya sebagai kotoran dan tolong lepaskan saya! Lain kali, saya tidak akan berani lagi!"     

Selama periode waktu ini, Bedjo si bajingan ini sudah begitu banyak menghina Sean. Sejak dulu Sean sudah ingin memusnahkannya.     

Setelah Bedjo dibawa pergi, Chevin menjadi gemetar.     

"Sean, di masa lalu aku dan kamu memang berselisih. Tapi, tidak peduli apapun itu, kita berdua memiliki hubungan. Tunanganku dulunya wanitamu. Nantinya saat aku menikahi Maureen, aku pasti akan memperlakukannya dengan baik. Aku juga akan tidur di kamar terpisah dengannya. Putrimu juga akan aku anggap seperti putri kandungku sendiri!" kata Chevin.     

Chevin melanjutkan, "Setelah Maureen dan aku menikah, kamu bisa datang ke rumahku untuk bertemu Sisi setiap minggu. Tidak, kamu bisa datang setiap hari. Kamu bisa menginap di rumahku jika kamu mau! Aku sering bepergian jauh sehingga aku tidak bisa menjaga Sisi dan Maureen. Jika kamu bersedia, kamu bisa tinggal kapan saja di rumahku untuk menemani Maureen dan Sisi…"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.